• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Revolusi Tidak Berhenti di Ujung Mulut

MAHASISWA BERSUARA: Revolusi Tidak Berhenti di Ujung Mulut

Revolusi bukan ucapan omong kosong, melainkan bagian dari praktik keseharian. Kita harus meyakini bahwa revolusi tidak dicapai dengan tergesa.

Ahmad Ramzy

Pegiat Aksi Kamisan Salatiga dan anggota LPM DinamikA

Alarm untuk demokrasi. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

18 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Setiap mendengar kata revolusi sering kali telinga saya gatal, hati berdebar sedikit, dan merasa sangsi: memangnya kapan tujuan revolusi itu bisa tercapai oleh kita?

Perdebatan batin seperti ini terjadi di hampir semua hela napas perjalanan hidup. Ketika bertandang ke Bandung awal Oktober kemarin, saya bertemu dengan salah seorang peserta dalam perhelatan Kelas Liar-nya BandungBergerak yang dengan membabi buta berucap serapah bahwa kita semua harus melangsungkan revolusi. Hal yang sama saya temui di Jakarta pada pertengahan Mei lalu: “Runtuhkan kapitalisme!”

Kejadian-kejadian dengan semangat “gagah-gagahan” seperti ini memancing tanggapan saya tentang pengejawantahan reflektif dari “mengapa dan bagaimana”. Ini tentu bukan berarti saya bagian dari kalangan kontra revolusioner yang menolak restorasi besar-besaran untuk kebaikan bersama (common goods).

Saya percaya, revolusi akan menjadi klise ketika berhenti di jargon. Namun, revolusi dapat menjadi solusi ketika nilai-nilainya dibawa ke dalam bahasa keseharian di tengah massa. Tantangannya, bagaimana kata-kata yang asing itu dapat diartikulasikan tanpa menimbulkan kebingungan. Tulisan ini adalah bagian dari otokritik untuk kita semua. Dan pertanyaan pentingnya: bagaimana kita akan membangun politik kewargaan untuk melakukan perubahan itu.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Propaganda Squealer dan Cermin Politik Kita
MAHASISWA BERSUARA: Kawas Nulungan Anjing Kadempet, Etika Menolong dan Menerima Pertolongan
MAHASISWA BERSUARA: Rusaknya Fasilitas Umum Taman Monumen Perjuangan (Monju), Salah Siapa?

Akar Masalah Pendidikan

Revolusi bukan ucapan omong kosong, melainkan bagian dari praktik keseharian. Tahapan pertamanya, bagaimana mengeja makna transformatif untuk dibahasakan ke banyak orang. Seorang ibu rumah tangga yang kehabisan bahan makanan di rumahnya mungkin tidak memahami maksud dari teriakan “runtuhkan kapitalisme” atau “revolusi konstitusional” yang selalu diresonansikan oleh intelektual universitas. Aksi-aksi demonstrasi tidak sedikit dianggap sebagai penghambat aktivitas perekonomian warga.

Konflik horizontal seperti ini memang menjadi warna tersendiri dalam gerakan. Namun, seiring berjalannya waktu, didorong oleh rezim dengan rupa gigantik, berbau tengik, dan berkarakter despotik, sesama warga yang merugi setidaknya dapat mengurangi pola konflik horizontal yang terjadi.

Tidak dapat dimungkiri, jurang pemisah antara intelektual dengan warga lainnya sangat terlihat jelas di beberapa momentum besar. Faktanya, masih banyak intelektual belum membumikan nilai-nilai secara praksis.

Daniel Dhakidae pernah menyebut kesulitan membedakan mana seorang intelektual dengan yang tidak. Salah satu penyebabnya, kultur akademik di Indonesia yang lebih memprioritaskan kepentingan kapitalis: memproduksi seseorang menjadi budak korporat. Lyotard juga menemukan perubahan besar pada pola pengetahuan, yang semula untuk menciptakan kebenaran, kemudian beralih menjadi pemenuhan akan komoditas.

Sayangnya, perubahan fungsi pengetahuan diikuti dengan kebijakan sistemik, yang tidak hanya membutakan nilai, tapi juga membuat intelektual terbelenggu olehnya. Masalah pada perguruan tinggi diperkeruh dengan kemiskinan yang merajalela, sementara biaya berkuliah justru melonjak signifikan. Akar masalahnya tentu dapat dilihat dari corak ekonomi politik Indonesia sebagai negara Dunia Ketiga, yang memiliki ketergantungan perekonomian dengan perekonomian global.

Ketergantungan ekonomi global membawa pola pikir masyarakat kita menjadi serba instan, pragmatis dan meyakini kebenaran semu –yang tercipta dari kondisi simulakra narasi global. Apalagi, produktivitas pendidikan secara by design mengaburkan bagaimana pentingnya pendidikan untuk mengabdi pada segolongan orang yang ditindas.

Salah satu pola pengaburannya dengan standarisasi operasional yang dibentuk dalam mengenyam pendidikan. Misalnya, intelektual universitas lebih dibebankan menyelesaikan masalah administratif dan akselerasi “angka” memperoleh posisi daripada penjadwalan rutin untuk turba (baca: turun ke basis).

Akibatnya, cukup sering kita menemukan aktor-aktor universitas hanya sesumbar omong kosong dan berjarak dengan massa. Ditambah lagi dengan prokerisasi organisasi mahasiswa yang cenderung berparadigma objektivitas terhadap warga. Cara pandang objektivitas ini sudah diwanti-wanti oleh Bordieu, bahwa intelektual seharusnya tidak menggunakan cara pandang yang membuat warga menjadi objeknya. Warga sejatinya memiliki nilai subjektivitas untuk menentukan nasibnya.

Karena intelektual sendiri seharusnya tidak melakukan kepeloporan layaknya mesias atau seperti alegori ramalan Jayabaya mengenai sosok Satrio Piningit yang muncul pada

zaman kalabendu (baca: zaman kekacauan). Muncul hanya ketika pagebluk terjadi, dengan berucap “revolusi” di sana sini, merupakan tindakan keliru yang sering dianggap benar.

Tidak ada revolusi yang berhenti di ujung mulut. Mari kita rancang taktik yang kalkulatif untuk ke depan.

Merekonstruksi Fondasi, Turun  ke Basis

Pascademonstrasi berhari-hari pada penghujung Agustus 2025 lalu, kita semua dipukul telak oleh kriminalisasi aktivis pro-demokrasi di berbagai kota: penangkapan, penahanan, penghilangan paksa, stempelisasi, dan doxing.

Saya menjadi salah satu orang yang terkena gilasan “Juggernaut“ rezim –difitnah oleh aparat sebagai biang kerok atau provokator dan disebar informasi pribadi kepada publik di Salatiga. Begitu pun dengan beberapa kawan sependeritaan Penulis yang hingga hari ini dibelenggu di jeruji besi, serta mereka yang masih tidak terdeteksi berada di mana. Lahir trauma akibat keganasan rezim totalitarianisme gaya baru.

Mungkin banyak dari kita merasa kebingungan harus mempersiapkan apa, dan bagaimana menjaga napas untuk hari-hari ke depan. Laku kerja yang tidak mudah, tapi harus dijalankan seperti biasanya: pengorganisiran di tapaknya masing-masing.

Dalam gerakan ke depan, kita perlu menihilkan cara pandang ala negara yang mengedepankan sentralisasi kekuasaan. Pasalnya, tiap-tiap tempat memiliki karakteristik yang berbeda. Bahkan, social culture masing-masing masyarakat, baik urban, semi urban, maupun rural memiliki colour pattern yang khusus. Bayangkan saja, jika latar belakang masyarakat urban disamakan cara pendekatannya dengan yang berada di masyarakat rural. Hasilnya adalah mandek. Derajat akses pendidikan, misalnya, berpengaruh pada kesadaran kolektif dari masing-masing tempat.

Pengorganisiran turun ke basis di tempat A dengan B pun pastinya memiliki strategi dan timeline yang tidak sama. Jadi, tidak ada kepakeman absolut yang jadi satu-satunya cara. Lakukanlah inovasi dan variasi pendidikan politik keseharian melalui jangka waktu dan terus-menerus melakukan uji coba berkala.

Namun, meskipun tiap-tiap tempat memiliki perbedaan karakteristik yang kentara, Ben Anderson menuliskannya dengan tepat, bahwa hal yang mesti dimiliki secara bersama di berbagai tempat adalah imajinasi untuk terbebas dari jeratan ketidakadilan.

Meramu-ramu strategi perlu dirembuk secara bersama. Bukan hanya oleh kita yang akan turun ke basis. Namun, lakukan dan libatkanlah warga setempat. Hal yang perlu kita akui adalah warga di tempat tersebut jauh lebih mengerti medan konsekuensinya daripada kita yang datang dari luar.

Atau jauh lebih berarti lagi bila kita mengorganisir di ruang-ruang kecil, mulai dari keluarga, teman seumuran dan seperkopian, karang taruna, atau RT/RW tempat kita bernaung. Sistem pengorganisirannya sama: berbasis federal.

Sekali lagi, itu semua bukan pekerjaan yang mudah dan tidak bisa diburu-buru. Karena tidak ada yang dapat memastikan kapan datang momentum besar untuk directing the melting pot yang telah diorganisir dalam melangsungkan perubahan yang diimajinasikan. Setidaknya, kita harus meyakini bahwa revolusi tidak dicapai dengan tergesa. Sikap disiplin koreksi serta kontrol dan evaluasi melalui musyawarah bersama, harus menjadi kesatuan yang terikat.

Ingatlah untuk tetap setia di garis massa. Akumulasi kejengahan yang bertubi-tubi kita terima, tidak boleh dibiarkan lagi. Cintailah jalan revolusi, cintailah mereka yang ditindas habis oleh kekuasaan. Start a revolution from your bed!

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//