• Opini
  • Solidaritas untuk Warga Melayu Rempang Galang, Bersatu Melawan Penggusuran

Solidaritas untuk Warga Melayu Rempang Galang, Bersatu Melawan Penggusuran

Rencana pembangunan Rempang Eco City oleh investor memicu perlawanan masyarakat adat Rempang Galang yang sudah mendiami tanahnya secara turun-temurun.

Rama Zatriya Galih Panuntun

Pegiat Aksi Kamisan Bandung.

Foto dari siaran pers YLBHI terkait penggusuran 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang Galang, Batam, Kepulauan Riau, Rabu, 7 September 2023. (Foto: YLBHI)*

11 September 2023


BandungBergerak.id“Kalau memang nak pindahkan kami, beri kami jaminan kami sebagai warge Indonesia ni,” kata Bedol (bukan nama sebenarnya), salah satu warga Sembulang, Rempang, via pesan WhatsApp, Rabu, 7 September 2023.

Saya bertanya kepada Bedol terkait rencana penggusuran 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau yang melibatkan kekuatan penuh dari aparat gabungan. Penggusuran dilakukan untuk memuluskan rencana pembangunan Rempang Eco City yang kontroversial.

“Pastikan tempat tinggal kami tetap nyaman, berilah garansi mata pencaharian kami tak tergantikan. Bukan asal pindahkan kami, macam binatang aje! Biarkan aje kami hidup bareng investasi yang nak masok tu! Asal jelas dan tak ganggu lingkungan kami! Kami juga menolak karna tak jelas (jaminan hak) dan kami berhak untuk tetap tinggal di tanah adat kami. Tanah Adat Melayu!” lanjut Bedol.

Layaknya perkampungan narkoba, pada kejadian Kamis itu warga Rempang digeruduk aparat bersenjata lengkap karena menolak relokasi dan melawan penggusuran atas tanah kelahirannya sendiri. Tak tanggung-tanggung Polda Kepri, TNI, dan aparat gabungan lainnya berjumlah 1.010 personel diturunkan untuk merangsek masuk ke perkampungan warga. Bentrok pun pecah tak terhindarkan! [Devira Prastiwi, 2023, Online, Liputan6].

“Yang melawan, tangkap, kalau ada yang melawan. Tangkap!” lantang komandan satuan polisi yang memimpin di atas mobil barracuda. Demikian adegan represi kepolisian terlihat dari rekaman langsung di lokasi penolakan kedatangan aparat gabungan oleh Warga Melayu Rempang yang tersebar luas di media sosial.

Serbuan aparat toh tak menyurutkan nyali warga Rempang dan masyarakat Melayu pada umumnya untuk mempertahankan tanah leluhur mereka dengan seruan aksi yang lebih besar pada 11 September 2023. Aksi susulan ini diperkirakan diikuti 10.000 warga Melayu yang tetap menolak relokasi, merujuk surat edaran Seruan Aksi yang dikeluarkan oleh Aliansi Pemude Melayu No. 002/Pem-Aksi/APM/IX/2023.

Meski demikian, dalam perkembangan terbaru Polrestabes Barelang bersama H. Muhamad Rudi dan perwakilan Aliansi Pemude Melayu mengimbau pembatalan Seruan Aksi Jilid II [dikutip dari Instagram Polrestabes Barelang, 10 September 2023].

Seruan solidaritas pun bersambutan dari beberapa Lembaga Adat Melayu atau lebih dikenal LAM untuk masyarakat Rempang Galang. Seruan solidaritas untuk mengutuk segala bentuk represivitas aparat dengan manggunakan kekerasan datang dari LAM Kabupaten Lingga dengan Surat Edaran 03/LAM-KL/IX/2023, LAM Kabupaten Kepulauan Anambas dengan Surat Edaran 019/MAKLUMAT/LAM-KKA/IX/2023 dan LAM Riau bernomor M-441/LAMR/IX/2023, LAM Selat Panjang, Bupati Natuna, dan masih banyak lagi organisasi-organisasi masyarakat sipil yang turut mendoakan kekuatan dan persatuan saudara Melayu Rempang Galang baik yang ada di Kepulauan Riau Raya hingga Kalimantan, tanah Sunda, dan beberapa daerah lain di Indonesia.

Hal ini semakin memperkuat pertanyaan besar publik ketika suatu daerah mendapat angin investasi, di manakah keberpihakan wakil rakyat? Kepada rakyat yang telah memilih mereka atau kepada pemodal yang mendanai segala bentuk penjarahan di balik kata investasi, tuan puan?

Setidaknya ada enam pasal, enam  ayat dan empat poin yang TELAH DIHAPUS (huruf kapital dari penulis) dan TIDAK TERDAPAT LAGI di dalam Perda Kota Batam Nomor 3 Tahun 2021, yang ditetapkan dan ditandatangani langsung oleh Muhammad Rudi selaku Wali Kota Batam. Perda ini merujuk pada pada Perda Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014 yang ditetapkan dan ditandatangani langsung oleh Nyat Kadir Selaku Wali Kota Batam pada tanggal 22 Juni 2004 dan diundangkan pada tanggal 28 Juni 2004 [Baca lebih lanjut: Dion, 2023].

Hal itu menunjukkan indikasi adanya kecenderungan Pemerintah Kota Batam dan BP Batam memberikan keleluasaan kepada investor di Rempang dengan tajuk Rempang Eco City. Investasi ini tanpa dibarengi sosialisasi yang jelas dan sistematis dan tidak memiliki keberanian yang gagah untuk menjamin segala bentuk konsekuensi kehidupan pascarelokasi. Sekali lagi saya ulang, konsekuensi kehidupan pascarelokasi untuk masyarakat adat Rempang-Galang yang seharusnya diperhitungkan dengan matang tertanda sejak 26 Januari 2004, berdasarkan Notulensi Rapat di Business Centre Hotel Hilton Jakarta oleh H. Nyat Kadir, Asman Abnur, SE, Mustafa Widjaya, Amsakar Achmad, Thio Seng Peng, Wisnu Tjandra, Karim Tano Tjandra, Elizawatie Simon dan Villi [Bukti fisik scan Notulen Rapat tersedia].

Baca Juga: Selamat Datang September Hitam, dari Agustus yang Melawan
Mengukur Kesaktian Pancasila
(Tidak Telat) Merefleksikan G30S dan Memahami Gerakan Tahrirul Mar’ah, Titik Berangkat Pembebasan Perempuan

Bersatulah Aliansi Warga Melawan Penggusuran!

Sudah saatnya kita yang membaca tulisan ini untuk peduli atas nama segala bangsa. Bagaimana kita bisa tertidur pulas dengan tangisan anak Melayu yang meresahkan tanah kelahirannya yang sudah mereka huni sejak 1834 bakal digusur oleh negaranya sendiri tanpa jaminan yang jelas?

Saya mengundang Wali Kota Batam Muhamad Rudi atau Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Kota Batam untuk membalas tulisan ini dengan mencantumkan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan feasibility study (studi akademis)-nya untuk dapat dipublikasi atau disebarluaskan pada publik sebagaimana apa yang disebutkan bung Petra [Jalurnews. Com, 2023]. Mana nota kesepahaman yang dapat diakses oleh masyarakat umum untuk masyarakat Adat Melayu Rempang Galang? Jika Anda masih bertanggung jawab atas mandat masyarakat Melayu di pundak!

Dan perlu diingat kiranya ketika tulisan ini sudah menyasar grup-grup WA, para pemangku kepentingan yang menangani kasus ini untuk bisa meninjau apa yang oleh Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang mendesak otoritas negara agar mengedepankan konsultasi yang bermakna dengan warga setempat. Harus ada solusi yang adil dan berkelanjutan. Ia mengecam kekerasan aparat kepolisian terhadap warga masyarakat Pulau Rempang-Galang, Kepulauan Riau.

Ironisnya, ini bukan kekerasan yang pertama terkait pelaksanaan proyek strategis nasional yang dipaksakan sehingga mengancam hidup warga masyarakat. Ini menandakan proyek strategis nasional kembali bermasalah. Jangan paksa masyarakat! [Usman Hamid, Amnesty International Indonesia, 2023]

Keres retancap dipohon bambu. Berkelok lime berkepale nage. Wahai saudaraku anak Melayu. Marilah kite semue korbankan jiwe dan rage!

Rempang dan Galang tidak sendiri melawan setan tanah! Dago Elos, Anyer Dalam (Bandung), Sangihe, Rukun Pakel, Wadas, dan daerah lainnya yang melawan atas nama mempertahankan kehidupan mereka. Solidaritas perlu dibangun atas nama kemanusiaan – melebihi agama. Jangan sampai kita menunggu identitas yang identik dengan diri kita untuk peduli pada sesama!

Hidup Korban! Hidup warga yang melawan! Hidup Rempang Galang! Jangan diam! Lawan!!!

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//