MAHASISWA BERSUARA: HAM dalam Bayang-bayang Otoritarianisme
Fenomena pelemahan HAM di Indonesia dipengaruhi oleh dua dinamika besar yang saling berkaitan, yakni praktik legalisme otokratis dan politik kartel.

Muhammad Farrel Danendra
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
10 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan fondasi dalam membentuk kehidupan berdemokrasi. Namun, praktik penegakkan HAM di Indonesia kerap kali berhadapan dengan relasi kekuasaan yang semakin menunjukkan siluet otoritarianisme. Kriminalisasi aktivis, jurnalis, dan medik; penyusutan kebebasan berpendapat; serta penyempitan ruang sipil menjadi preseden bahwa demokrasi berbelok ke arah mengekang. Perangkat hukum dan institusi formal acapkali praktiknya digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Demokrasi, hukum, dan HAM mempunyai hubungan yang saling menguatkan. Ibarat negara sebagai sebuah rumah, maka demokrasi, hukum, dan HAM menjadi fondasi kuat agar dapat memastikan rumah tersebut layak untuk dihuni. Dengan demikian, aspek demokrasi dan hukum perlu dipandang sebagai instrumen utama untuk menjamin tegaknya HAM. Tanpa demokrasi, ruang publik akan tereduksi; tanpa hukum, demokrasi hanya menjadi keramaian tanpa arah; dan tanpa HAM, negara akan kehilangan makna sejatinya sebagai pelindung martabat manusia.
Sayangnya, terdapat beberapa hal yang menjauhkan Indonesia dari tujuan tersebut. Merujuk kepada laporan Freedom House indeks kualitas demokrasi di Indonesia mengalami kemerosotan dari tahun 2019 (peringkat 62) hingga 2024 (peringkat 57). Dengan catatan terakhir bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan akibat pengaruh politik dari militer dan mantan presiden yang kuat ketika pemilu 2024, korupsi yang merajalela dari pengurus negara hingga polisi, diskriminasi agama, ruang publik yang menyusut, dan pelemahan hukum serta aparat penegak hukum.
Selain itu, pada Juli 2025 lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengeluarkan Laporan Pemantauan Situasi dan Pelanggaran Kebebasan Sipil di Indonesia Januari hingga Juni Tahun 2025. Dalam laporan tersebut KontraS mencatat sebanyak 76 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil, dengan peristiwa penangkapan sewenang-wenang yang terbanyak, yakni 23 peristiwa. Ironisnya dari 76 peristiwa tersebut mayoritas terjadi menjelang penolakan pengesahan RUU TNI yang bergulir dari awal hingga akhir bulan Maret.
Fenomena pelemahan HAM di Indonesia dipengaruhi oleh dua dinamika besar yang saling berkaitan. Pertama, praktik legalisme otokratis yang menjadikan hukum sebagai instrumen justifikasi kekuasaan, ketika aturan dan prosedur formal dikooptasi untuk melanggengkan dan mengukuhkan kekuasaan. Kedua, praktik politik kartel yang menyebabkan arena parlemen kehilangan fungsi representasi rakyat, melainkan menjadi representasi partai. Partai akan melakukan berbagai perhitungan politik untuk dapat berkompromi untuk membagi kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan publik.
Pada akhirnya, kedua praktik tersebut yang akan menyeret Indonesia dalam bayang-bayang otoritarianisme. Ketika hal tersebut terjadi, maka fungsi negara untuk melindungi, menghargai, dan memenuhi HAM akan runtuh.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Yang Muda, yang Peduli Sejarah
MAHASISWA BERSUARA: Membaca adalah Jalan Makrifat Kita!
MAHASISWA BERSUARA: Revitalisasi Sekolah Seharusnya Menjadi Jawaban Nyata untuk Pendidikan Bermutu
Legalisme Otokratis
Praktik legalisme otokratis secara langsung dapat menciptakan sebuah sistem yang tampak demokratis, tetapi perlahan mengikis esensi demokrasi. Tujuan tersebut ditempuh melalui mekanisme legal dengan cara mengeksploitasi kepatuhan warga negara kepada hukum untuk membenarkan tindakan yang tidak demokratis. Dengan demikian, supremasi hukum dipandang sebagai alat kontrol sosial maupun politik oleh kelompok tertentu.
Hukum merupakan salah satu pilar penting dalam penegakan demokrasi, tetapi dalam praktiknya, hukum bisa membajak demokrasi. Ketika mandat elektoral, hukum, dan perubahan konstitusi dimanfaatkan untuk agenda yang bersifat “illiberal”, maka itu adalah otokratis legalisme (Scheppele, 2018).
Wiratraman (2023) menyatakan bahwa kebijakan yang dibuat secara ugal-ugalan, nir-partisipasi, dan substansi yang mencerminkan “illegality“ merupakan indikator adanya legalisme otokratis. Terdapat beberapa kebijakan yang mencerminkan hal tersebut dan justru melanggar HAM di Indonesia.
Pertama, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak memperhatikan hak pekerja dan kedaulatan masyarakat adat. Kedua, UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang dapat mengkriminalisasi pembela HAM dan lingkungan serta rentan terjadinya penggusuran. Ketiga, Revisi UU TNI yang dapat memperluas kewenangan militer dalam urusan sipil.
Fenomena ini menunjukkan bahwa rezim otoriter modern dapat berganti wajah melalui legitimasi hukum dan prosedur formal. Hukum akan sering ditafsirkan sesuai dengan kepentingan penguasa. Hakim dan penegak hukum menegakkan keadilan berdasarkan instruksi dari atas. Dalam jangka panjang, dapat melahirkan sebuah justifikasi untuk meredam kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan hak dasar lainnya yang seyogianya ditegakkan.
Politik Kartel Partai Politik
Politik kartel akan selalu berkaitan erat dengan praktik legalisme otokratik. Jika legalisme otokratik merupakan metode untuk menjadikan perangkat hukum sebagai alat, maka partai politik partai politik merupakan aktor tersebut. Dalam konteks ini partai politik membangun dominasi kekuasaan agar sinergis dengan tujuan partai.
Partai politik bekerja sama untuk mengkonsolidasikan kekuasaan agar mendapatkan distribusi kekuasaan politik atau ekonomi. Dengan kata lain, kepentingan rakyat disingkirkan dan kepentingan partai menjadi prioritas utama.
Partai politik mempunyai peran dan fungsi penting terhadap demokrasi, selain itu, partai politik juga mempunyai kekuasaan yang lebih dalam demokrasi. Parlemen seharusnya menjadi arena pertarungan partai –yang mempunyai ideologi yang berbeda-beda– untuk mengkaji permasalahan tertentu dan menetapkan kebijakan berdasarkan ideologi setiap partai. Namun, parlemen justru berubah menjadi ruang kompromi antar-elite untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan mereka.
Jika politik karel terus berlanjut –atau bahkan menjadi sebuah budaya– tanpa adanya reformasi sistem kepartaian, maka akan terjadi reproduksi kebijakan-kebijakan yang abai terhadap nilai-nilai HAM. Politik kartel tidak hanya mereduksi fungsi representasi partai dalam parlemen, tetapi juga secara sistematis dapat menjadi ancaman terhadap demokrasi dan HAM secara langsung.
Selain itu, politik kartel juga akan mengurangi check and balances kepada pemerintah. Parlemen selain membuat produk kebijakan, juga mempunyai fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Dengan demikian ada potensi besar fungsi tersebut melemah dengan adanya sandera kompromi antar-elite.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB