MAHASISWA BERSUARA: Yang Muda, yang Peduli Sejarah
Dalih negara agar penulisan ulang sejarah nasional ditulis ahli dan menolak kritisisme publik harus ditantang.

Mukhtar Abdullah
Mahasiswa UNJ. Aktif di Departemen Pendidikan, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Gemar jalan-jalan keliling museum kala senggang.
3 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Sagara Alam dengan bernas memberi alasan pentingnya mempertahankan klub pencatat sejarah. Ia menjabarkan banyaknya kekosongan sejarah, seperti peristiwa 1965 dan Malari. Ditambah penulisan sejarah ditunggangi kepentingan Orde Baru. Karena itu, banyak teman sekolahnya enggan menaruh minat terhadap sejarah.
Pernyataan Alam memantik banyak temannya bergabung ke klub pencatat sejarah. Kegiatan mereka meliputi membaca buku sejarah alternatif karya Benedict Anderson, Harold Crouch, dan Donald Hindley. Diagendakan juga diskusi untuk mengulas literatur sastrawan eks-tapol macam Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, dan Utuy Tatang Sontani.
Alam dikisahkan Laila S. Chudori sebagai anak korban genosida politik pasca G30S. Ayahnya, Hananto Prawiro merupakan wartawan surat kabar kiri di Indonesia. Sejak kecil banyak pertanyaan muncul di benaknya terkait identitas diri dan asal-usul. Pengaburan sejarah membuatnya tak banyak menemukan jawaban.
Orde Baru (Orba) melahirkan banyak orang macam Alam. Linglung soal identitas diri. Sebabnya, G30S ditimpakan Orba sebagai kesalahan kolektif kaum komunis. Sejarah ditulis dan diajarkan dengan pakem ini. Lewat itu teman-teman Alam turut mendapat legitimasi tindak perundungan berdalih melawan "anak komunis".
Kisah Alam serupa cermin: sejarah sebagai alat efektif melakukan kontrol sosial. Sebagai produk pengetahuan, ia tak terlepas dari kepentingan kekuasaan. Wacana umum dibentuk lewat penarasian sejarah. Dalam konteks G30S, label PKI di belakangnya merekognisi gambaran komunis adalah penghianat bangsa dan tak ubahnya setan yang harus dibinasakan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Membela Perempuan Tangguh di Lahan Tani, Mewujudkan Reforma Agraria Sejati yang Berkeadilan Gender
MAHASISWA BERSUARA: Mengenal Kesusastraan Sunda dalam Sudut Kontemporer
MAHASISWA BERSUARA: Pembungkaman Publik ala Negara, Memahami SLAPP dalam Isu Lingkungan Hidup
Produksi Wacana Historis
Selain tulisan, Orba membangun monumen Pancasila Sakti untuk mengukuhkan tafsirnya atas peristiwa sejarah. Dihadirkan beragam diorama penyiksaan bersanding dengan patung 7 jenderal dan 1 perwira korban keganasan PKI. Tiap 1 Juni, Soeharto memberi petuah di sana untuk mengingat kekejian ini.
Produksi wacana historis juga dilakukan dengan cara populer membuat film. Khusus G30S, Orba tak pelit soal uang. Sinema Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI pernah menjadi film termahal. Investasi itu sepadan dengan pemutaran wajib setiap malam hari tanggal 30 September. Masyarakat makin ditancapkan pemahaman betapa menakutnya komunisme di Indonesia.
Modus produksi wacana sejarah Orba terbukti sukses menelurkan ketakutan masyarakat soal bahaya komunisme. Mereka yang besar di masa ini memiliki kecenderungan alergi terhadap semua hal berbau kiri. Bahkan setelah rezim runtuh, sejumlah jenderal ataupun tokoh masyarakat masih hilir mudik di televisi mengatakan bahaya laten kebangkitan komunisme di Indonesia.
Orde Baru memberi pelajaran penting bagi rezim dengan beban dosa masa lalu untuk memperhatikan sejarah. Sebab, kalau tak diakomodir bisa mencederai upaya kontrol sosial suatu kekuasaan. Prabowo memetik hikmah ini dengan menugaskan Fadli Zon merevisi penulisan sejarah Indonesia.
Sejumlah kontroversi mengiringi proyek bernilai Rp 9 miliar untuk menghasilkan 11 jilid buku sejarah nasional Indonesia. Peristiwa pelanggaran HAM, khususnya di penghujung Orba tak mendapat porsi atau sedikit dibahas. Ini secara langsung menyangkal peristiwa kerusuhan Mei 1998, penembakan mahasiswa Trisakti, penghilangan paksa aktivis, dan pemerkosaan massal perempuan Tionghoa.
Di samping pemutihan dosa pelanggaran HAM Orba. Rezim ini mendapat porsi penuh dalam proyek tersebut. Satu jilid didekasikan untuk sejarah kelahiran Orba, pencapaian dan keruntuhannya. Seperti masa Orba, kata PKI juga akan kembali disematkan di belakang G30S. Tak ayal, penantian permintaan maaf dari korban pembantaian massal semakin pupus.
Konferensi Asia-Afrika (KAA), Ganefo, dan Nefos semasa Sukarno ikut luput dituliskan dalam proyek ini. Padahal sederet peristiwa itu merupakan momentum penting Indonesia di panggung internasional. Penulisan ulang sejarah lebih senang menamai pemerintahan Sukarno, baik di era demokrasi liberal ataupun terpimpin sebagai masa bergejolak dan disintegrasi.
Sejarah sebagai Doktrin
Puncak bongkar bermuara pada istilah "sejarah resmi". Kalimat itu menunjukkan posisi diametral terkait wacana sejarah. Satu sisi, sebuah peristiwa sejarah akan diakui kesahihannya oleh rezim. Sisi lain, akan disangkal keabsahannya karena tak tercantum dalam proyek tersebut.
Keresmian ikut menjadikan produk penulisan ulang sejarah sebagai sumber otoritatif utama. Semua buku teks pelajaran sekolah akan merujuk ke sana dalam penyusunannya. Teks sejarah resmi kemudian menjadi wacana doktrin yang dipaksakan kepada generasi muda.
Meski ingin menghadirkan narasi menarik dan bermakna untuk generasi muda, sejarah resmi dengan sendirinya akan dipandang membosankan. Ia tak ubahnya kisah-kisah pembesar semata. Pengaburan sejumlah peristiwa turut mengembalikan kekosongan yang mempersempit pembentukan identitas majemuk sebagai bangsa.
Sejarah sebagai doktrin resmi hanya bisa dipupus lewat merawat ingatan kolektif masyarakat. Generasi muda bisa memulainya sendiri dengan terus menjaga hasrat ingin tahu terhadap suatu hal. Lebih jauh, kita juga bisa melakukan pengarsipan atau menulis suatu peristiwa.
Kita bisa juga belajar dari Alam dan kelompok pencatat sejarah dengan mengadakan diskusi literatur sejarah alternatif. Novel-novel populer bertema sejarah juga dapat membantu kita merawat ingatan. Kalau membaca dan diskusi dirasa membosankan kita bisa ikut aksi simbolik macam "Kamisan" di depan istana negara. Banyak anak sekolah tertarik mencari rute alternatif mengetahui peristiwa sejarah lewat Kamisan.
Cara alternatif lain tentu dapat ditempuh generasi muda untuk terus menantang narasi resmi sejarah negara. Simpelnya lewat perawatan memori kolektif, kita membentuk otot kritisisme terhadap kekuasaan. Penerimaan luka sejarah jadi regenerasi sel-sel ingatan untuk tak mengulangi di masa depan.
Beragam cara harus ditempuh oleh generasi muda untuk membentengi diri dari pengaburan sejarah versi kekuasaan. Dalih negara agar sejarah ditulis ahli dan menolak kritisisme publik harus ditantang. Siapa pun boleh menulis sejarah. Pilihannya ada di tangan kita: mau diam mengamini wacana mereka? atau secara sadar memproduksi sejarah alternatif yang menantangnya?
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB