Memproses Sampah dengan Insinerator di Kota Bandung, Bukan Solusi tapi Polusi
Insinerator atau mesin pembakar sampah yang bersifat polutif menjadi cara instan di Kota Bandung. Pemilahan sampah organik dan nonorganik diksesampingkan.
Penulis Yopi Muharam24 Mei 2025
BandungBergerak.id - Jangan lupa, Kota Bandung masih darurat sampah! Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sudah kewalahan menerima kiriman sampah dari Bandung Raya. Untuk mengatasi masalah ini, Pemkot Bandung bersama pemerintah provinsi Jawa Barat memilih teknologi insinerator atau pembakaran, langkah yang sudah lama ditentang para aktivis lingkungan karena efek polusinya yang berbahaya.
Jefry Rohman, Tim Advokasi Persampahan Walhi Jawa Barat, menyatakan meskipun teknologi insinerator dianggap dapat membantu mengatasi masalah sampah, dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan pencemaran udara tetap menjadi isu krusial dan mengkhawatirkan.
Bandung sendiri sebenarnya punya program kurangi pisahkan manfaatkan (Kang Pisman), yaitu gerakan kultural memilah sampah dari sumbernya, yakni dari area komersial dan masyarakat. Setelah lama mati suri sejak era Wali Kota Oded M Danial, narasi Kang Pisman kembali sayup-sayup terdengar di era Wali Kota Muhammad Farhan.
“Saya sangat senang dengan hadirnya Koperasi Merah Putih. Ini bisa jadi wadah untuk menampung dan menjual produk dari Kang Pisman. Setiap RW sedang berupaya menjadi RW bebas sampah dengan mengolah sampah organik mereka sendiri,” ujar Farhan, mengenai rencana pembentukan Koperasi Merah Putih, dikutip dari keterangan resmi, Minggu, 18 Mei 2025.
Namun, gerakan Kang Pisman dikhawatirkan berbenturan dengan proyek pengadaan insinerator yang menekankan pembakaran sampah. Di saat masyarakat membutuhkan edukasi pemilahan sampah yang memerlukan waktu dan proses panjang, membakar sampah bisa jadi dianggap cara paling instan dan mudah.
Menurut Jefry, kesadaran dari masyarakat Indonesia, bukan hanya masyarakat Bandung, terkait pemilihan sampah perlu terus digelorakan melalui program edukasi pemerintah. Namun dengan adanya pembakaran insinerator, ia khawatir masyarakat menjadi tak acuh memilih sampah. “Apalagi dibakar lebih, lebih simpel, lebih cepat,” ujar Jefry, saat dihubungi BandungBergerak, Jumat, 21 Mei 2025.
Insinerator Arcamanik: Pembakaran Sampah di Sekitar Sarana Olahraga
Pada Jumat, 9 Mei 2025, Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, mengunjungi insinerator yang dipasang di kawasan GOR Saparua Bandung. Alat berwarna biru dengan corong yang menjulang ke atas telah beroperasi selama lima pekan di tengah kota. Namun, karena adanya rencana pembangunan patung Sukarno di kawasan tersebut, lokasi insinerator dipindahkan ke Arcamanik, tepatnya di sebelah trek lari Sport Jawa Barat.
Insinerator yang digunakan di Arcamanik adalah hasil karya Ano Haryono, seorang alumnus Teknik Mesin ITB. Ia mengklaim, riset insineratornya mempertimbangkan dampak lingkungan dari pembakaran sampah. Setelah beberapa percobaan, termasuk menggunakan bahan bakar solar yang dicampur dengan air, Ano akhirnya menciptakan insinerator berbahan bakar uap air pada tahun 2014.
Insinerator ini memiliki tiga tingkat pintu. Pintu paling dasar digunakan untuk menyimpan abu hasil pembakaran, pintu tengah untuk pemantik kayu bakar, dan pintu teratas digunakan untuk memasukkan sampah. Insinerator ini mampu membakar 50 kg sampah per jam dan bisa membakar hingga satu ton sampah per hari jika dioperasikan selama lebih dari 10 jam.
Ano juga menyebutkan bahwa alat ini dapat membakar berbagai jenis sampah, baik organik maupun non-organik. “Langsung aja semuanya. Mau organik, non-organik,” jelasnya.

KritikTerhadap Insinerator
Jefry Rohman, dari Tim Advokasi Persampahan Walhi Jawa Barat, menyatakan bahwa penggunaan insinerator sebagai solusi pengelolaan sampah tidak sepenuhnya aman, meskipun alat yang diciptakan bisa mengurangi kepekatan asap. Pembakaran sampah tetap menghasilkan dioksin, sebuah zat berbahaya yang dapat mencemari udara dan membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
“Artinya satu sama lain masih mengandung racun dioksin. Di mana dioksin itu dihasilkan dari hasil pembakaran sampah,” ungkapnya.
Meskipun mendapat kritik, Pemerintah Kota Bandung tetap mendukung penggunaan insinerator sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah sampah. Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, menyatakan bahwa pengadaan insinerator ini sesuai dengan program pemerintah yang tengah berjalan.
Menurutnya, Pemkot Bandung sedang melakukan tiga tahapan dalam menangani sampah: penanganan, pemulihan, dan pernomalan. “Nah, saat ini kami lagi melakukan tahapan penanganan dulu,” ujarnya kepada wartawan, dikutip di laman akun media sosialnya, 9 Mei 2025.
Erwin menambahkan, rencana pengadaan insinerator akan terus berkembang, dengan target 25-30 unit yang akan dipasang di berbagai titik di Kota Bandung. Pemerintah berharap ini akan membantu mengurangi masalah sampah yang terus berkembang, serta mewujudkan kampung-kampung bebas sampah (KBS).
Selain itu, Pemprov Jawa Barat juga berencana untuk mengadakan 84 unit insinerator yang akan dibagikan ke berbagai daerah di Jabar, termasuk Kota Bandung yang akan mendapatkan 43 unit. Anggaran sebesar 117 miliar rupiah telah disiapkan untuk pengadaan alat ini.
Baca Juga: Insinerator tidak Mengatasi Akar Persoalan Sampah di Jawa Barat
Kunaon Insinerator Anu jadi Solusi Sampah Kota Bandung?
Aliansi Menolak Insinerator
Insinerator bukan metode anyar dalam pengelolaan sampah. Jauh sebelum Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar menggunakan alat thermal ini, para aktivis lingkungan yang tergabung dalam aliansi sudah menyuarakan betapa bahaya mengelola sampah dengan cara dibakar menggunakan insinerator.
Aliansi ini terdiri dari AZWI, Walhi Jawa Barat, Walhi Nasional, Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA). Ada sejumlah alasan mengapa aliansi ini tegas menolah insinerator. Insinerator merupakan cara paling mahal untuk menangani sampah dan menghasilkan listrik. Di saat yang sama, kota dan kabupaten masih sangat memerlukan tambahan anggaran yang sangat besar untuk mengelola sampah secara terpilah dan mengurangi sampah dari sumber, terutama sampah organik yang mendominasi timbulan sampah.
Aliansi menyerukan, seharusnya pendanaan untuk insinerator dialihkan untuk mengelola sampah organik yang menjadi biang kerok insiden meledak dan terbakarnya TPA Sarimukti dan TPA Leuwigajah. Investasi pada teknik pemilahan sampah seperti pengomposan berpotensi menghasilkan pekerjaan baru setidaknya 6 kali lipat dibanding insinerator.
Selain itu, Aliansi Pemulung Internasional juga melaporkan bahwa insinerator dan privatisasi sektor sampah sangat merugikan para pemulung dan pekerja informal di sektor sampah.
Yobel Novian Putra dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) menekankan konsekuensi negatif insinerator pada krisis iklim. "Insinerator hanya akan mereplikasi terbakarnya TPA Sarimukti yang melepas gas rumah kaca dalam skala besar. Seperti terbakarnya sampah di TPA, insinerator membakar campuran berbagai jenis sampah, baik sampah organik maupun plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil”.
Berbagai studi terbaru menunjukan bahwa insinerator di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa melepaskan emisi gas rumah kaca lebih besar daripada pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
“Pembakaran sampah organik hanya mengkonversi emisi gas metan dari sampah organik menjadi CO2 secara masif. Ini hanya akan menjauhkan Indonesia dari target Perjanjian Paris dan perjanjian Global Methane Pledge yang ditandatangani Indonesia belum lama ini,” kritik Yobel, yang merupakan Staf Kebijakan Iklim dari GAIA.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artiikel lain tentang Insinerator