• Berita
  • Pembakaran dengan Insinerator Bukan Solusi, Bandung Raya Butuh Pemilahan Sampah yang Ramah Lingkungan

Pembakaran dengan Insinerator Bukan Solusi, Bandung Raya Butuh Pemilahan Sampah yang Ramah Lingkungan

Para pakar lingkungan hidup mendesak pemerintah daerah termasuk di Bandung Raya agar serius melakukan pemilahan sampah daripada membakarnya dengan insinerator.

Tiga insenerator di Tempat Penampungan Sampah (TPS) Ciwastra. Tiga insenerator ini diklaim mampu membakar sampah menjadi abu hingga 16 ton perhari. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul23 Juli 2025


BandungBergerak.idKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Surat Edaran yang menginstruksikan semua Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sistem open dumping (tanpa pemilahan) ditutup dalam waktu 12 bulan ke depan. Di lain sisi, Pemkot Bandung menerapkan program pengelolaan sampah dengan cara dibakar insinerator yang dikiritik pakar lingkungan sebagai solusi semu pengelolaan sampah.

Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) David Sutasurya menegaskan, penerapan insinerator dalam mengelola sampah tidak sejalan dengan misi Bandung sebagai kota jasa dan pariwisata. Pembakaran sampah justru bisa menurunkan daya tarik wisata.

Solusi pengelolaan sampah harus mengarah pada sistem yang menghemat sumber daya dan menurunkan emisi gas rumah kaca, sesuai mandat UU Pengelolaan Sampah Nomor 18 Tahun 2008.

“Dari UU pengelolaan sampah tujuannya menghemat sumber daya, menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), karena sampah adalah penyumbang kedua metana setelah pertanian dan pengelolaan sampah dialihkan dari tanggung jawab PU menjadi tanggung jawab LH, tapi LH saat ini mendorong cara yang memboros sumber daya alam,” papar David, dalam diskusi publik bertajuk “TPA Ditutup, Lalu Apa? Mencari Arah Baru Pengelolaan Sampah Bandung Raya”, Minggu, 20 Juli 2025 di Hutanika Bandung, diselenggarakan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama Ngadaur.

David melanjutkan, sampah organik seperti food waste dan garden waste dapat menyelesaikan sebagian besar masalah jika dikelola dengan benar, sementara kemasan bermasalah seperti sachet multilayer perlu didesain ulang menjadi satu lapis agar dapat didaur ulang. Masalah paling mendasar saat ini adalah sampah tercampur, yang membahayakan petugas dan menghasilkan kompos yang tidak layak.

“YPBB dengan sistem semi volunteer dapat mengelola sampah sebanyak 39 persen-70 persen sampah yang dikelola di setiap wilayah. Dengan model yang sudah ada, perlu ada dukungan dari pemerintah yang perlu melakukan scale up, yang mereplikasi sistem zero waste city,” tambahnya, dikutip dari siaran pers AZWI.

Jika sistem nol sampah atawa zero waste dan guna ulang dijalankan secara konsisten, kata David, selain ramah lingkungan, sistem ini juga akan lebih hemat APBD dan menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan insinerator. Model ini terbukti efektif di beberapa wilayah dan dapat segera diterapkan lebih luas, terutama karena Kota Bandung sudah memiliki dasar hukum berupa perda tentang pemilahan sampah.

Co-coordinator AZWI, Rahyang Nusantara menyebutkan, transisi sistem pengelolaan sampah untuk mengganti TPA tidak cukup dengan insinerator. Menurutnya, pengelolaan sampah merupakan sebuah keniscayaan dan harus dilakukan dengan pengurangan sampah dari sumber. Pendekatan sistem nol sampah bisa berhasil jika didukung kebijakan dan partisipasi aktif masyarakat.

“Yang kita butuhkan adalah perubahan sistemik yang berakar dari pengurangan sampah di sumber, pengelolaan organik secara lokal, dan penguatan sistem reuse berbasis komunitas. Pengalaman di Bandung menunjukkan bahwa pendekatan zero waste bisa berhasil jika didukung oleh kebijakan yang adil dan partisipasi warga,” ungkap Rahyang Nusantara dalam sesi diskusi, yang diselenggarakan untuk merespons kebijakan nasional penutupan seluruh TPA open dumping dan krisis pengelolaan sampah yang terjadi di Bandung Raya.

Pengelolaan Sampah Kolektif Kolaboratif

Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati juga mengkritik penerapan insenerator dan arang refused derive fuel (RDF). Kedua cara mengolah sampah ini dinilai berisiko tinggi bagi kesehatan dan lingkungan. Ia menegaskan, insinerator adalah teknologi lama yang sudah digunakan sejak awal 1900-an. Sayangnya, cara ini masih tetap dipromosikan tanpa proses validasi yang memadai.

“Standar Technology Readiness Level untuk menilai kesiapan teknologi kini dihilangkan, sementara standar emisi dioxin terus dilonggarkan, dan pengukurannya hanya dilakukan lima tahun sekali,” ujarnya.

Yuyun juga menyoroti, dampak kesehatan dari insinerator jauh lebih besar dibanding TPA. Biaya kesehatan akibat insinerator diperkirakan mencapai 132 dolar per ton sampah, tiga kali lipat lebih tinggi dari TPA, dengan risiko tinggi terhadap gangguan hormon, kanker, dan kesehatan reproduksi akibat paparan dioxin.

“Di Indonesia, limbah abu pembakaran tergolong limbah B3, tapi belum diatur jelas. Bahkan, sampel daging dan jeroan sapi di sekitar TPA terbukti mengandung dioxin,” jelasnya.

Di samping itu, RDF juga dinilai bukan solusi karena hanya mengubah bentuk sampah menjadi pelet atau arang yang tetap dibakar dan menghasilkan emisi beracun. Membangun insinerator atau RDF di setiap kelurahan hanya akan memperluas paparan racun ke masyarakat. Padahal mandat UU Pengelolaan Sampah No.18/2008 sangat jelas menegaskan untuk melakukan “minimisasi”, pengurangan sampah di sumber, hirarki sampah, lalu melarang setiap orang membakar sampah yang tidak layak teknis, serta melarang memasukkan limbah.

Dosen Teknologi Lingkungan Itenas Ainun Naim menekankan, arah baru pengelolaan sampah harus bersifat kolektif dan kolaboratif. Ia juga menyoroti bahwa sektor perdagangan dan jasa merupakan penyumbang terbesar food waste di Bandung. Sementara industri, hotel, restoran dan katering (Horeka) minim akuntabilitas.

Ainun menekankan, pengelolaan sampah yang berkelanjutan perlu lima aspek pendukung, yaitu regulasi yang jelas, sistem operasional, infrastruktur antara, sistem informasi dan pencatatan yang solid, serta kelembagaan yang melibatkan seluruh pihak.

“Selama ini kita masih terlalu bergantung pada TPA, padahal upaya pengurangan seharusnya menjadi fokus utama. Tantangan utamanya adalah lemahnya kehadiran pemerintah di sektor hulu, terutama dalam pengumpulan dan pemilahan,” jelasnya.

Asisten Deputi Bidang Pariwisata Berkelanjutan Kemenparekraf Amnu Fuady juga menambahkan perspektif lintas sektor. Amnu menegaskan, persoalan sampah bukan hanya isu teknis, tetapi juga berdampak pada sektor ekonomi dan pariwisata. Itulah mengapa pengelolaan sampah harus dilakukan sinergis oleh seluruh pihak.

“Sektor pariwisata turut berkontribusi terhadap perubahan iklim, salah satunya melalui limbah plastik dari hotel dan restoran. Oleh karena itu, pengelolaan sampah harus melibatkan sinergi antara pemerintah, swasta, industri, dan masyarakat agar tidak berjalan sendiri-sendiri,” tegasnya.

Baca Juga: Bandung Kembali Menghadapi Darurat Sampah
Memproses Sampah dengan Insinerator di Kota Bandung, Bukan Solusi tapi Polusi

Kondisi Kota Bandung

Melalui Surat Edaran Nomor 14/MENLHK/PSLB3/PLB.0/2/2025, KLHK menginstruksikan penutupan sebanyak 343 TPA di Indonesia yang masih menerapkan sistem open dumping. Atas kebijakan ini, TPA Sarimukti yang melayani kawasan Bandung Raya akan terdampak. TPA Sarimukti pada akhir Agustus 2023 lalu sempat terbakar hebat, menyebabkan lebih dari 8.000 ton sampah menumpuk dan mengganggu layanan dasar warga.

Kondisi persampahan di Kota Bandung saat ini menunjukkan total timbulan harian sebesar 1.496 ton, setara dengan 262 rit/hari, dengan sampah rumah tangga sebagai penyumbang terbesar, dan dominasi sampah organik mencapai 60 persen (data SIPSN 2024). Kapasitas TPA Sarimukti sendiri sudah melebihi batas. Ritase pengangkutan dari Kota Bandung dipaksa turun dari 174 rit/hari menjadi 140 rit/hari. Dari total timbulan sampah, 53,5 persen masih diangkut ke TPA, 22,2 persen berhasil dikurangi, dan 24 persen tidak terkelola.

Kepala Bidang LPB3 DLH Kota Bandung Salam Faruq menyebutkan, meski 50 persen sampah masih diangkut ke TPA, upaya pengurangan terus dilakukan, antara lain melalui penguatan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST), bank sampah, hingga pemberdayaan pemulung. Saat ini baru sekitar 30 persen RW yang mengelola sampah secara mandiri, namun ditargetkan mencapai 800 RW pada akhir tahun.

Salman juga menyoroti tantangan tata kelola di lapangan, termasuk pengelolaan TPS yang seringkali dikuasai oleh pihak non resmi. 

“Ke depan harapannya jumlah reduksi sampah bisa berkurang. Kami ada konsep baru, yakni kumpul-angkut-olah-musnah-manfaatkan, dengan catatan residu tetap ke TPA. Rencana aksi tidak bergantung ke TPA,” jelas Salman.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//