MAHASISWA BERSUARA: Nasionalisme Seharusnya untuk Kesejahteraan Rakyat
Nasionalisme tidak boleh menjadi alat untuk merampas hak-hak rakyat atas ruang hidupnya.

Lalu Adam Farhan Alwi
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Aktif di LPM Didaktika sebagai Sekretaris Redaksi.
28 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Pada 17 Agustus 2025, rakyat Indonesia baru saja merayakan peringatan 80 tahun kemerdekaan. Dari pedesaan hingga perkotaan semarak memeriahkan peringatan kemerdekaan Indonesia dari belenggu kolonialisme Belanda hingga Jepang.
Dalam peringatannya, kita sebagai rakyat Indonesia sering kali mendengar pekikan “nasionalisme” ketika menghadiri upacara ataupun mendengar pidato dari presiden Prabowo Subianto. “Kita sebagai rakyat Indonesia haruslah punya semangat nasionalisme,” begitulah kira-kira ungkapan yang umum didengar telinga.
Tak sekadar itu, saat eskalasi demonstrasi sedang memanas pada 25–29 Agustus 2025 sehingga mengakibatkan kaos, Prabowo Subianto berpidato pentingnya arti kebangsaan atau nasionalisme untuk menjaga stabilitas nasional. Pidato itu disampaikan karena presiden merasa ada kelompok-kelompok yang ingin berbuat makar dan memecah belah persatuan bangsa.
Akan tetapi, pidato Prabowo itu kontradiktif dengan realitas di lapangan. Lewat aparat kepolisian, Prabowo secara tidak langsung melakukan tindak represifitas pada massa aksi. Pasalnya, sebagai kepala negara, Prabowo memiliki wewenang untuk mengontrol laku aparat kepolisian yang brutal sehingga menyebabkan Affan Kurniawan, Andhika Luthfi Falah, Iko Juliant Junior, dan beberapa massa aksi lainnya meninggal dunia.
Maka dari itu, seiring berjalannya waktu, “nasionalisme” pun hanya sekadar ungkapan abstrak yang sarat akan ambiguitas. Oleh karenanya perlu dikritisi, seperti apakah nasionalisme itu? Dan apa makna dan tujuan nasionalisme sesungguhnya? Apakah nasionalisme hanya bermakna dan bertujuan untuk stigma negatif atau sebagai alat mempertahankan status quo?
Apabila merujuk buku Imagined Community, Benedict Anderson menyoroti bahwa pandangan terhadap “bangsa” atau nation berakar dari suatu komunitas politik yang dibayangkan. Pandangan itu dibangun berlandaskan rasa kebersamaan atau solidaritas kelompok melalui bahasa, media, hingga pengalaman sejarah yang sama. Walaupun individu-individu dalam kelompok sosial tidak saling mengenal, namun saling terhubung.
Syahdan, pandangan terhadap nation menjelma menjadi pandangan kolektif berupa nasionalisme yang terbangun dalam pikiran individu-individu. Lebih lanjut, nasionalisme tak hanya sekadar pandangan kolektif yang mengendap dalam pikiran. Namun, menjadi konkret dan terejawantah lewat laku sosial.
Selain itu, nasionalisme bagi Benedict memiliki kekhasan, yakni mengakar pada emosional kolektif dalam suatu kelompok sosial. Dalam artian, nasionalisme menjadikan individu-individu memiliki perasaan cinta tanah air, pengorbanan, hingga mewujudkan tujuan bersama atas nama bangsa.
Sebagai contoh pada 28 Oktober 1928, para kelompok pemuda dari daerah yang berbeda-beda berkumpul karena memiliki pengalaman dan memori kolektif akan penindasan kolonialisme Belanda. Walhasil, mereka pun berikrar untuk menyatakan sikap ihwal bangsa yang terbayangkan. Maka tercetuslah “Sumpah Pemuda” untuk mencapai tujuan bersama: berbangsa yang bersatu dan berdaulat.
Semangat nasionalisme kemudian saling terhubung dalam lintasan zaman. Dalam buku Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, semangat yang sama terajut dalam benak pemuda Angkatan 45. Mereka –walaupun dari latar belakang berbeda– bergeliat memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah, walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Baca Juga: MAHASIWSA BERSUARA: Sampah, Kesadaran Diri, dan Langkah-langkah Kecil
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Makan Bergizi Gratis Menggunakan Anggaran Pendidikan dan Kesehatan
MAHASISWA BERSUARA: Kenapa Hukum di Indonesia Buruk?
Proyek Bersama Masa Kini dan Masa Depan
Nasionalisme tidak bisa dipahami sebagai jargon semata. Istilah itu memiliki makna dan tujuan demi kepentingan bersama. Untuk mencapai hal itu, perlu keterlibatan rakyat secara aktif, alih-alih hanya dilakoni oleh pemerintah maupun aparat. Sebab, nasionalisme adalah proyek bersama demi kemaslahatan bangsa pada masa kini dan masa depan.
Bila merujuk secara historis, ketika Indonesia baru merdeka, Presiden Soekarno melibatkan peran aktif berbagai organisasi rakyat seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) atau Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) untuk menjalankan program pemberantasan buta huruf. Sebab, Soekarno yakin program itu tidak akan berhasil apabila rakyat tidak berperan aktif membantu. Karena program pemberantasan buta huruf bertujuan meningkatkan taraf pendidikan agar bangsa Indonesia tercedaskan.
Kontekstualisasi pada masa kini, Prabowo Subianto tidaklah melibatkan rakyat untuk mencapai kesejahteraan dan kedaulatan bangsa. Misalnya, dalam perumusan undang-undang yang tidak ada keterlibatan rakyat dan cenderung nir transparansi.
Maupun dalam menjalankan proyek food estate, Prabowo menganggap hal itu untuk mencapai kedaulatan pangan bangsa. Akan tetapi dalam praktiknya, proyek food estate malah merampas hak masyarakat adat atas hutan ulayat. Mengutip Mongabay.co.id, proyek ambisius itu setidaknya mencaplok tanah adat di Merauke seluas 2 juta hektar.
Apabila Prabowo Subianto sangat mengagungkan rasa nasionalisme, maka perlu melibatkan rakyat secara aktif untuk mencapai kedaulatan Indonesia baik secara ekonomi maupun politik. Selain itu, nasionalisme tidak boleh menjadi alat untuk merampas hak-hak rakyat atas ruang hidupnya. Sebab apabila hal itu diabaikan, maka nasionalisme hanyalah sebagai ungkapan kosong nir makna.
Jangan sampai kesalahan fatal ketika Presiden Soeharto yang menjadikan nasionalisme sebagai alat mencapai kepentingan dan mempertahankan status quo. Lewat “Asas Tunggal Pancasila”, Soeharto menuduh kelompok-kelompok yang menentang pemerintahan sama dengan mengkhianati Pancasila sebagai landasan berbangsa.
Alhasil, nasionalisme menjadi pisau yang menikam rakyatnya sendiri. Tragedi pembantaian rakyat pada peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Timor Timur, Papua, hingga Aceh menjadi contoh kelam bagaimana nasionalisme disalahartikan.
Maka dari itu, nasionalisme sebagai proyek bersama harus benar-benar dipahami sebagai cara untuk mencapai kedaulatan bangsa dan kemaslahatan rakyat. Hal itu haruslah dilakukan untuk masa kini, dan masa depan bangsa. Dengan perjuangan bersama dan menanggalkan kepentingan pribadi maupun kelompok.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

