MAHASISWA BERSUARA: Di Bandung Selatan, Setiap Pagi adalah Ujian
Kadang, di tengah kelelahan itu, muncul solidaritas kecil: saling memberi jalan, menolong motor yang mogok, atau sekadar berbagi payung saat hujan turun tiba-tiba.

Farhan Dwi Fadillah
Mahasiswa Universitas Pasundan Bandung
29 Oktober 2025
BandungBergerak – Hidup di Bandung Selatan memang punya pesonanya sendiri. Udara masih agak segar, lingkungan lebih tenang, dan biaya hidup relatif bersahabat dibanding daerah tengah atau utara. Tapi begitu jam menunjukkan pukul enam pagi, semua keindahan itu seolah sirna seketika. Mereka yang kerja atau kuliah di pusat kota Bandung tahu betul bagaimana rasanya jadi “pejuang jalanan” — berjuang melawan macet, debu, dan waktu yang tak pernah kompromi. Dari Baleendah, Banjaran, Ciparay, atau Dayeuhkolot, setiap perjalanan menuju kampus atau kantor terasa seperti petualangan penuh rintangan.
Setiap pagi, ribuan motor berbaris rapat di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta, seperti iring-iringan semut yang tak ada habisnya. Hujan sedikit saja, jalanan langsung banjir, dan waktu tempuh bisa dua kali lipat. Tak jarang mahasiswa atau karyawan asal Bandung Selatan harus berangkat subuh hanya untuk mengejar jam kuliah pertama atau absen kerja tepat waktu. Di sisi lain, perjalanan pulang sore hari sering kali berubah menjadi ujian kesabaran: macet parah, lampu merah yang tak kunjung hijau, dan rasa lelah yang menumpuk di antara deru kendaraan.
Belakangan, perbaikan jalan di kawasan Baleendah justru menambah pelik situasi. Ditambah lagi adanya proyek galian pipa PDAM yang membuat sebagian jalan menyempit dan berlumpur. Ketika warga mulai beradaptasi, datang pula galian baru untuk pemasangan fiber optik di kawasan Buah Batu yang mengular di sepanjang jalan. Sisa-sisa tanah dan batu galian menumpuk di pinggir jalan, membuat lalu lintas makin semrawut dan berdebu. Kadang rasanya seperti hidup di tengah proyek tanpa akhir.
Belum lagi ketika memasuki kawasan Bojongsoang, penderitaan seolah naik ke level berikutnya. Jalur ini adalah salah satu titik paling macet di pagi hari, terutama di sekitar kampus Telkom University dan kawasan Podomoro. Ribuan kendaraan dari arah Baleendah dan Dayeuhkolot bertemu di satu titik sempit yang padat tanpa rekayasa lalu lintas yang memadai. Klakson bersahutan, pengendara saling serobot, dan pejalan kaki berjuang menyeberang di tengah lautan kendaraan.
Di satu sisi, semua orang paham bahwa pembangunan itu penting, tapi di sisi lain, pelaksanaannya yang berlarut-larut dan tak terkoordinasi justru memperparah penderitaan warga. Tanpa itu, setiap pagi terasa seperti ujian kesabaran massal yang tak berkesudahan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Nasionalisme Seharusnya untuk Kesejahteraan Rakyat
PELAJAR BERSUARA: Kritik Seksis pada Politisi Perempuan dan Pelanggengan Budaya Patriarki
Bukan Kecepatan, tapi Perencanaan
Sebagai perbandingan, lihat saja perbaikan Jembatan Dayeuhkolot yang kini terlihat jauh lebih tertata rapi. Proyek tersebut memiliki plang pemberitahuan yang jelas tentang waktu mulai dan target penyelesaiannya, sehingga pengendara bisa memperkirakan akan terjadi penumpukan kendaraan di sekitar lokasi. Dengan adanya informasi yang transparan seperti itu, masyarakat bisa menyiapkan alternatif rute atau menyesuaikan waktu berangkat.
Berbeda dengan proyek galian pipa dan perbaikan jalan lainnya yang sering dilakukan tanpa pemberitahuan, bahkan dikerjakan secara tidak menentu. Akibatnya, warga sering kebingungan menghadapi perubahan arus lalu lintas mendadak. Padahal, informasi sederhana seperti papan jadwal pekerjaan bisa membantu mengurangi keresahan dan kemacetan yang tidak perlu.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa bukan kecepatan pembangunan yang paling penting, melainkan perencanaan dan komunikasi yang jelas. Ketika proyek dikelola dengan transparan, masyarakat menjadi lebih siap dan kooperatif. Tidak ada rasa waswas karena mereka tahu apa yang sedang terjadi dan sampai kapan akan berlangsung. Inilah yang seharusnya menjadi standar bagi setiap proyek publik.
Namun sayangnya, dari dulu aktivitas kita sudah dipersulit oleh layanan transportasi umum yang belum memadai, banjir musiman yang menenggelamkan jalan utama, dan kemacetan yang seolah sudah menjadi tradisi tahunan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa masalah di Bandung Selatan bukan hanya soal proyek yang lamban, tapi juga pada sistem transportasi dan tata kota yang belum berpihak pada mobilitas warga.
Realitas ini tak bisa terus dibiarkan. Warga Bandung Selatan berhak mendapatkan akses transportasi dan infrastruktur yang layak. Pemerintah daerah seharusnya bisa mengatur jadwal proyek dengan lebih terkoordinasi, agar galian dan perbaikan jalan tidak saling tumpang tindih.
Selain itu, dibutuhkan solusi transportasi publik yang efisien dan terjangkau agar masyarakat tak selalu bergantung pada kendaraan pribadi. Kehadiran angkutan umum yang nyaman bisa sedikit mengurangi beban jalanan dan memotong waktu tempuh. Di era yang serba digital ini, pembangunan infrastruktur semestinya tidak hanya berorientasi pada fisik, tapi juga pada pengalaman manusia yang menggunakannya.

Terbiasa Lelah, Pantang Menyerah
Fenomena jalanan membentuk karakter tersendiri bagi warga Bandung Selatan. Mereka tumbuh dengan kesabaran, ketahanan, dan rasa humor yang tinggi. Macet bukan lagi sesuatu yang dikeluhkan, melainkan sudah menjadi bagian dari rutinitas yang harus dijalani. Di tengah kemacetan, sering terdengar obrolan ringan antara pengendara yang saling mengenal: “Eta deui galian, teu réngsé-réngsé!”, disambut tawa getir yang hanya bisa dimengerti oleh sesama korban jalan rusak.
Kadang, di tengah kelelahan itu, muncul solidaritas kecil: saling memberi jalan, menolong motor yang mogok, atau sekadar berbagi payung saat hujan turun tiba-tiba. Di sinilah letak uniknya Bandung Selatan: keras oleh keadaan, tapi hangat oleh rasa kebersamaan.
Di balik segala derita, ada ketangguhan khas warga Bandung Selatan. Mereka terbiasa menempuh jarak jauh, menembus macet, dan tetap datang dengan senyum meski helm masih basah oleh hujan. Mereka tahu, perjuangan ini bukan sekadar soal jarak, tapi tentang semangat untuk terus maju meski keadaan tak selalu ramah. Mungkin suatu saat, pemerintah akan lebih memperhatikan nasib jalanan di selatan Bandung. Tapi sebelum itu terjadi, kami tetap akan melaju, dengan bensin pas-pasan dan harapan yang tak pernah padam. Karena menjadi orang Bandung Selatan berarti terbiasa lelah, tapi tak pernah menyerah.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

