• Berita
  • Mengubah Gaya Hidup Masyarakat Menjadi Kunci dalam Menangani Darurat Sampah Kota Bandung

Mengubah Gaya Hidup Masyarakat Menjadi Kunci dalam Menangani Darurat Sampah Kota Bandung

Tanpa kesadaran masyarakat, sulit bagi Bandung terbebas dari krisis sampah. Pemkot Bandung harus semakin giat mengedukasi warganya.

Seekor kambing mencari makan di atas tumpukan sampah Pasar Induk Gedebage, Bandung, ( 9/11/2021). Masyarakat diharapkan mulai memilah sampah rumah tangga. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki24 November 2021


BandungBergerak.idKota Bandung terus dibayang-bayangi masalah sampah. Dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk mulai mengurangi produksi sampah. Pemerintah pun harus giat melakukan edukasi dan sosialisasi menanamkan kesadaran tersebut.

Salah satu kunci pengelolaan sampah saat ini adalah dengan mengubah gaya hidup dan meninggalkan budaya konsumtif yang berandil besar dalam mendongkrak volume sampah. Merujuk data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung tahun 2020, rata-rata sampah Kota Bandung yang diangkut ke TPA Sarimukti sekitar 1.200 ton per hari.

Volume produksi sampah Kota Bandung itu tidak banyak berubah setiap tahunnya. Sementara kapasitas tempat pembuangan akhir sangat terbatas dan suatu waktu akan penuh.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong melihat perubahan gaya hidup masyarakat sebagai strategi paling efektif untuk menjawab krisis sampah di Bandung. Walaupun mengubah gaya hidup ini tidaklah mudah.

“Jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat (Bandung Raya) ini karena dorongan industri yang kuat, kebanyakan gak terlalu memikirkan dampaknya. Ini berhubungan dengan budaya masyarakatnya, mau gak mau harus segera diubah walaupun kayaknya sulit,” ujarnya saat ditemui di Kantor Walhi Jabar, Senin (21/11/21).

Namun perubahan gaya hidup masyarkat saat ini sudah mendesak. Maka di sinialah dibutuhkan peran pemerintah yang memiliki sumber daya untuk melakukan rekayasa sosial.  

Selagi belum ada solusi yang dapat ditawarkan pemerintah, Walhi Jabar mendorong warga Bandung agar lebih peka terhadap pola produksi sampah. Setidaknya gerakan masyarakat yang diusulkan itu bisa dimulai dari pengelolaan sampah rumah tangga.

Krisis sampah di Bandung Raya juga berdampak besar terhadap bencana alam, khususnya bagi warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai. Bencana yang paling mudah ditemui dan dirasakan adalah banjir, apalagi dalam cuaca ekstrem.

Tumpukan sampah yang luput dari pengawasan banyak menyumbat aliran air dan drainase. Hal ini pun bersinggungan dengan tata kelola wilayah yang telah diterapkan, khususnya di wilayah perkotaan.

“Kita butuh masterplan yang besar, tata ruang kota. Kita tidak bisa terus mengandalkan pembangunan kolam retensi karena ketersediaan lahan (terbatas),” tegas Meiki.

Masyarakat Harus Mulai Memilah Sampah

Tumpukan sampah yang membusuk menghasilkan bau tidak sedap jika tidak segera ditanggulangi. Sebanyak 50 persen bau itu disebabkan sampah rumah tangga yang dihasilkan masyarakat.

Tim Divisi Kampanye Zero Waste Yayasan Pengembangan Biosains dan Biotenologi (YPBB), Anilawati Nurwakhidin menuturkan, masyarakat mau tidak mau harus memulai memilah sampah sesuai jenisnya. Masyarakat diimbau untuk membangun kerjasama antarwarga berdasarkan perannya masing-masing.

“Sampah bisa dapat dikurangi dengan cara pemilahan sejak awal, beberapa jenis plastik bisa dapat kita jual ke bank sampah atau tukang loak. Bahkan, kalau sudah terpisah, petugas pengepul sampah akan menerimanya dengan senang hati,” tuturnya kepada Bandungbergerak.id, Selasa (22/11/21).

Akan tetapi, cara itu dinilai tidak akan berdampak signifikan tanpa pemahaman masyarakatnya. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih intens frekuensinya agar bisa diterapkan.

Ada pula upaya lain yang bisa diusung warga untuk menyelamatkan lingkungan dari membludaknya sampah, yaitu pendirian toko organik seperti yang dikembangkan pihak YPBB saat ini. Konsep ini berupa toko grosir yang menjual beragam produk kebutuhan dengan kemasan ramah lingkungan.

Melalui toko tersebut, para pegiatnya bisa mengedukasi masyarakat untuk membiasakan membawa kantong sendiri saat berbelanja. Masyarakat juga didorong untuk mempertimbangkan konsekuensi pola konsumsinya masing-masing.

“Menyediakan kemasan alternatif yang dapat dibeli menggunakan wadah sendiri atau dapat dibeli dalam kemasan besar. Saat ini, toko refil sudah mulai menjamur di Indonesia walaupun masih jauh jumlahnya dibandingkan minimarket,” imbuh Anilawati.

Di sisi lain, warga Bandung juga bisa kembali mengoptomalisasikan teknologi tradisional yang saat ini mulai ditinggalkan masyarakat urban. Teknologi yang dimaksud yaitu mengubah sampah jadi kompos.

Dewasa ini, sudah banyak teknik kompos yang mudah dilakukan mulai dari lahan sempit seperti pekarangan rumah. Beberapa cara itu antara lain pembuatan takakura dan biopori.

Baca Juga: Bencana Mengintai di Balik Keindahan Kawasan Bandung Utara
Antrean Gerobak Sampah di TPS Cikutra Meresahkan Warga

Plastik Sekali Pakai Penyumbang Sampah Terbesar

Secara umum, dilematika pengelolaan sampah di Indonesia mulai terjadi sejak 1998. Krisis moneter yang terjadi pada masa itu mendorong banyak industri mulai menormalisasi penggunaan plastik saset dan plastik sekali pakai.

Awalnya, normalisasi penggunaan plastik itu bertujuan untuk mendorong daya beli berbagai produk instan dari masyarakat kelas ekonomi bawah. Namun, penetrasi pasar ini tidak diaping dengan sosialisasi soal dampak yang dihasilkannya.

Gambaran itu tampak jelas seperti apa yang terjadi di Bandung Raya dengan menjamurnya industri penghasil sampah plastik. Temuan tersebut telah diungkap dalam sebuah penelitian yang ditulis oleh Tim Riset Refil Center YPBB, Fictor Ferdinand pada tahun 2019 lalu.

“Untuk masyarakat dengan budget terbatas, harga saset yang murah membuat pengaturan alokasi uang untuk makan dan belanja lainnya jadi lebih fleksibel. Contohnya adalah minuman instan yang dikemas untuk satu gelas,” kata Anilawati.

Seiring berjalannya waktu, penggunaan plastik sekali pakai kian tidak terbendung dan cenderung sulit dikontrol. Sementara itu, masyarakat semakin terbiasa membeli produk dengan kemasan saset, tanpa sadar bahwa kemasan saset ini menjadi penyumbang terbesar sampah plastik.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//