• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Kenapa Hukum di Indonesia Buruk?

MAHASISWA BERSUARA: Kenapa Hukum di Indonesia Buruk?

Hukum sudah tidak berpihak lagi pada masyarakat, melainkan digunakan untuk mempertahankan status quo dan membungkam kritik yang mengancam kepentingan elite.

Haris Wahyudin

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung

Ilustrasi. Hukum harus berpihak kepada hati nurani dan kemanusiaan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

24 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Kita semua sepakat betapa buruknya hukum di Indonesia. Namun, dibandingkan permasalahan oknum atau praktik korup personal elite-elite, permasalahannya jauh lebih sistemik dan struktural dari yang dibayangkan. Fondasi sistem yang rapuh, legalisme otokrasi, dan insignifikansi pendidikan hukum adalah beberapa dari sekian banyak permasalahan yang dimaksud. Hal ini menyebabkan hukum terasa random. Serta, jelas melawan sifat dari sistem hukum posivistik –civil law– yang dianut oleh Indonesia yang seharusnya bersifat deterministik dan prediktif untuk menjamin apa yang selama ini dicari: Kepastian Hukum.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Revolusi Tidak Berhenti di Ujung Mulut
MAHASIWSA BERSUARA: Sampah, Kesadaran Diri, dan Langkah-langkah Kecil
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Makan Bergizi Gratis Menggunakan Anggaran Pendidikan dan Kesehatan

Kerapuhan Fondasi Sistem

Kerapuhan fondasi ini dapat dilihat dari adopsi sistem hukum bersifat nirintelektual, tidak adanya otonomi hukum, dan inkonsistensi –seperti dalam putusan hakim. Indonesia menerapkan civil law system, merupakan warisan hukum Belanda yang banyak dipengaruhi Kode Napoleon yang bersifat progresif sekaligus konservatif pada masanya.

Bagus Muljadi, seorang akademisi dari Nottingham University menyebutkan bahwa ada kebutaan pengadopsian sistem yang dilakukan oleh Indonesia. Dalam praktik sejarah, sistem hukum ini dijalankan secara beriringan dengan tradisi-tradisi intelektual seperti skeptisisme dan pendekatan heurmeneutik guna menghasilkan substansi dari civil law –determinasi dan konsistensi hukum. Di Indonesia, tradisi tersebut tidak ada. Hal ini menyebabkan penerapannya menjadi formalistik, gramatikal, dan kacau.

Dalam studi sosio-legal Adriaan Bedner serta penelitian dari Dosen Universitas Gadjah Mada, Herlambang Wiratraman menggambarkan bahwa Indonesia tidak memiliki otonomi hukum di mana hukum berjalan secara independen berdasarkan logika dan prinsip dari hukum itu sendiri. Faktanya, tidak sedikit intervensi politik atau kepentingan eksternal hadir, mempengaruhi bagaimana sebuah hukum dibuat atau disahkan, sekaligus menghilangkan sifat independen dari hukum itu sendiri. Jika hukum tidak bersifat otonom, maka hukum hanya akan berfungsi sebagai instrumen kekuasaan belaka.

Apa yang terjadi dalam dinamika hukum Indonesia kemudian menciptakan ketidakjelasan hukum dikarenakan adanya inkonsistensi sebagai akibat dari kenihilan intelektual dan otonomi hukum yang buruk. Selain itu, Bagus Muljadi berpendapat bahwa hukum kita tidak memiliki mekanisme korektif berupa penggunaan yurisprudensi dalam putusan –preseden atau studi kasus di masa lalu, meski secara teoritis bukan menjadi ciri dari civil law. Ketiadaan mekanisme korektif menyebabkan hukum yang kacau dari kesalahan adopsi menjadi lebih kacau –chaotic.

Fenomena Legalisme Otokrasi

Legalisme otokrasi adalah saat di mana hukum difungsikan sebagai alat kekuasaan demi kepentingan segelintir orang atau kelompok. Herlambang Wiratraman menyebutnya sebagai intentionally abusive lawmaking. Political treshold menyumbang kelahiran fenomena ini melalui pembentukan koalisi partai politik atau “politik kartel” yang kepentingannya cenderung didasarkan pada kekuasaan dibanding ideologi.

Ciri dari fenomena ini dapat dilihat melalui contoh kasus pada revisi UU KPK, UU MK, dan UU Cipta Kerja. Proses pengesahan ketiga UU tersebut secara waktu terhitung kilat: UU KPK 12 hari, UU MK 1 minggu, UU Cipta Kerja 167 Hari. Terlebih, mekanisme proses lainnya pun diwarnai dengan adanya pengambilan keputusan non-deliberatif –bersifat tertutup dan proses partisipasi publik yang semu. Hari ini, kita dapat melihat dampaknya, berupa pelemahan lembaga KPK sehingga praktik korupsi menjadi masif, wakil presiden insignifikan karena dipaksakan, dan ketidaksejahteraan buruh karena adanya “kepentingan”.

Selain itu, legalisme otokrasi juga dapat menciptakan adanya tumpang tindih suatu hukum seperti halnya dalam UU Cipta Kerja antara UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan UU Nomor 43 Tahun 1999, dan kasus sertifikat tanah ganda di Bekasi. Kritik tajam pun perlu dilontarkan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Seperti pada kasus pengesahan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja setelah MK memutuskan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil. Legalisme otokrasi menimbulkan inkoherensi, menyebabkan suatu hukum menjadi sulit diterapkan dan menciptakan ketidakpastian hukum lebih lanjut.

Impunitas dan kesenjangan penegakan pun menjadi ciri lain dari legalisme otokrasi. Gambaran sederhananya terletak pada pameo di masyarakat: “tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Skandal Bank Century, pembungkaman Haris Azhar dan Fathia, dan kasus seorang nenek yang mencuri 3 buah kakao merupakan sebagian kecil dari bentuk impunitas dan kesenjangan. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa hukum sudah tidak berpihak lagi kepada masyarakat, melainkan digunakan untuk mempertahankan status quo dan membungkam kritik-kritik yang dianggap mengancam kepentingan elite.

Insignifikansi Pendidikan Hukum

Penulis sempat berdiskusi dengan rekan-rekan mahasiswa hukum dari Universitas Katolik Parahyangan. Dari diskusi tersebut, kesimpulan akhir yang didapat adalah adanya kesenjangan antara pendidikan dan praktik lapangan. Dalam ruang pendidikan pada awal perkuliahan, filsafat hukum masih diajarkan sebagai kompas moral dan prinsip. Namun, seiring berjalannya semester dan fakta praktik lapangan, fokusnya pun berubah dari berpikir filosofis menjadi menghafal pasal.

Tak ayal mengapa dalam proses pengadilan, sering terlihat perdebatan retoris yang berfokus pada kata dalam suatu pasal. Pendidikan hukum yang berfokus pada penghafalan pasal dan prosedur pada akhirnya hanya akan menciptakan teknisi hukum dibanding seorang ahli hukum yang bijaksana –yuris. Terlebih, sistem pendidikan Indonesia secara umum tidak memiliki budaya interdisipliner. Hal ini dapat menimbulkan dampak berbahaya berupa interpretasi bahwa hukum hanya sebagai mekanisme yang terpisah dari konteks sosial, politik dan moral. Menciptakan praktisi-praktisi hukum formalitas tanpa memiliki kemampuan interpretasi, empati, dan perspektif bahwa hukum merupakan filsafat terapan –applied philosophy.

Lebih lanjut, acapkali ruang-ruang akademisi terasa tidak dapat menyentuh kebijakan-kebijakan hukum yang dibuat oleh negara. Analisis kritis, temuan-temuan penelitian, serta gagasan-gagasan hukum inovatif seakan tidak mampu mereformasi praktik yang telah mengakar di lembaga-lembaga pemerintahan. Bahkan, pandangan pakar pun pernah diabaikan seperti halnya dalam putusan MK tentang batasan usia Capres-Cawapres 2024. Jika dibiarkan, sistem hukum akan kehilangan mekanisme koreksi internal secara keilmuan dalam praktik lapangannya, menyebabkan hukum akan semakin mudah dieksploitasi oleh para mafia hukum.

Perbaikan secara mengakar perlu diterapkan mengingat bahwa permasalahan hukum ini bersifat sistemik dan struktural. Perbaikan secara permukaan berupa penangkapan oknum-oknum hukum saja jelas tidak akan menyelesaikan akar permasalahan –ketidakpastian hukum. Tanpa menyelesaikan akar permasalahan, pada akhirnya sistem hukum Indonesia tidak akan mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat karena terjebak dalam persimpangan jalan yang tak kunjung selesai.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//