Insinerator tidak Mengatasi Akar Persoalan Sampah di Jawa Barat
Walhi Jabar menegaskan insinerator sebagai jalan instan yang justru menimbulkan risiko kesehatan dan lingkungan yang lebih besar, salah satunya pencemaran udara.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah20 Mei 2025
BandungBergerak.id - Setelah kejadian kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat beberapa tahun lalu, permasalahan sampah di Jawa Barat sampai saat ini belum terpecahkan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat kemudian mengambil jalan pintas insinerator, tungku pembakaran sampah yang justru menghasilkan polusi.
Sedikitnya ada 84 insinerator skala menengah berbasis teknologi yang dinamai oleh Pemprov Jabar. Mesin yang diberi nama insinerator Motah (Mesin Olah Runtah) itu diklaim bisa mampu mengolah 10 ton sampah per hari. Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar) menilai upaya pengadaan insinerator sebagai pilihan yang tidak tepat dan berisiko.
Tim Advokasi Persampahan Walhi Jabar Jefry Rohman mengatakan, kebijakan ini menelantarkan intrusksi gubernur no 02/PBLS.04/DLH mengenai pengurangan kuota sampah di TPA Sarimukti dengan melarang membuang sampah organik ke TPA. Padahal, insinerator dan pemilihan sampah organik tidak bisa berjalan bersamaan. Jefry menilai, solusi insinerator menunjukkan pemerintah daerah enggan menyelesaikan akar masalah, yaitu pemilahan sampah organik dan nonorganik.
Pengadaan insinerator tersebut dilakukan dengan skema secara gotong royong antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota. Kota Bandung menjadi wilayah terbanyak yakni 43 unit, Kota Cimahi 6 unit, Kabupaten Bandung 23 unit, sementara Kabupaten Bandung Barat 10 unit.
“[Insinerator] berisiko menambah beban pencemaran lingkungan kawasan Bandung Raya di kemudian hari,” kata Jefry, kepada BandungBergerak, Selasa, 13 Mei 2025.
Ia melihat rencana pembangunan tungku-tungku pembakaran sebagai solusi instan dan terburu-buru, bahkan kental nuansa proyek atau pengadaan.
Ia juga menilai, kebijakan pengadaan insinerator memperlihatkan tidak konsistennya pemerintah daerah untuk menyelesaikan permasalahan sampah di Jawa Barat. Permasalahan pengelolaan sampah merupakan tugas bersama yang diperlukan komitmen dan solusi berkelanjutan.
Pengelolaan sampah semestinya dilakukan dengan cara pengurangan dan pemilihan dari sumber. Contoh, sampah organik tidak masuk ke dalam TPA, apalagi dibakar, tetapi harus ditangani dengan solusi yang rasional melalui pengomposan, budidaya maggot BSF, dan metode biokonversi lainnya.
Walhi Jabar pun mendesak agar obsesi terhadap teknologi pembakaran ini dihentikan. Pemerintah provinsi dan pemerintah daerah di Bandung Raya diminta mengalihkan anggarannya pada penguatan sistem pemilahan dari sumber, baik di masyarakat atau pun kawasan komersial, revitalisasi TPS3R, serta penegakan hukum terhadap pelanggar.
“Bukan mengandalkan teknologi mahal dan bermasalah yang hanya memindahkan beban atau bahkan memperparah dampak lingkungan,” jelas Jefry.
Klaim Upaya Progresif
Sekretaris Daerah Jawa Barat Herman Suryatman mengatakan, pemerintah daerah bersama kabupaten dan kota di Bandung Raya akan melakukan langkah progesif dengan gotong royong terhadap persoalan sampah di saat TPA Sarimukti sudah kelebihan muatan.
Saat ini kapasitas TPA Sarimukti yang hanya mengandalkan zona 3 yang bisa menampung 50.000 ton. Posisi ini dipastikan tidak bisa bertahan selama 41 hari ke depan mengingat volume harian sampah harian mencapai 1.200 ton.
Pemerintah kemudian melakukan pengadaan insinerator Motah yang mampu mengolah 10 ton sampah per hari. Pengadaan insinerator sendiri dibutuhkan sekitar 84 unit dengan proyeksi anggaran senilai 117 miliar rupiah dengan skema dibagikan secara gotong royong antara pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota. Sementara teknologi pengolahan lain seperti maggot dan composting yang diminta untuk dioptimalkan 100 persen.
“Pak Gubernur minta semua insinerator yang ada sekarang difungsikan maksimal. Kami minta kepala daerah berikhtiar agar fasilitas yang ada benar-benar berjalan efektif,” kata Herman sebagaimana dikutip dari keterangan resmi, Rabu, 14 Mei 2025.
Jika rencana ini terealisasi, Herman mengatakan kebijakan akan mulai berlaku 2026 dengan targetnya selesai dalam 36 bulan. “Itu akan sinkron dengan habisnya usia pakai Sarimukti pada pertengahan 2028,” ujar Herman.
Baca Juga: Insinerator Cara Paling Akhir untuk Musnahkan Sampah Medis B3
Bandung akan Menghadapi Masalah Polusi dan Biaya jika Mengatasi Sampah dengan Insinerator
Menuai Biaya Tinggi dan Asap Beracun dari Tungku Pembakaran Sampah (Insinerator) di Cekungan Bandung
Sampah Kota Bandung Jauh dari Selesai
Bandung menjadi kota yang belum mampu menyelesaikan persoalan serius sampah. Produksi sampah yang meningkat setiap tahun, didorong pertumbuhan penduduk dan perubahan gaya hidup, melampaui kapasitas pengelolaan sampah yang ada.
Menurut data Badan Pusat Statistik 2023, kota ini menghasilkan sekitar 1.500 ton sampah per hari, termasuk lebih dari 300 ton sampah plastik yang sulit terurai. Sebagian besar sampah ini dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti yang kini di ambang kolaps.
Kondisi darurat ini mengingatkan kembali pada tragedi longsor gas metana di TPA Leuwigajah dua dekade lalu yang menewaskan 157 jiwa. Ancaman serupa berulang pada 2023 ketika kebakaran hebat melanda TPA Sarimukti selama 23 hari, menyebarkan debu beracun yang mengancam kesehatan lebih dari 120 ribu jiwa.
Forum BJBS mencatat bahwa 68-73 persen sampah di Sarimukti berasal dari Kota Bandung, yang artinya kota ini akan paling terdampak jika layanan TPA dihentikan. Di tengah tekanan tersebut, Pemerintah Kota Bandung pernah mewacanakan kembali pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Kota ini juga menggunakan teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) yang dianggap solusi.
Namun, PLTSA dan RDF sebagai solusi semu yang mahal dan membahayakan lingkungan. PLTSa menggunakan pembakaran termal yang menghasilkan gas rumah kaca serta senyawa beracun seperti dioksin—zat penyebab kanker, gangguan imun, dan kerusakan sistem reproduksi menurut WHO. Studi di Surabaya menunjukkan kontaminasi dioksin pada telur ayam akibat pembakaran sampah plastik, menggambarkan nyata risiko PLTSa bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Selain bahaya lingkungan, PLTSa juga memerlukan biaya besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa proyek ini memiliki model bisnis yang membebani anggaran pemerintah daerah. Contohnya, DKI Jakarta harus menanggung biaya layanan pengolahan sampah hingga 470 miliar rupiah per tahun untuk mengolah 2.200 ton sampah per hari. Model ini dinilai tidak efisien dan sarat risiko korupsi.
Sementara itu, teknologi RDF yang mengolah sampah plastik menjadi arang juga dinilai berbahaya. Aliansi Zero Waste Indonesia menilai RDF tetap menghasilkan racun dalam prosesnya dan hanya memperpanjang siklus polusi dari plastik sekali pakai. Sayangnya, Pemkot Bandung telah bekerja sama dengan industri tekstil untuk menggunakan RDF sebagai bahan bakar alternatif.
Di tengah kebuntuan solusi instan ini, pendekatan “zero waste” seperti program Kang Pisman (kurangi, pisahkan, manfaatkan) justru menawarkan jalan keluar jangka panjang yang lebih berkelanjutan. Metode ini mendorong perubahan perilaku di tingkat rumah tangga dan komunitas, mengurangi sampah dari sumbernya. Saat ini, baru 180 kawasan di Bandung yang menerapkannya, jumlah yang masih jauh dari cukup.
Solusi ideal tak cukup bertumpu pada teknologi mahal atau pembakaran. Perlu regulasi nasional untuk melarang produk dan kemasan sekali pakai serta dorongan terhadap sistem guna ulang. Hanya dengan pengendalian sampah dari sumber dan penguatan edukasi masyarakat, pengelolaan sampah Kota Bandung dapat menjauhi bencana serupa Leuwigajah dan Sarimukti.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan lain tentang INSINERATOR