• Berita
  • Menuai Biaya Tinggi dan Asap Beracun dari Tungku Pembakaran Sampah (Insinerator) di Cekungan Bandung

Menuai Biaya Tinggi dan Asap Beracun dari Tungku Pembakaran Sampah (Insinerator) di Cekungan Bandung

Organisasi lingkungan menolak insinerator sebagai solusi dalam mengatasi sampah. Mereka merekomendasikan agar program pemilahan dan pengurangan sampah digiatkan.

Insinerator di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat. Pembakaran sampah dengan insinerator membutuhkan biaya tinggi dan menghasilkan polusi berbahaya. (Sumber: Walhi Jabar, 2022)

Penulis Awla Rajul26 Februari 2022


BandungBergerak.idPenggunaan tungku pembakaran sampah (insinerator) di Bandung Raya akhir-akhir ini semakin menguat, menyusul kewalahannya tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Sarimukti. Insinerator dianggap menjadi jalan penting di tengah kurang gencarnya upaya pengurangan dan pemilahan sampah di sumber-sumber produksi sampah: rumah tangga, industri, pusat perdagangan, perkantoran, dan seterusnya.

Padahal membakar sampah dengan tungku pembakaran merupakan sebagai solusi semu dalam mengatasi sampah. Hasil observasi yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar) menunjukkan mayoritas insinerator di Cekungan Bandung (Bandung Raya) tidak efektif dalam memusnahkan sampah.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Meiki W Paendong mengatakan, observasinya menemukan ada 23 titik insinerator di Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi). Setelah diverifikasi, temuan ini mengerucut menjadi 14 insinerator.

“Dari 14 itu, sembilan sudah tidak aktif, tidak dipakai. Yang aktif lima (insinerator),” beber Meiki, dalam Media Briefing di Hotel Tebu, Bandung, Jumat (25/2/2022).

Tungku-tungku pembakaran sampah temuan Walhi Jabar tersebar di Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat (KBB). Temuan insinerator terbanyak berada di wilayah Kabupaten Bandung.

Meiki membebeberkan, ada 10 insenerator yang lokasinya berdekatan dengan permukiman warga, rata-rata berjarak hanya 50 hingga 100 meter saja. Sedangkan lima lainnya berjauhan. Observasi ini juga menemukan bahwa insinerator membutuhkan bahan bakar tambahan agar pembakaran sampah berlangsung cepat, seperti solar, gas elpiji, maupun listrik.

Menurut Meiki W Paendong, masing-masing insinerator memiliki kapasitas berbeda. Di antaranya, ada insinerator dengan kapasitas 2.000 kilogram dalam satu kali proses pembakaran yang membutuhkan waktu 12 jam.

Rata-rata sampah yang dibakar di tungku bakar masih dalam keadaan tercampur, tidak ada pemilahan sampah organik dan nonorganik.

“Kondisi sampah dari warga kan masih tercampur. Jadi tidak ada pemilahan lagi ketika dibakar, dimasukin langsung ke tungku (insinerator),” lanjut Meiki.

Walhi Jabar menyimpulkan bahwa pengoperasian tungku bakar atau insinerator tidak efisien dan berbiaya tinggi karena membutuhkan bahan bakar tambahan. Selain itu, banyak insinerator yang mengalami kendala teknis dengan penyebab beragam, namun kebanyakan karena terkendala biaya operasional yang tinggi yang akhirnya menimbulkan kerusakan.

Baca Juga: Mengurangi Sampah Plastik dengan Membudayakan Isi Ulang
Darurat Sampah Bandung Raya
https://bandungbergerak.id/foto/detail/62/darurat-sampah-bandung-raya

Walhi Jabar menggelar Media Briefing terkait pengelolaan sampah, Bandung, Jumat (25/2/2022). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Walhi Jabar menggelar Media Briefing terkait pengelolaan sampah, Bandung, Jumat (25/2/2022). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Berapa Ongkos Operasional Insinerator?

Pakar sampah ITB Enri Damanhuri pernah menghitung betapa tingginya biaya operasional insinerator. Untuk insinerator dengan teknologi sederhana membutuhkan biaya operasional Rp 150-200 ribu itu per ton sampah. Biaya operasional ini meliputi solar sebagai bahan bakar.

Sebagai gambaran, Kota Bandung menghasilkan sampah antara 1.000 hingga 1.500 ton per hari, menurut BPS Kota Bandung. Dengan pengadaan solar hingga Rp 200 ribu per tonnya, maka untuk membakar sampah 1.500 ton itu memerlukan sekitar Rp 300 juta per hari.

Biaya tersebut belum termasuk dengan pengadaan mesin insinerator berikut dengan komponennya, misalnya penyaring debu dan lain-lain. Sebab insinerator bukanlah tungku pembakaran sampah biasa, melainkan tungku dengan teknologi pembakaran yang memiliki beragam saringan asap atau abu.

Enri kemudian membandingkan biaya operasional insinerator dengan pembuangan ke TPA Sarimukti. Ongkos pembuangan ke TPA Sarimukti sekitar Rp 70.000 – Rp 80.000 per ton. Jika dikalikan dengan volume 1.500 ton sampah Kota Bandung per harinya, maka hasilnya Rp 120 juta. Biaya ini tentu jauh lebih murah dibandingkan operasional insinerator yang mencapai Rp 300 juta per hari.

Enri Damanhuri menegaskan bahwa solusi ideal dalam mengatasi sampah adalah dengan melakukan pemilahan seperti program 3R atau Kang Pisman (kurangi, pisahkan, manfaatkan). Edukasi ini memang tidak instan, memerlukan kampanye serius kepada masyarakat oleh pemerintah daerah setempat.

Insinerator telah Ditinggalkan Negara Maju

Penggunaan insinerator merupakan solusi panik yang dilakukan di Indonesia di saat terdesaknya Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di negara-negara maju seperti di Uni Eropa dan Amerika Serikat, insinerator telah ditinggalkan sejak lama.

Aktivis lingkungan dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) Asia Pasifik, Yobel Novian Putra menyebutkan operasional insinerator menghamburkan dana publik, selain ada risiko lain yang lebih besar yaitu asap dan abu beracun.

Polusi dari insinerator bahkan meracuni lintas generasi. Insinerator pun bertentangan dengan solusi krisis iklim, tidak ramah lingkungan, dan menghambat pencapaian target pengurangan dan daur ulang sampah. Sehingga insinerator dilarang penggunaannya di Uni Eropa sejak 2019. Di Amerika Serikat penggunaan insinerator sudah dimulai sejak dekade 1970-an. Teknologi ini kemudian ditolak oleh komunitas lokas di Amerika pada 1985 dan 1995.

Maka, sejak awal tahun 2000 setidaknya ada 31 insinerator sampah ditutup di Amerika Serikat karena beragam isu, salah duanya adalah masalah finansial (biaya tinggi) atau tidak memenuhi aturan perlindungan lingkungan hidup yang berlaku.

Insinerator Menghasilkan Racun Udara

Insinerator adalah alat bakar sampah yang telah digunakan sejak lama oleh manusia sebelum adanya konsep pengolahan sampah modern. Bedanya, pembakaran sampah dulu dilakukan secara tebuka, sedangkan sekarang tertutup.

Namun, baik insinerator yang terbuka maupun tertutup, teknologi ini tetap saja menghasilkan abu beracun jenis dioxin dan furan yang berbahaya bagi kesehatan. Racun ini bisa menempel di tubuh hingga lintas generasi.

“Secara global, insinerator ini diakui sebagai penghasil utama dioxin dan furan, sejenis racun yang berbahaya sekali yang sifatnya lintas generasi. Dia menempel terus di tubuh, gak bisa lepas. Dia mengganggu hormon, penyebab kanker,” terang Yobel, dalam Media Briefing bersama Walhi Jabar.

Yobel menceritakan, idealnya insinerator sampah memiliki tiga tahapan. Ruang pertama adalah tungku bakar. Ruang kedua berfungsi sebagai penangkap apa yg dihasilkan di ruang tungku bakar. Di ruang kedua ini terdapat penyaring gas beracun dan debu serta cerobong. Yang terakhir adalah ruang ketiga, yaitu penampungan abu beracun hasil pembakaran sampah.

Tetapi insinerator yang ada di Indonesia kebanyakan hanya di tahap tungku bakar saja. Tidak ada penyaring gas dan racun. Meskipun terdapat cerobong untuk mengeluarkan asap, namun cerobong ini tidak dilengkapi dengan teknologi yang seharusnya ada pada insinerator. Artinya, asap yang dikeluarkan berada pada radius yang dapat dihirup oleh manusia.

Dalam empat ton sampah yang dibakar akan menghasilkan satu ton abu. Sekitar 90 persen abu ini akan mengendap, namun 10 persen lainnya akan terlepas ke udara sebagai zat berbahaya yang mengandung racun dioxin, furan, dan lain-lain.

Penolakan terhadap Insinerator

Organisasi lingkungan seperti Walhi Jabar maupun Global Alliance for Incinerator Alternatives menolak penggunaan insinerator sampah sebagai solusi untuk menangani sampah di Indonesia.

Yobel pun merekomendasikan, daripada “membakar” uang untuk insinerator, dananya lebih baik dialokasikan secara bertahap untuk mengingkatkan cakupan layanan pengumpulan dan pengangkutan sampah. Ketika tahapan ini sudah tercapai, bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya untuk menciptakan sistem pengumpulan terpilah.

Setelah kedua tahapan itu tercapai, langkah akhirnya adalah fokus berinvestasi pada penanganan sampah organik melalui teknik-teknik mudah dan murah dan dapat menciptakan lapangan kerja seperti pengomposan, biokonversi (maggot), biodigester, dan sebagainya.

“Segera hentikan tungku bakar (insinerator). Karena kelihatan standarnya ada, tapi kalau pun mau dipaksa diawasi gak ada gunanya, standarnya sudah salah. Perusahaan juga tidak ada yang lapor mengenai pengawasannya. Nah, mending distop aja. Karena kalau dipaksakan, diawasi, dibuat standarnya, dikaji lagi, ini cuma buang-buang. Mending investasi di tempat yang udah jelas aja,” ujar Yobel.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//