MAHASISWA BERSUARA: Kawas Nulungan Anjing Kadempet, Etika Menolong dan Menerima Pertolongan
Kebaikan bukanlah kewajiban yang bisa dieksploitasi, melainkan kemurahan hati yang harus dijaga dengan rasa hormat.

Indi Kurniawan
Mahasiswa Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad)
15 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Ungkapan Sunda “kawas nulungan anjing kadempet” menyimpan daya kritik sosial yang tajam. Dalam bahasa Indonesia, pepatah ini berarti “menolong seperti anjing yang kakinya terjepit”. Sebuah metafora untuk orang yang sudah diberi pertolongan tetapi tidak tahu terima kasih, bahkan mungkin balik menyerang. Pepatah ini tidak sekadar peringatan moral, tetapi juga cermin pengalaman kolektif masyarakat yang berulang kali menghadapi fenomena sama: kebaikan yang dibalas dengan kelicikan, kesetiaan yang dibalas pengkhianatan, atau pertolongan yang dibalas sikap melonjak. Di dalam masyarakat yang mengagungkan nilai gotong royong, pepatah ini berfungsi sebagai alarm etika agar setiap orang berhati-hati, baik saat memberi pertolongan maupun saat menerimanya.
Fenomena orang yang tidak tahu berterima kasih setelah dibantu dapat dilihat pada berbagai level kehidupan. Di ranah personal, sering kita jumpai individu yang diberi pinjaman uang atau tenaga, namun ketika diminta mengembalikan atau menunjukkan rasa terima kasih, justru menghilang atau bersikap seolah itu kewajiban pemberi. Di ranah organisasi atau politik, kita juga bisa melihat orang yang naik jabatan berkat dukungan kelompok tertentu, tetapi kemudian melupakan bahkan menyingkirkan kelompok yang dulu menolongnya. Dalam semua contoh itu, prinsip timbal balik (reciprocity) terabaikan, padahal prinsip tersebut adalah fondasi moral masyarakat. Tanpa kesadaran timbal balik, pemberi bantuan akan merasa dikhianati dan kepercayaan sosial pun terkikis.
Pepatah ini juga menunjukkan ketajaman budaya Sunda dalam memotret realitas psikologis manusia. “anjing kadempet” adalah simbol keadaan darurat yang memunculkan naluri defensif dan agresif. Sama halnya dengan manusia yang sedang kesulitan, ketika ditolong, ia mungkin dalam kondisi tertekan dan tak mampu mengendalikan diri. Namun seiring pulihnya keadaan, alih-alih berterima kasih, sebagian orang justru bersikap arogan atau melupakan jasa. Ini bukan sekadar masalah sopan santun, tetapi masalah karakter; apakah seseorang memiliki integritas moral yang cukup untuk mengakui bantuan orang lain, atau malah merasa berhak seolah-olah pertolongan itu kewajiban orang lain?
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: HAM dalam Bayang-bayang Otoritarianisme
MAHASISWA BERSUARA: Terberangus Kebodohan Rezim Antihuruf
MAHASISWA BERSUARA: Propaganda Squealer dan Cermin Politik Kita
Etika Sosial
Dari perspektif etika sosial, fenomena ini berbahaya karena menimbulkan efek domino. Jika pemberi pertolongan berkali-kali diperlakukan seperti itu, ia akan menjadi sinis, enggan membantu lagi, atau bahkan mengembangkan stereotipe negatif terhadap kelompok tertentu. Akhirnya, semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia bisa melemah. Dalam jangka panjang, kita akan menciptakan budaya saling curiga: orang yang kesusahan dianggap “berpotensi melonjak” dan orang yang mampu membantu jadi pelit karena trauma. Oleh sebab itu, pepatah “kawas nulungan anjing kadempet” adalah teguran agar kita berhati-hati menjaga nilai rasa terima kasih.
Menyikapi fenomena ini, penting bagi kita untuk memandang pertolongan sebagai relasi etis, bukan sekadar transaksi. Relasi etis berarti kedua belah pihak sama-sama memiliki tanggung jawab moral. Pemberi bantuan bertanggung jawab menjaga niat baik dan tidak mengungkit-ungkit secara berlebihan, sedangkan penerima bantuan bertanggung jawab untuk menghargai, mengingat, dan sebisa mungkin membalas kebaikan dengan sikap positif. Dalam budaya Nusantara, ada konsep budi yang mengandung makna timbal balik antara kebaikan dan balasan moral. Orang yang punya budi akan ingat jasa orang lain, sementara orang yang kehilangan budi akan mudah melupakan, bahkan menyelewengkan bantuan yang ia terima.
Tulisan ini tidak bermaksud menyarankan agar kita berhenti menolong. Sebaliknya, ia mengajak kita lebih sadar pada etika menolong dan menerima pertolongan. Kita tetap perlu menolong, namun dengan batasan sehat agar tidak menciptakan ketergantungan atau peluang bagi orang lain untuk melunjak. Kita juga perlu mendidik generasi muda tentang pentingnya rasa terima kasih, bukan hanya sekadar ucapan, tetapi juga tindakan nyata untuk menjaga kepercayaan. Dengan begitu, kita bisa melindungi nilai gotong royong dari erosi yang disebabkan oleh perilaku oportunis.
Dalam kesimpulannya, pepatah “kawas nulungan anjing kadempet” bukan hanya kritik terhadap orang yang tidak tahu terima kasih, tetapi juga refleksi tentang bagaimana masyarakat kita memahami moralitas. Pepatah ini memperingatkan bahwa kebaikan bukanlah kewajiban yang bisa dieksploitasi, melainkan kemurahan hati yang harus dijaga dengan rasa hormat. Jika kita menginternalisasikan pesan ini, kita tidak hanya akan menjadi penerima pertolongan yang beretika, tetapi juga pemberi pertolongan yang bijaksana, sehingga ekosistem sosial kita tetap sehat, adil, dan penuh solidaritas.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

