Bandung akan Menghadapi Masalah Polusi dan Biaya jika Mengatasi Sampah dengan Insinerator
Pemkot Bandung berencana memakai insinerator dalam mengatasi sampah. Sementara gerakan memilah sampah (Kang Pisman) semakin sayup.
Penulis Iman Herdiana5 Januari 2022
BandungBergerak.id - Lagi-lagi soal sampah. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sepertinya kini tertarik mengatasi sampah dengan insinerator atau alat bakar sampah. Rencana ini dinilai hanya pilihan jangka pendek yang tidak akan menyelesaikan Bandung dari darurat sampah.
Rencana penggunaan insinerator itu setidaknya terlihat dari agenda Wakil Wali Kota Bandung yang kini sebagai Plt Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, yang tercatat beberapa kali mengunjungi tempat-tempat pengelolaan sampah yang menggunakan tungku bakar.
Kunjungan terbaru dilakukan ke Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, pada akhir Desember kemarin. Yana Mulyana menilai, insinerator di Kota Baru Parahyangan memiliki kapasitas besar, yakni 5 ton per hari.
"Metode pengolahan sampah insinerator di sini kapasitas cukup besar 5 ton per hari. Kita terus mencari metode, memang bagaimanapun sampah menjadi masalah bagi Kota Bandung," ujar Yana, dalam siaran pers Selasa (28/12/2021).
Mahalnya Biaya Insinerator
Sampah Kota Bandung kini bukan saja masalah, melainkan sudah darurat. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, yang sehari-hari menampung sampah dari Kota Bandung, kini semakin kelebihan kapasitas. Tidak lama lagi TPA ini akan tutup.
Sementara TPA baru di Legok Nangka, Kabupaten Bandung, belum jadi-jadi. Maka, wajar jika Bandung kini darurat sampah. Situasi Bandung lautan sampah kemungkinan besar bisa terjadi kembali. Dalam keadaan terjepit inilah sepertinya insinerator menjadi pilihan.
Tetapi insinerator memiliki masalah tidak kalah seriusnya. Teknologi pembakaran sampah ini memerlukan biaya pengadaan dan operasional yang tidak murah, belum lagi dengan pencemaran debu dan asap beracun yang bisa mengancam kesehatan orang yang menghirupnya.
“Pertanyaan (soal sampah Kota Bandung selalu) sama, tapi tak terselesaikan hingga kini. Karena Legok Nangka belum (bisa beroperasi). Sarimukti juga darurat. Mungkin pemecahan sementara insinerator dan jelas insinerator itu sementara,” terang pakar sampah dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Enri Damanhuri, saat dihubungi BandungBergerak.id, Rabu (5/1/2022).
Enri menjelaskan, insinerator bukan tungku pembakaran biasa yang asapnya bisa menyebar ke mana-mana. Insinerator merupakan teknologi pembakaran sampah yang memiliki banyak spesifikasi, antara lain, komponen penyaring debu dan asap hasil sampah yang dibakar. Dengan komponen-komponen penyaringan tersebut, debu dan asap hasil pembakaran bisa diredam agar tidak terlalu mencemari lingkungan.
Hal itulah yang membuat harga insinerator dengan teknologi tinggi sangat mahal. Belum lagi dengan biaya operasional yang juga tidak murah. Menurut Enri, sampah Kota Bandung umumnya berupa sampah basah yang sulit dibakar. Sehingga pembakaran memerlukan solar yang harganya kalau dijumlahkan bisa melebihi biaya pembuangan ke TPA Sarimukti.
“Kalau insinerator yang sederhana itu bisa di atas Rp 150-200 ribu itu per ton (biaya operasional seperti solar dan lainnya),” terang Enri.
Dalam sehari, Kota Bandung menghasilkan sampah antara 1.000 hingga 1.500 ton (BPS Kota Bandung). Dengan pengadaan solar Rp 200 ribu, untuk membakar 1.500 ton sampah tersebut memerlukan sekitar Rp 300 juta per hari. Biaya ini belum termasuk dengan pengadaan mesin insinerator berteknologi tinggi.
Sekarang mari kita bandingkan dengan biaya pembuangan ke TPA Sarimukti. Menurut Enri, ongkos pembuangan ke TPA Sarimukti sekitar Rp 70.000 – 80.000 per ton. Jika dikalikan 1.500 ton sampah Kota Bandung per harinya, maka hasilnya Rp 120 juta.
Baca Juga: Bandung Kota Rawan Bencana (3): Kang Pisman vs Bom Waktu Sampah
Program Kang Pisman Dirasakan Mengendur selama Pagebluk
Tersendatnya TPA Sarimukti Menunjukkan Rapuhnya Pengelolaan Sampah Kota Bandung
Ongkos tersebut belum termasuk biaya transportasi untuk truk-truk pengakut sampah yang berkapasitas 4 ton. Ongkos angkut ini bisa mencapai lebih dari Rp 100.000 per ton. Sehingga jika dikalikan dengan 1.500 ton sampah Kota Bandung per hari, maka biaya ongkos truk ini Rp 150 juta.
Dari hitung-hitungan kasar itu bisa dilihat bahwa biaya menggunakan insinerator tetap lebih mahal. Namun hitung-hitungan ini belum termasuk dengan dampak pencemaran udara yang bahkan bisa turut menyumbang pemanasan global. Padahal dunia sedang terancam pemanasan global akibat tinggi polusi udara, seperti yang disorot dalam konferensi perubahan iklim COP 26.
“Di samping itu, persoalan udaranya itu lain lagi, bagaimana dengan mengatasi asap, terus abu sisa pembakaran (insinerator) yang pastinya bakal banyak yang tersisa,” papar Enri.
Dengan kata lain, insinerator tak bisa diharapkan dalam mengatasi sampah Kota Bandung dalam jangka waktu panjang. “Insinerator itu ga menyelesaikan masalah. Malah jangkanya sangat pendek, ga sampai setahun, rusak itu insineratornya, saya yakin. Di samping itu akan kesulitan menyediakan dana untuk solar. Saya yakin itu,” kata Enri.
Enri telah melakukan riset tentang fungsi insinerator di beberapa tempat di Indonesia. Rata-rata mereka menghadai masalah yang sama, yakni mogok karena tidak ada biaya untuk membeli solar atau inseneratornya rusak. Umur insinerator paling lama setahun, bahkan ada yang hanya mampu bertahan enam bulan saja.
Kembali ke Kang Pisman
Enri menegaskan, solusi ideal bagi Kota Bandung dan kota-kota lainnya di Indonesia adalah melakukan pemilahan dan pengurangan sampah sejak dari rumah tangga masyarakat. Kota Bandung sebenarnya sudah punya program Kang Pisman. Sayangnya, di saat Bandung darurat sampah, program Kang Pisman terasa meredup.
“Dulu almarhum Mang Oded (Oded M. Danial) yang menggerakan Kang Pisman sudah mulai kelihatan tuh. Terus gencar sekali itu. Sekarang kan ga kedengaran lagi. Kalau gencar kan lama-kelamaan orang berpikir ‘oh, iya ya’. Harus terus-terusan itu (Kang Pisman) ga boleh berhenti,” ucap Enri Damanhuri.