Gagasan Koperasi dalam Konteks Pengelolaan Sampah Organik Skala Perkotaan
Gagasan koperasi petugas pengumpul sampah diharapkan menjadi model yang mendukung keberlanjutan pola pengelolaan sampah yang manusiawi.
Mochamad Andi Nurfauzi
Sekretaris Forum Bandung Juara Bebas Sampah
20 Desember 2021
BandungBergerak.id - Persoalan sampah, masih menjadi permasalahan besar hingga saat ini. Berbagai solusi terus diupayakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam konteks Kota Bandung, produksi sampah yang dihasilkan sebanyak kurang lebih 1.300 - 1.600 ton per hari (Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan (DLHK) Kota Bandung), dengan komposisi sampah organik menempati urutan paling banyak, yaitu 48,5 persen yang terbagi menjadi sampah makanan dan daun sebanyak 44,51 persen dan kayu sebanyak 3,98 persen. Kemudian disusul oleh anorganik yang berpotensi daur ulang sebanyak 37 persen, dan residu 14,6 persen (Damanhuri, 2017).
Salah satu program penanggulangan sampah Kota Bandung ialah Kang Pisman, akronim dari kurangi pisahkan manfaatkan. Program ini dijalankan di bawah komando DLHK Kota Bandung. Ada pula program Zero Waste Cities yang diimplementasikan oleh salah satu NGO berbasis di Bandung, yaitu Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB).
Kedua program tersebut memberikan satu gambaran optimis terhadap transformasi tata kelola persampahan sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Tentu harapan dari program tersebut, tidak lain adalah mengurangi ketergantungan kota terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan proses kumpul-angkut-buangnya, menjadi pengelolaan secara desentralisasi, dilakukan sedekat mungkin dengan sumber penghasil sampah melalui kurangi-pisahkan-manfaatkan sampah. Sehingga, sampah organik hingga anorganik yang berpotensi daur ulang, dapat dimanfaatkan secara maksimal, dan berkontribusi terhadap reduksi timbulan sampah perkotaan. Dengan pemilahan sampah sejak dari sumber sebagai prasyarat utama.
Bahan Organik sebagai Hasil dari Pemanfaatan Sampah Organik
Setelah pemilahan berhasil dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya, dalam konteks kawasan tidak berpengelola, yaitu rumah tangga, maka fase selanjutnya adalah pemanfaatan dari sampah organik dan anorganik berpotensi daur ulang. Untuk organik, dapat dilakukan dengan mengompopskan bahan-bahan tersebut pada fasilitas komposting skala rumah tangga, untuk anorganik berpotensi daur ulang, dapat diberikan kepada petugas pengumpul sampah, pemulung atau bank sampah.
Namun persoalannya –terlebih untuk bahan organik– adalah keterbatasan lahan pada beberapa rumah yang menyulitkan untuk melakukan komposting, maka sampah organik yang telah dipilah di rumah, perlu dikumpulkan oleh petugas pengumpul sampah secara terpilah untuk masuk kedalam fasilitas pengomposan skala komunal, khususnya di tingkat RT/RW.
Bagaimana jika RT/RW tidak memiliki fasilitas pengomposan? Karena fasilitas pengomposan berada di luar RT/RW tempat petugas pengumpul sampah bertugas, artinya, bahan organik tadi harus masuk ke dalam fasilitas pengomposan skala kelurahan, kecamatan hingga pusat olah organik skala kota. Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa yang akan mengerjakannya? Jika ada di luar wilayah RT/RW itu sudah menjadi tanggung jawab UPT Pengelolaan Sampah, sesuai dengan ketentuan yang ada pada Perwal No. 48 Tahun 2020 tentang Pembentukan, Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja UPT Pengelolaan Sampah.
Dari proses pemilahan (pengumpulan terpilah), maka kita mendapatkan bahan organik yang dapat dimanfaatkan pada berbagai fasilitas dan metode baik pada skala rumah, RT/RW, kelurahan, kecamatan hingga kota.
Saya lebih suka menyebutnya dengan bahan organik, karena bagi saya ia merupakan sebuah sumber daya yang tentunya bermanfaat untuk sektor pertanian, hingga peternakan, bahkan dapat juga dimanfaatkan menjadi gas. Dari pemanfaatan tersebut, maka kita perlu melihat bahwa sampah organik tidak serta merta sebagai sampah, melainkan sebagai bahan yang bermanfaat. Sebuah sumber daya.
Kompos, merupakan salah satu hasil dari pemanfaatan bahan organik yang ada dari sistem pengelolaan sampah secara desentralisasi. Kompos dapat dimanfaatkan untuk sektor pertanian, dan berpotensi untuk melepaskan ketergantungan terhadap pupuk kimia, tentu dengan proses penetapan standar produksi yang sesuai. Berdasarkan Simanungkalit dalam Buku Pupuk Organik dan Pupuk Hayati yang diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, disebutkan bahwa pemakaian pupuk anorganik dalam jumlah berlebihan di atas takaran rekomendasi, sudah memberikan dampak terhadap lingkungan yang negatif seperti menurunnya kandungan bahan organik tanah, rentannya tanah terhadap erosi, menurunnya permeabilitas tanah, hingga menurunnya populasi mikroba tanah.
Dari analisis pasar, didapatkan bahwa pertumbuhan permintaan pupuk organik dunia mencapai 15-20 persen per tahun (Jolly, 2000). Namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5 – 2 persen dari keseluruhan produk pertanian. Bertumbuhnya permintaan tersebut, menjelaskan bahwa adanya potensi pasar pupuk kompos yang sangat tinggi.
Selain kompos, bahan organik dapat dimanfaatkan melalui biokonversi oleh Maggot Black Soldier Fly (BSF), yang menghasilkan produk pakan alternatif berprotein tinggi, untuk sektor peternakan unggas, hingga perikanan.
Posisi Petugas Pengumpul Sampah
Dalam proses pengelolaan sampah yang telah dijelaskan sebelumnya, kita dapat mengamati peran krusial petugas pengumpul sampah dalam sistem pengumpulan terpilah hingga pemanfaatan sampah. Namun posisinya hari ini, tidak didukung dengan sistem jaminan sosial dan kesehatan yang kuat.
Berdasarkan hasil observasi saya di beberapa kelurahan di Kota Bandung, petugas pengumpul sampah dibayar oleh RW melalui iuran dari warga, dengan pendapatan yang jauh di bawah UMR, ada beberapa petugas pengumpul sampah yang menarik iuran langsung dari warga, tapi tetap, tidak mencapai UMR. Selain itu, beberapa petugas tidak memiliki asuransi kesehatan padahal ia bekerja dengan risiko tinggi terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Petugas pengumpul sampah berada dalam posisi rentan. Ia harus menjadi salah satu pihak yang menerima manfaat manakala transformasi sistem pengelolaan sampah terjadi, dan tidak menjadi pihak yang termarjinalisasi dalam proses tersebut.
Pendapatan tambahan petugas pengumpul sampah, didapatkan dari penjualan sampah anorganik yang berpotensi daur ulang. Namun, untuk bahan organik, belum dilakukan. Karena, proses tersebut membutuhkan proses lebih lanjut, seperti hal teknis produksi kompos dan maggot BSF, kemudian modal infrastruktur pendukung, hingga akses pasar untuk menjual produk-produk tersebut.
Selain itu karena belum terorganisirnya petugas pengumpul sampah pada level kota, hal tersebut tentu menyulitkan kekuatan petugas pengumpul sampah secara kolektif untuk melakukan kerja advokasi pada pemerintah daerah.
Lantas, bagaimana model yang coba saya tawarkan untuk mengoorganisir para petugas pengumpul sampah di Kota Bandung?
Baca Juga: Bandung Kota Rawan Bencana (3): Kang Pisman vs Bom Waktu Sampah
Tersendatnya TPA Sarimukti Menunjukkan Rapuhnya Pengelolaan Sampah Kota Bandung
utaan Lembar Sampah Plastik Cemari Laut Indonesia
Koperasi sebagai Alternatif dalam Tata Kelola Sampah
Menghadirkan diskursus koperasi dalam tata kelola persampahan, perlu diikuti dengan alasan logis, dalam menjawab pertanyaan, engapa harus koperasi?
Pertama-tama, tentu koperasi bersumber pada kekuatan individu yang kemudian berkolektif, maka titik krusial yang berperan penting dalam berjalannya organisasi koperasi adalah individu manusia itu sendiri, bukan pada kapital seperti pada korporasi. Artinya poros perjuangan koperasi sejatinya adalah proses bottom-up dari petugas pengumpul sampah yang mengorganisir dirinya sendiri menjadi anggota sekaligus penggerak koperasi. Saya meminjam pemikiran Aidit terkait relevansi koperasi sebagai kekuatan kolektif, bahwasannya koperasi mempunyai unsur mempersatukan, yaitu mempersatukan rakyat yang lemah ekonominya, dalam hal ini adalah petugas pengumpul sampah yang juga memiliki kerentanan ekonomi. Adapun kekuatan kolektif dalam koperasi ini bisa berwujud melalui perjuangan untuk mengadvokasi upah yang adil, menghimpun sumber daya bahan organik untuk pertambahan nilai dan akses pendapatan tambahan, hingga peningkatan kapasitas antar petugas pengumpul sampah dalam keterampilan pengolahan sampah organik.
Selanjutnya adalah para petugas pengumpul sampah yang telah bersatu dalam koperasi, dapat mengoptimalkan modal bersama-sama untuk berinvestasi membangun usaha khususnya dalam memproduksi kompos, alat-alat pendukung pengomposan, maggot BSF sebagai alternatif pakan ternak, hingga olahan turunannya. Kemudian para anggota koperasi petugas pengumpul sampah, dapat saling mengakses aset koperasi, seperti saling meminjam alat-alat hingga lahan produksi untuk mengolah bahan organik tadi.
Ketiga, koperasi dapat meningkatkan skala ekonomi. Legalitas badan hukum koperasi, memungkinkan dirinya untuk memperluas wilayah kerja sama, sehingga dapat membantu anggotanya dalam memperluas akses pasar, yang berimplikasi terhadap potensi penjualan dan pendapatan. Lalu para anggota koperasi petugas pengumpul sampah dapat bersama-sama menyewa lahan atau ruang yang digunakan untuk proses pengolahan sampah organik, sehingga para anggota koperasi tidak terasingkan terhadap ruang dan alat produksinya sendiri.
Keempat, koperasi memiliki peranan penting dalam menjaga kualitas hidup, karena usahanya tidak untuk mendapatkan profit semata, maka berbagai kegiatan dalam operasionalisasi koperasi mempertimbangkan sisi humanis, juga ekologis. Saling berbagi tanggung jawab dalam memproduksi hasil olahan bahan organik, penjualan, sampai mempertahankan sumber daya, harapannya adalah beban kerja lebih ringan.
Selanjutnya, koperasi dapat menopang keberlanjutan dalam pengelolaan sampah. Dalam aspek pengelolaan sampah, dimulai regulasi, teknis dan operasional, kelembagaan, partisipasi masyarakat dan pendanaan. Sering kali tidak berjalan seiringan. Regulasi tingkat nasional hingga daerah sudah terbit, kelembagaan sudah ada, partisipasi masyarakat sudah terbentuk, teknis dan operasional sudah terimplementasi, namun dari pendanaan masih belum menyentuh pihak-pihak yang memiliki peran krusial dalam dinamika pengelolaan sampah, salah satunya petugas pengumpul sampah. Arus utama pendanaan masih seputar pengadaan infrastruktur pengelolaan sampah, operasional pengangkutan sampah menuju TPA, pelatihan dan pengadaan fasilitator pendamping dari pemerintah. Kelompok Bank Sampah yang sudah eksis terlebih dahulu, belum mampu menopang operasional petugas pengumpul sampah secara berkelanjutan, dan pengolahan bahan organik masih mengandalkan partisipasi serta moralitas masyarakat yang menekankan peran petugas pengumpul sampah.
Sebagai penutup dalam tulisan kali ini, saya ingin menyampaikan bahwa gagasan koperasi petugas pengumpul sampah dapat diharapkan sebagai satu model yang dapat mendukung terhadap terjadinya keberlanjutan pola pengelolaan sampah secara desentralisasi, namun tetap manusiawi, tanpa mendiskriminasi petugas pengumpul sampah. Sehingga koperasi dapat menjadi salah satu faktor untuk meningkatkan kesejahteraan para petugas pengumpul sampah melalui aktivitas ekonomi mandiri pun kolektif, hingga memperjuangkan hak-hak atas kesehatan dan keselamatan kerja dalam pengelolaan sampah.
Semoga suatu saat hal ini dapat terwujud.