Iduladha sebagai Alat Merebut (Kembali) Kebangsaan Cap Rakyat!
Refleksi gagasan kebangsaan rakyat ala Mohamad Hatta pada momen perayaan Iduladha. Memimpikan kebangsaan yang menempatkan rakyat dalam segala kepentingan kenegaraan.
Rama Zatriya Galih Panuntun
Pegiat Aksi Kamisan Bandung.
29 Juni 2023
BandungBergerak.id – Dari Juni kita selalu belajar mengulang dan mengulang untuk dapat belajar bagaimana merefleksikan saktinya Pancasila itu terlahir dari berbagai rahim pemikiran tokoh bangsa. Tak terkecuali bung Hatta. Tokoh ikonik Sumatera Barat yang memiliki julukan “Real-Politiek” ini menyebut ke dalam ketiga jenis bentuk kebangsaan. Ketiga jenis bentuk kebangsaan menurut Mohammad hatta ini dapat ditinjau ulang relevansinya dengan situasi negara kita hari ini (Rudi Hartono, 2021). Baik secara kontekstual secara luas maupun secara dekat (baca: lingkup tetangga kita- terdekat).
Yang pertama adalah Kebangsaan Ningrat. Menurut Hatta, kebangsaan ini lahir dari ketek kekuasaan. Kebangsaan yang menggunakan alat bernama Kekuasaan untuk memfasilitasi sepenuhnya pemufakatan-pemufakatan yang dijamin oleh negara. Kebangsaan ini candu dengan harum feodalisme yang mendarah daging hingga pada turunan genetik keluarganya. Lalu ada yang namanya Kebangsaan Intelek. Kebangsaan yang menginginkan bangsa ini dikendalikan oleh kaum terpelajar. Kebangsaan intelek yang terlalu superior dalam urusan akademik terkesan merendahkan dan mengabaikan kaspastias politik rakyat yang menang dalam kuantitas, kedua hal ini yang disayangkan oleh Hatta.
Dan pada konsep Kebangsaan Rakyat, Hatta memimpikan kebangsaan yang murni dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan yang menempatkan rakyat dalam segala kepentingan kenegaraan. Mengagungkan nilai kemanusiaan di atas segala-galanya. Hal ini bisa menjadi modal pemuda untuk memupuk kembali semangat untuk menata bangsa dari segala persoalan yang ada. Dalam pidatonya sebagai ketua Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda pada tanggal 17 Januari 1926 (Efrinaldi, uns.ac.id), Hatta menyampaikan:
“Aku telah menyebutkan bahwa imperialisme Barat harus disudahi untuk kepentingan kemanusiaan dan setiap bangsa yang terjajah mempunyai kewajiban untuk memerdekakan diri. Dan karena itu Indonesia harus mencapai kemerdekaannya atas dasar kemanusiaan dan peradaban.”
Karena bagaimana pun sebagai anak bangsa, mewujudkan kedaluatan rakyat Indonesia ialah tugas bersama. Hatta memberikan tiga prinsip dasar untuk emncapai kedaulatan dengan demokrasi Indonesia, yakni unity (persatuan), liberty (kebebasan) dan fraternity (persaudaraan) (Riyanto dkk., 2021).
Baca Juga: Radikalisame dan Ekstremisme, Dilema Berpikir yang Tertabrak Norma (?)
(Tidak Telat) Merefleksikan G30S dan Memahami Gerakan Tahrirul Mar’ah, Titik Berangkat Pembebasan Perempuan
Mengukur Kesaktian Pancasila
Refleksi Makna Iduladha
Seperti Juni yang terus berulang, Iduladha menghampiri usia mereka yang masih mendapatkan jatah-Nya untuk terus bersujud bukan dalam hal yang jauh dari diri kita, namun bersujud untuk membisikkan komitmen keilahian menjadi nyata bersama sesama. Terlepas siapa dulu yang merayakan ibadah yang satu ini, Iduladha hanyalah alat. Sekali lagi Iduladha hanya sebatas alat. Alat untuk mengingatkan diri sendiri dan sesama kita tentang apa yang menjadi perintah-Nya. “Karena aku bersama kalian, lebih dekat dari nadi-nadi kalian”, begitu kata Tuhan.
Jika Iduladha hanya dimaknai hanya sedangkal status Haji yang sudah verified karena postingan di snapgram kita atau berkurban kambing/sapi/domba/embek di status WA kita. Apa yang memaknai lebih dalam dari perintah Tuhan selain refleksi diri yang tidak tumbuh tiap waktu malah dibunuh dengan pencitraan hampa pada sesama manusia?
Dan saat inilah momentumnya. Juni sekaligus ber-Iduladha merupakan momen yang sempurna untuk mengejawantahkan Iduladha tidak hanya sebatas menyembelih hewan kurban namun sekaligus ibadah yang agung bagi pengorbanan diri manusia itu. Tidak hanya Islam, beberapa agama atau kepercayaan lain mengamini “ibadah pengorbanan” ini. Ada yang melalui persepuluhan, persembahan dan ibadah menyetrum kemanusiaan tetap pada aliran ajaran Tuhan.
Dalam niat belajar, kitab isa belajar merefleksi lebih jauh tentang apa yang terkandung dalam Roma 6: 13 ini.
“Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran”.
Karena akan hampa jika hanya melakukan liturgi peribadatan tanpa hasil yang nyata. Jika pengorbanan kepada Tuhan (secara vertikal) dimaklumi karena berharap akan Surgawi, beranikah kita berkorban tentang sesama manusia?
Melalui pewujudan kebangsaan ala Mohamad Hatta ini bisa menjadi salah satu alternatifnya. Berkorban demi merebut kembali kebangsaan yang sela mini pudar di tengah disrupsi dinamika sosial yang ada. Kebebasan Cap Rakyat adalah otentik kerakyatan yang harus kembali pada baju yang harus dikenakan kembali untuk rakyat pula!
Dan Kebangsaan Cap Rakyat adalah sebenar-benarnya kebenaran!
Panjang Umur Pengorbanan!