• Opini
  • Selamat Datang September Hitam, dari Agustus yang Melawan

Selamat Datang September Hitam, dari Agustus yang Melawan

Melawan dengan gagasan yang lahir dari keresahan lebih terhormat dibandingkan menghabiskan dana negara atas nama keresahan rakyatnya sendiri.

Rama Zatriya Galih Panuntun

Pegiat Aksi Kamisan Bandung.

Situasi Dago Elos, Bandung, pada situasi mengerikan Senin (14/8/2023) malam. (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

5 September 2023


BandungBergerak.id – Tidak ada bedanya Agustus kali ini seperti bulan-bulan sebelumnya. Kembar siam dengan Agustus tahun-tahun lalu, Agustus yang dianggap sebagai bulan kemerdekaan ini tetap menyajikan penderitaan, menghadirkan kegelisahan, melahirkan-trauma-trauma baru sampai merengut hak ruang hidup warganya sendiri – yang seharusnya dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945.

Agustus yang hanya berisian seremoni upacara biasa, tak lebih dari jajaran teks pidato yang berulang kali dibacakan kesamaannya setiap tahun dan surat proklamasi yang mempertontonkan suasana proklamasi semata, menguap begitu saja dan berlalu tanpa arti bagi beberapa warga atau sebagian daerah yang tidak merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Diawali dengan perlombaan heroik tak bermakna hanya untuk memendam nasionalis kita dalam fantasi kemerdekaan yang tidak benar-benar nyata. Wacana kemerdekaan itu lahir dan terus kita warisi wacananya saja tanpa aksi yang begitu bisa langsung dirasakan baik secara lahiriah apalagi secara batin! 

Omong kosong Agustus yang berteriak menyoal kemerdekaan tampak nyaring keluar dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari salah satu kota Industri, Batam. Pernyataan Menteri investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia yang ingin merelokasi ribuan warga asli Melayu berada di Kawasan Rempang-Galang untuk kebutuhan investasi perusahaan kaca yang menanam uang hingga 11,5 miliar Dolar AS (Ajang Nurdin, Liputan6.com, 2023).

Salah satu warga asli Melayu di Kecamatan Galang, Kota Batam, Nadia (23) mengatakan bahwa kekecewaannya terhadap keputusan dan kebijakan Pemkot Batam yang tidak berpihak pada warga asli Melayu. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian terutama relokasi yang tidak bisa diterima dan hilangnya hak ruang hidup warga karena tidak dijamin langsung oleh negara (Wawancara melalui DM Instagram).

Puncaknya ribuan pemuda dan warga melayu yang berasal dari 16 kampung adat turun ke jalan untuk menumpahkan kekecewaan terhadap kebijakan dan Pemerintah Kota Batam di halaman Kantor BP Batam untuk menolak penggusuran atas nama relokasi dan kepentingan pemodal tersebut pada 23 Agustus 2023 (Yogi Eka Saputra, Tempo.co, 2023).

Tidak berhenti pada satu daerah yang melantangkan penolakan penggusuran termasuk Dago Elos, Kota Bandung. Represi aparat mencekam semalam sebelum 17 Agustus lalu, pecah!

Kedatangan aparat untuk pengawalan pemberian Surat Peringatan penggusuran terhadap warga Dago Elos direspons dengan penolakan. Kericuhan yang pecah karena adanya lontaran kepada warga malam itu membuat warga yang sedang beristirahat terbangun dengan trauma yang langsung merangsek dalam ingatannya, termasuk pada kelompok rentan seperti anak, wanita, dan orang tua lanjut usia (Wawancara Ikbal dari Aliansi Warga Menolak Penggusuran, 2023).

Penggusuran warga lokal, Dago Elos oleh Pemerintah Kota Bandung dinilai tidak berpihak pada rakyat namun hanya berpihak pada cukong-cukong pemegang modal. Termasuk beberapa penggusuran terkini yang berada di tanah Pasundan, seperti Anyer, Tamansari, Dago Elos dan banyak tempat di dalam dan luar Jawa Barat. Warga harus Bersatu untuk menolak penggusuran, untuk mempertahankan ruang hidup dan keberlangsungan hidupnya. Bahkan solidaritas terus diorganisir untuk melawan kebijakan yang tidak pro rakyat, kata Eva dalam refleksinya membuka Aksi Kamisan ke-396 pada 24 Agustus 2023 di Taman Dago Cikapayang .

Bayangkan saja apa yang kamu rasakan jika kamu sedang tertidur lalu rumahmu didobrak Polisi? Dalam tidur saja kita diteror dan belum terjamin sepenuhnya oleh negara. Sekalipun kita bernapas, udara bersih sulit kita dapatkan hari ini.

Sejak prestasi polusi udara di Jakarta yang menempati posisi terburuk sedunia (Syahrizal Sidik, MSN, 2023), hal ini tentu memperpanjang catatan buruk negara bahwa tidak bisa memberikan jaminan udara yang layak (apalagi bersih) untuk dihirup warganya. Kondisi yang merugikan ini tentu memberikan efek yang tidak sempit dalam roda sosial kita. Baik secara letak yang berada di dalam dan luar Jakarta pun turut menghirup udara kotor yang terkesan dibiarkan ini.

Karena punchline selanjutnya adalah bukan merefleksi untuk membenahi sistem dan kebijakan, namun usaha kuratif yang terkesan sia-sia seperti menyemprot jalanan utama dengan air oleh Pemadam Kebakaran atas perintah orang nomor satu negeri ini menjadi bahan tertawaan.

Lalu, apa yang sebetulnya sedang kita kerjakan ini?

Baca Juga: (Tidak Telat) Merefleksikan G30S dan Memahami Gerakan Tahrirul Mar’ah, Titik Berangkat Pembebasan Perempuan
Mengukur Kesaktian Pancasila
Iduladha sebagai Alat Merebut (Kembali) Kebangsaan Cap Rakyat!

Pukul Balik September Hitam!

Rangkaian pelanggaran-pelanggaran HAM berat di masa lalu termasuk apa-apa yang kita rasakan sampai hari ini layak untuk di lawan. Dilawan dengan gagasan, dilawan dengan ketidak-putus-asaan. Bersatulah Dago Elos, Bersatulah Rempang, Bersatulah Anyer Dalam, Bersatulah Kendeng, Bersatulah Wadas, Bersatulah yang Tergusur, yang diabaikan oleh Negara!

Diskriminasi yang terus menerus dirasakan oleh kita yang marjinal dan ditepikan oleh negara tentu diam bukanlah solusinya. Kita bukan turis di tanah kita sendiri! Melawan adalah kuncinya. Melawan gagasan yang dangkal dengan alternatif-alternatif – yang entah didengar atau tidak, dibaca atau tidak – oleh pemerintah terkait salah satu pilihan.

Setelah melawan gagasan, melawan dengan perkataan adalah opsi yang bisa dilakukan selanjutnya. Tidak terlambat walau kita baru terbangun dari Agustus yang begitu melelapkan atas wacana-wacinu kemerdekaan yang tiada henti. Melawan dengan gagasan yang lahir dari keresahan lebih terhormat dibandingkan menghabiskan dana negara atas nama keresahan rakyatnya sendiri. Sungguh pecundang!

Melawan, melawan berikutnya adalah gaya hidup. Mencari solusi atas permasalahan ini dengan bersolidaritas adalah jantungnya. Karena kepedulian negara pada kelompok marjinal seperti membayangkan datangnya nabi baru, mustahil!

Melawan adalah keseharian! Lawan keseharian yang mendungukan!

Jangan Diam! Lawan!

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//