• Berita
  • Gugus Tugas Reforma Agraria Jawa Barat untuk Siapa?

Gugus Tugas Reforma Agraria Jawa Barat untuk Siapa?

Gugus Tugas Reforma Agraria di Jawa Barat sudah berjalan selama 6 tahun. Nyatanya, konflik agraria di Jawa Barat marak.

Kondisi rumah Eva Eryani yang hancur setelah penggusuran, Kamis, 19 Oktober 2023. Rumah ini satu-satunya yang bertahan menolak pembangunan Rumah Deret Tamansari. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana26 Oktober 2023


BandungBergerak.id - Indonesia sudah lama memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Prinsip Dasar Agraria Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Amanat Undang-undang yang lahir di masa Dwi Tunggal Sukarno Hatta tersebut sampai hari ini belum juga terwujud. Begitu juga di Bandung maupun Jawa Barat. 

Upaya mewujudkan reforma agraria sebenarnya sudah ada, salah satunya dengan pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di daerah-daerah. GTRA merupakan turunan dari Perpres Nomor 62 tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. 

Di Jawa Barat, GTRA sudah berjalan selama 6 tahun. Namun permasalahan konflik agararia dalam kurun tersebut kerap terjadi, menandakan bahwa masalah pertanahan ini memerlukan penanganan serius seserius pembentukan UUPA di masa Sukarno Hatta. 

Konflik agraria terbaru di Jawa Barat terjadi di Kota Bandung. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung baru saja menggusur satu-satunya warga yang bertahan dari proyek rumah deret Tamansari tanpa memperhatikan tuntutan warga tersebut. 

Konflik agraria lainnya terjadi di Dago Elos antara warga yang sudah puluhan tahun menguasai tanah kelahiran mereka melawan ahli waris dan pengusaha. Konflik tanah Dago Elos dilatarbelakangi klaim kepemilikan tanah di masa kolonial yang menjadi isu utama UUPA.

Konflik agraria  lainnya terjadi di berbagai belahan di Indonesia, mulai dari pulau Rempang Galang, dan tanah-tanah lainnya yang terkena pembangunan proyek strategis nasional ataupun investasi. 

“Keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria hingga saat ini membuktikan bahwa produk hukum yang dihasilkan pada masa pemerintahan Sukarno masih sangat relevan dengan kondisi saat ini untuk dijadikan dasar hukum setiap pelaksanaan yang bersumber pada pokok-pokok agrarian,” tulis Setiyo Utomo dalam jurnal berjudul Perjalanan Reforma Agraria   Bagian dari Amanah Konstitusi Negara, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (2021), diakses Kamis, 26 Oktober 2023.

Bagaimana Kerja Gugus Tugas Reforma Agraria Jawa Barat?

Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri mengakui bahwa Gugus Tugas Reforma Agraria Jawa Barat harus dikuatkan, seperti disampaikan Pelaksana Harian Pj. Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Eni Rohyani. Tujuan gugus tugas ini tidak lain untuk mewujudkan keadilan dalam sektor pertanahan dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Eni, reforma agraria di Jabar melalui GTRA telah berjalan enam tahun. Kerja gugus tugas ini perlu gerak cepat untuk meindaklanjuti Perpres Nomor 62 tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.

Dalam Perpres disebutkan reforma agraria merupakan penataan kembali kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui penataan aset, akses, serta penyelesaian konflik pertanahan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Eni menjelaskan, pada 2022 telah disepakati deklarasi bersama sebagai dasar penataan pertanahan dan aset untuk mewujudkan tujuan reforma agraria secara terfokus, terarah, terukur dan terintegrasi. 

Hasil dari deklarasi tersebut melahirkan keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 590/kep.260-rek/2023 tentang Penetapan Lokasi Prioritas Reforma Agraria di Provinsi Jawa Barat tahun 2023-2027 mencakup 11 lokasi di tujuh kabupaten dan kota. 

“Saya harap payung hukum ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi kita semua dalam percepatan penyelenggaraan reforma agraria,” harap Eni, dikutip dari siaran pers tentang Rakor Akhir GTRA Provinsi Jawa Barat di Ruang Rapat Sanggabuana Gedung Sate, Bandung, Rabu, 25 Oktober 2023. 

Baca Juga: Hari Tani 2022, Wujudkan Reforma Agraria untuk Rakyat
Catatan YLBHI: Proyek Strategis Nasional Mengorbankan Wong Cilik dan Petani
Koalisi Solidaritas Merilis Bukti-bukti Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Bangkal Seruyan

Perjalanan Reforma Agraria Tersendat 

Setiyo Utomo memaparkan, berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2029, telah terjadi 279 letusan konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektare. Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria tahun ini sebanyak 109.042 KK yang tersebar di 420 desa, di seluruh provinsi di tanah air. 

Dilihat dari eskalasi kekerasan penanganan konflik agraria pada jumlah korban dan masyarakat yang ditangkap karena mempertahankan haknya atas tanah, KPA mencatat pada tahun 2020 adanya peningkatan yang menghawatirkan dalam hal kebrutalan aparat di wilayah-wilayah konflik agrarian. 

Setiyo menyatakan, konflik agraria harus diselesaikan oleh negara baik dalam kebijakan hingga teknis di lapangan pada saat menangani konflik agraria.

“Reforma agraria yang dicita-citakan di era Sukarno seharunya memberikan gambaran untuk setiap kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam melaksanakan reforma agraria secara tuntas,” tulis Setyo.  

Reforma Agraria di Masa Joko Widodo

Setyo mencatat, lahirnya Orde Baru pada masa pemerintahan Suharto dengan menerbitkan regulasi yang bertentangan dengan semangat UUPA, antara lain UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan.

Suharto mementingkan semangat pembangunan yang berbasis modal asing dengan kebijakan pemberian konsesi lahan secara luas “menghidupkan” dan mengesahkan eksploitasi sumber daya alam secara bebas, mengeksklusi masyarakat dari lahan dan penghidupannya.

Jatuhnya Suharto pada tahun 1988 dengan ditandainya era reformasi dan munculnya gerakan agraria yang digaungkan oleh B.J Habibie dengan menghidupkan isu land reform. Pasca kerusuhan 1998, marak peristiwa reclaiming tanah-tanah HGU, khususnya di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Makassar.

Reforma agraria pada masa Susilo Bambang Yudhoyono mentargetkan redistribusi tanah 8-9 juta hektare. Namun pada praktiknya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode hanya terfokus pada persoalan administrasi dengan kebijakan legalisasi aset dan redistribusi tanah kepada masyarakat.

Setyo lalu mengungkapkan agraria pada masa Joko Widodo. Salah satu agendanya adalah melaksanakan redistribusi lahan sebanyak 9 juta hektare. Namun realisasinya dinilai cukup lambat. 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, juga artikel-artikel lain Konflik Agraria

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//