• Berita
  • Solidaritas dari Bandung untuk Rempang Galang

Solidaritas dari Bandung untuk Rempang Galang

Dalam Aksi Kamisan Bandung, orang-orang muda menyuarakan solidaritas bagi warga Rempang yang terusir dari tanah sendiri. Akses tanah juga jadi masalah pelik di sini.

Di Dago, Bandung, orang-orang muda bergabung dalam Aksi Kamisan menyuarakan solidaritas untuk warga Rempang, Kamis 14 September 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul15 September 2023


BandungBergerak.id - Kebrutalan polisi ketika menangani penolakan warga terhadap pemasangan patok di Pulau Rempang, Kepulauan Riau (Kepri) menegaskan pola tindakan-tindakan represif aparat kepada masyarakat sipil yang terus berulang. Di Taman Dago Cikapayang, Kamis 14 September 2023 sore, orang-orang muda bergabung dalam Aksi Kamisan Bandung menyuarakan solidaritas untuk warga Rempang Galang sebagai bagian dari “Parade Melawan Kekerasan Negara”.

Fayyad, pegiat Aksi Kamisan Bandung, menyebut kepolisian lagi-lagi menunjukkan posisinya yang lebih memilih melancarkan investasi Proyek Strategis Nasional (PSN) dibandingkan perlindungan dan penjaminan hak warga. Segala tindakan diambil, termasuk cara-cara yang sangat keras. Kebrutalan aparat yang terjadi di Wadas pada tahun 2020 dan 2021 dipraktikkan lagi di Rempang Galang.

“Dengan adanya Proyek Strategis Nasional, warga tidak dijadikan sebagai warga yang merdeka atas tanahnya sendiri. Akan tetapi justru mereka direnggut paksa dari tanahnya,” tutur Fayyad dalam orasi di bawah payung hitam.

Secara khusus Fayyad memberikan sorotan pada dampak buruk kebrutalan aparat pada anak-anak Rempang. Akibat lemparan gas air mata, proses belajar di sekolah terpaksa dihentikan. Trauma sangat mungkin akan tinggal dalam diri mereka dalam waktu yang lama.

Mewakili keprihatinan bersama Aksi Kamisan Bandung, Fayyad menuntut agar investasi yang akan dikelola oleh PT. Makmur Elok Graha (MEG) dicabut karena bakal merugikan warga adat Rempat dan keseluruhan ekosistemnya. Ia juga meminta agar warga Rempang yang ditahan segera dibebaskan.

Diketahui, PT. MEG, anak perusahaan Grup Artha Graha, akan mengembangkan kawasan industri, pariwisata, dan perdagangan di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Proyek raksasa yang dijuduli Rempang Eco City ini melibatkan investasi senilai 381 triliun rupiah yang akan dikucurkan sampai tahun 2080. Proyek yang sama memaksa warga adat yang telah turun-temurun mendiami Pulau Rempang direlokasi.

Pada 7 September 2023, ketika aparat gabungan hendak memasang patok lahan, bentrokan pecah. Warga menegaskan penolakan mereka. Empat hari berselang, bentrokan kembali terjadi ketika ribuan warga berdemonstrasi ke Kantor Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) menolak rencana relokasi dan menuntut pembebasan massa aksi yang ditahan.

Dalam diskusi, para peserta Aksi Kamisan Bandung menyinggung juga masalah akses tanah yang kian sulit bagi kaum muda. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Dalam diskusi, para peserta Aksi Kamisan Bandung menyinggung juga masalah akses tanah yang kian sulit bagi kaum muda. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Solidaritas untuk Warga Melayu Rempang Galang, Bersatu Melawan Penggusuran
Aksi Kamisan Bandung Mengecam Represi Polisi di Dago Elos

Masalah Tanah bagi Orang Muda Bandung

Peserta Aksi Kamisan Bandung, Resi, berpendapat bahwa persoalan tanah adalah persoalan semua orang. Tanah merupakan hak dasar yang mestinya dapat dimiliki oleh semua orang. Negara seharusnya memberikan layanan kepada warga untuk mengakses hak-hak dasar. Kegagalan memenuhi tanggung jawab itu termasuk pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia).

“Apalagi (warga Rempang) ini direnggut hak dasarnya yang sudah didapatkan. Tanah yang sudah seharusnya kita miliki bertahun-tahun, bergenerasi malah direbut sama negara,” ungkapnya ketika memantik sesi diskusi.

Menurut Resi, tanah juga menjadi permasalahan serius di Bandung. Terutama bagi generasi mudanya. Sulit sekali saat ini orang-orang muda memiliki rumah. Tanah sudah dikapitalisasi sedemikan rupa, dijadikan kawasan perumahan elite nan mahal.

“Perjuangan untuk tanah itu bukan perjuangannya masyarakat Rempang aja loh,” kata Resi. “Kita itu seharusnya memperjuangkan itu, memperjuangkan hak atas tanah, akses untuk memiliki tanah.”

Abdul Rafi, peserta aksi yang lain, mengaku tidak heran dengan tindakan represif dan bahkan brutal oleh aparat kepolisian sebagaimana terjadi di Rempang. Insiden seperti ini terus terjadi. Demikian pula dengan hasrat mengembangkan investasi di suatu lokasi adat.

Menurut Rafi, konsep keadilan harus disodorkan sebagai alternatif pencegah daya rusak manusia. Masalahnya, negara sendiri tidak adil dalam memberikan regulasi. Proyek strategis yang yang dijanjikan demi kepentingan negara dan masyarakat nyatanya tidak menguntungkan bahkan untuk masyarakat di lingkungan terdekat. “Nah ini sih yang harus diubah,” ujarnya.

 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//