CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #92: Menunggu Janji Fasilitas Olahraga di Cicalengka
Pemerintah Kabupaten Bandung berencana membangun fasilitas olahraga di Cicalengka tahun 2025. Hingga kini tak pernah ada kabarnya.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka
27 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Tahun 2025 tersiar kabar yang dibungkus manis oleh janji: akan lahir sebuah fasilitas olahraga di Cicalengka, tempat warga menyalurkan semangat dan anak-anak bisa berlari mengejar mimpinya sendiri. Kabar itu datang seperti hujan pertama setelah kemarau panjang –menyegarkan hati, menumbuhkan keyakinan bahwa Cicalengka akhirnya akan memiliki ruang yang layak untuk berlari, berkeringat, dan merayakan hidup dengan gembira.
Dikutip dari akun Instagram @igcicalengka_, kabar bahwa Cicalengka tahun 2025 ini akan menerima kucuran anggaran sebesar 2,5 miliar rupiah dari APBD menjadi pertanyaan. Kini sudah Oktober, tahun 2025 hampir menutup tirainya.
Tak ada gemuruh mesin. Tak ada debu yang menandakan kerja. Hanya kekosongan, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba. Wacana itu masih tergeletak entah di mana. Belum berwujud tiang, garis, atau sarana yang diidamkan.
Yang paling membuat bibir kelu untuk berucap ialah kenyataan bahwa kabar pembangunan fasilitas olahraga, kini tak lebih dari angin yang lewat –menyapa sebentar, lalu pergi tanpa meninggalkan jejak. Kepercayaan dan antusiasme yang pernah tumbuh di dada masyarakat kini perlahan tumbang.
Dulu, mereka menaruh harap pada janji itu –harap yang sederhana: agar warganya punya ruang untuk berlari, bersorak, dan bermimpi. Namun kini, yang tersisa hanyalah diam dan tatapan yang tak lagi menanyakan apa-apa. Cicalengka seakan belajar cara baru untuk kecewa.
Apakah sudah menjadi kelaziman di kota kecil bernama Cicalengka bahwa janji-janji penguasa yang dulu bergema nyaring di telinga warga, gampang menguap begitu saja? Apakah ini wajah kenyataan kita hari ini, ketika kekuasaan pandai berbicara tapi gagap menepati?
Barangkali, birokrasi memang telah menjelma panggung tempat kata-kata bersolek, sementara harapan rakyat dibiarkan duduk di kursi paling belakang—menonton, menunggu, tanpa pernah dipanggil naik. Dan di antara gema yang perlahan meredup, masyarakat hanya bisa bertanya dalam hati: Apakah wacana memang ditakdirkan hanya untuk diucapkan, bukan diwujudkan?
Lantas, bagaimana perasaan warga menghadapi kenyataan yang menggantung seperti ini? Apakah mereka masih menyisakan ruang untuk berharap atau justru telah letih menunggu sesuatu yang tak kunjung nyata? Sebab di balik senyum yang mereka tampilkan setiap hari, tersimpan kecewa yang perlahan membatu di dada.
Dan di sinilah kisah ini bermula: dari kota kecil bernama Cicalengka, tempat di mana asa pernah tumbuh, lalu layu di antara kabar yang tak pasti.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #89: Di Bawah Langit Kampung Simpen, di Atas Tanah Leluhur
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #90: Cicalengka di Bawah Riuh Renovasi Jalan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #91: Ketika Anak-anak Cicalengka Harus Berangkat Sekolah Lebih Pagi
Menunggu Fasilitas Olahraga yang Tak Kunjung Berdiri
Masyarakat Cicalengka sesungguhnya memiliki denyut semangat yang tak pernah padam pada olahraga. Di setiap sudut kampung, ada langkah-langkah yang gemar berlari menembus pagi; ada kaki-kaki yang rindu menendang bola di lapangan yang entah di mana; ada pula tubuh-tubuh muda yang bermimpi bisa berenang di kolam yang belum pernah ada. Namun semua itu, pada akhirnya, berhenti di ambang harapan. Antusiasme yang semula menggebu kini seperti tersendat oleh kenyataan –karena yang menggema di udara bukanlah suara pembangunan, melainkan gema wacana yang tak pernah benar-benar tiba.
Ada sebuah ungkapan yang belakangan ramai beredar di linimasa, dikutip dari akun Instagram @igcicalengka_:
“Lari di Nagreg, renang di Cikancung, basket di Cikancung, pingpong sakali ewang, maen bal di Nagreg, ahhh... teu gaduh nanaon, kantun bumbuna hungkul.”
Kalimat itu terdengar seperti gurauan, namun di balik tawanya tersimpan getir. Di Cicalengka, semangat berolahraga masih menyala, tapi nyalanya sering kali terhempas angin realitas. Sebagian warga berlari menembus jalanan Nagreg, sebagian lain menempuh jarak ke Cikancung hanya untuk mencicipi segarnya kolam atau lapangan yang layak.
Tak hanya wacana yang menguap, transparansi pun seakan ikut lenyap di balik tirai birokrasi. Hingga kini, tak pernah ada kabar resmi yang sampai ke telinga warga Cicalengka tentang ke mana arah anggaran itu berlabuh atau sejauh mana wacana pembangunan itu berjejak.
Padahal, masyarakat berhak tahu; mereka yang menunggu, mereka pula yang berhak mendapat kejelasan. Namun, yang ada hanyalah sunyi di ruang publik, seolah suara rakyat tak cukup keras menembus dinding ruang rapat pemerintah. Sementara waktu terus bergulir tanpa kabar dan harapan masyarakat perlahan menua bersama hari.
Anggaran sebesar 2,5 miliar rupiah itu berisiko membeku menjadi SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) yang hanya akan tinggal sebagai angka bisu di laporan keuangan, tanpa pernah menjelma menjadi sarana olahraga di tanah Cicalengka. Jika benar menjadi SILPA, maka yang tersisa bukan sekadar uang yang tak terpakai, melainkan mimpi yang gagal tumbuh, harapan yang kehilangan rumahnya. Cicalengka pun akan kehilangan kesempatan emasnya untuk berdiri sejajar dengan kota-kota lain yang telah lebih dulu punya sarana dan fasilitas olahraga.
Sementara itu, di sudut-sudut kampung, anak-anak masih berlari di jalanan sempit dengan bola di kakinya. Di antara pemukiman, remaja menatap langit sore, menunggu sarana olahraga yang tak pernah datang –fasilitas olahraga yang hanya hidup dalam kabar, tapi tak pernah berwujud di tanah.
Ketika Fasilitas Olahraga Hanya Menjadi Narasi
Barangkali, yang paling menyakitkan bukanlah janji yang diingkari, melainkan keheningan yang menyusul setelahnya. Kini, Cicalengka seperti tubuh yang kehilangan gema suaranya sendiri – tempat di mana warganya terlalu sering menunggu hingga tak lagi tahu apa yang sebenarnya sedang mereka tunggu.
Padahal, anggaran sebesar 2,5 miliar rupiah itu sudah jelas tercantum dalam APBD. Fungsinya tegas: membangun fasilitas olahraga bagi masyarakat Cicalengka. Namun hingga pertengahan Oktober, tak satu pun alat berat hadir, tak ada papan proyek berdiri, tak ada sosialisasi kepada warga. Hari ini disebut tahap administrasi, besok koordinasi, lusa revisi, dan akhirnya, tak satu pun yang benar-benar terealisasi.
Mereka tidak menuntut lapangan megah, mereka hanya ingin janji ditepati. Karena bagi mereka, sarana olahraga bukan sekadar fasilitas, melainkan ruang hidup, tempat berinteraksi dan menumbuhkan mimpi.
Cicalengka tak butuh proyek besar yang bergelimang seremoni. Yang mereka perlukan hanyalah bukti sederhana bahwa wacana pemerintah masih punya nyawa. Bahwa di balik laporan dan rapat panjang, ada itikad sungguh-sungguh untuk mendengar keinginan rakyat.
Maka, jika pembangunan itu benar-benar akan dimulai, biarlah ia hadir bukan sebagai proyek yang lahir dari seremonial, tetapi sebagai janji yang ditebus dengan kesungguhan. Sebab bila pun tidak, sejarah akan menyimpannya sebagai catatan getir tentang Cicalengka yang pernah menaruh percaya lalu ditinggal diam di persimpangan antara wacana dan realitas.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

