MAHASISWA BERSUARA: Membela Perempuan Tangguh di Lahan Tani, Mewujudkan Reforma Agraria Sejati yang Berkeadilan Gender
Memasukkan perspektif gender dalam reforma agraria berarti mengakui perempuan sebagai subjek agraria yang setara.

Dea Melrisa
Pengurus Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (LMID)
24 September 2025
BandungBergerak - Tanah bukan sekadar hamparan bumi yang kita pijak. Bagi petani, tanah adalah sumber kehidupan, ruang menanam harapan, dan warisan yang harus dijaga untuk generasi berikutnya.
Namun di Indonesia, negeri agraris ini, ketimpangan penguasaan tanah masih menjadi luka menganga. Sebagian besar tanah dikuasai korporasi dan pemilik modal, sementara petani kecil mendapat sisa yang kian sempit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2013 hanya satu persen populasi masyarakat Indonesia menguasai 68 persen kekayaan tanah di Indonesia. Akibatnya, banyak petani terpinggirkan di tanahnya sendiri, menjadi buruh murah, atau bahkan kehilangan akses atas sumber penghidupan.
Di sinilah reforma agraria menemukan maknanya sebagai agenda mendesak untuk menegakkan keadilan sosial. Bukan sekadar redistribusi lahan, melainkan pembaruan hubungan antara manusia dan tanah agar lebih setara, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Keadilan agraria berarti memastikan bahwa tanah dikelola oleh rakyat yang menggarapnya, bukan sekedar sebagai objek investasi. Jika cita-cita ini terwujud, maka kesejahteraan, kedaulatan pangan, dan harkat petani, termasuk perempuan petani yang selama ini menjadi penjaga pangan keluarga, akan benar-benar diakui dan dihargai.
Subjek Agraria yang Setara
Perempuan sebenarnya adalah aktor utama dalam pertanian. Mereka hadir sejak proses paling awal, mulai dari menyiapkan benih, menanam, merawat tanaman, hingga mengolah hasil panen. Namun, peran penting perempuan di sektor pertanian seringkali tidak tercermin dalam data kepemilikan tanah atau pengambilan keputusan agraria.
Dalam Women’s Land Ownership and Decision Making Power in West Sumatra (2025), penelitian terhadap 212 rumah tangga di dua kabupaten menunjukkan bahwa perempuan secara formal memiliki hak milik atas tanah terutama di masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Kepemilikan ini belum otomatis memberikan kekuasaan dalam pengambilan keputusan rumah tangga terkait pemanfaatan tanah. Keputusan konkret lebih banyak dipengaruhi oleh kepemilikan aset bergerak (ternak, unggas, barang elektronik) dan pembagian waktu kerja di dalam dan di luar rumah panen.
Studi lain di Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta) menunjukkan bahwa ada 42,3 persen perempuan berstatus buruh tani dengan 40,4 persen adalah pemilik tanah dan 17,3 persen penyewa lahan. Dan kelompok buruh tani inilah yang paling rentan terhadap ketidakamanan pangan. Penelitian “Food Insecurity Among Female Farmers in Rural West Selaman, Indonesia” menyebutkan, 23 persen dari buruh tani perempuan mengalami food insecurity tingkat sedang hingga berat, jauh melampaui angka 14 persen untuk pemilik tanah dan 11 persen untuk penyewa lahan. Data ini memperlihatkan bahwa status kepemilikan tanah sangat mempengaruhi kesejahteraan dan stabilitas pangan, dan bahwa banyak perempuan berada di posisi subordinat meski mereka aktif dalam produksi, pengolahan, dan upaya menjaga ketahanan pangan keluarga.
Perempuan tani menghadapi hambatan struktural yang membatasi potensi mereka dalam pertanian dan reforma agraria. Salah satunya adalah minumnya akses terhadap tanah, modal, teknologi, dan pelatihan. Banyak perempuan tidak tercatat sebagai pemilik sah lahan pertanian karena sertifikat tanah umumnya atas nama laki-laki, baik ayah maupun suami. Hal ini membuat perempuan kesulitan mengakses modal dari lembaga keuangan, karena salah satu syarat utama pinjaman adalah kepemilikan aset. Selain itu, keterbatasan akses pelatihan dan teknologi pertanian modern membuat perempuan sering kali hanya ditempatkan sebagai tenaga kerja pendukung, bukan pengambil keputusan yang bisa meningkatkan produktivitas lahan. Padahal, ketika perempuan mendapat akses setara terhadap sumber daya produksi, hasil pertanian dapat meningkat signifikan dan ketahanan pangan keluarga pun lebih terjamin.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah marginalisasi perempuan dalam pengambilan keputusan agraria. Meski perempuan berperan besar dalam seluruh rantai produksi pangan, suara mereka kerap tak didengar dalam forum musyawarah desa, kelompok tani, maupun kebijakan di tingkat nasional. Banyak kebijakan agraria masih bias gender, dengan mengasumsikan petani sebagai sosok laki-laki, sehingga aspirasi perempuan tidak terakomodasi. Kondisi ini memperparah ketimpangan karena perempuan tidak hanya menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya, tetapi juga kehilangan ruang untuk memperjuangkan haknya. Akibatnya, meski menjadi tulang punggung dalam ketahanan pangan, perempuan tani tetap berada dalam posisi yang rentan dan terpinggirkan.
Memasukkan perspektif gender dalam reforma agraria berarti mengakui perempuan sebagai subjek agraria yang setara. Dengan kepemilikan tanah yang sah, perempuan dapat memperoleh akses modal, teknologi, dan pelatihan, serta memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga maupun komunitas. Ini bukan sekadar soal keadilan formal, tetapi juga tentang dampak nyata terhadap ketahanan pangan, kesejahteraan keluarga, dan keberlanjutan lingkungan. Tanah yang dikelola oleh perempuan terbukti lebih berorientasi pada keberlangsungan pangan lokal dan konservasi sumber daya.
Reforma agraria tanpa keadilan gender, dengan demikian, hanyalah setengah jalan. Ia baru benar-benar bermakna jika mampu membebaskan perempuan dari keterpinggiran struktural dan menempatkannya sebagai pilar utama pembangunan agraria.
Menegaskan bahwa perempuan adalah pilar utama dalam keberhasilan reforma agraria berarti mengakui keadilan agraria tidak akan pernah terwujud tanpa peran aktif mereka. Tanah yang adil tanpa pengakuan pada perempuan hanyalah kebijakan setengah hati. Reforma agraria harus membuka ruang yang setara bagi perempuan untuk menjadi subjek agraria, pemilik sah lahan, sekaligus pengambil keputusan di komunitasnya. Pengakuan perempuan sebagai pilar utama akan memperbaiki struktur sosial pedesaan, mengikis marginalisasi, dan memperkuat solidaritas gerakan tani. Dengan demikian, reforma agraria sejati hanya dapat berhasil bila menjadikan perempuan bukan sekedar pendukung, melainkan aktor utama yang hak-haknya dijamin dan kontribusinya dihargai.
Baca Juga: Catatan Akhir Tahun KPA: Konflik Agraria Melonjak akibat Proyek Strategis Nasional
Gugus Tugas Reforma Agraria Jawa Barat untuk Siapa?
Membongkar Struktur Sosial
Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan bahwa perempuan adalah tenaga yang menopang pertanian, tetapi sering terpinggirkan dalam wacana dan kebijakan. Sudah saatnya ada ajakan yang lebih keras tentang menghargai kerja perempuan tani bukan dengan kata-kata simbolik, melainkan dengan pengakuan konkret atas hak mereka. Mengakui perempuan sebagai subjek agraria berarti memberi ruang kepemilikan tanah yang sah, akses yang adil terhadap modal, teknologi, dan pelatihan, serta memastikan suara mereka terdengar dalam setiap keputusan agraria. Menguatkan peran perempuan tani bukan sekadar memberi penghormatan, tetapi mengembalikan martabat dan hak yang selama ini dirampas oleh sistem yang bias dan timpang.
Terwujudnya reforma agraria sejati yang berkeadilan gender, harus diperjuangkan bersama. Reforma agraria yang tidak hanya menata ulang struktur kepemilikan tanah, tetapi juga membongkar struktur sosial yang meminggirkan perempuan. Sebuah reforma yang memberi ruang setara bagi perempuan menjadi pemilik, pengelola, dan pengambil keputusan, sehingga tanah benar-benar kembali ke tangan rakyat, bukan sekadar ke tangan laki-laki sebagai representasi formal keluarga. Hanya dengan cara inilah reforma agraria bisa melampaui slogan, menjadi praktik keadilan sosial yang hidup, dan menjawab jeritan petani, terutama perempuan yang selama ini tersembunyi di balik angka statistik.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB