• HAM
  • Koalisi Solidaritas Merilis Bukti-bukti Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Bangkal Seruyan

Koalisi Solidaritas Merilis Bukti-bukti Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Bangkal Seruyan

Kasus Bangkal yang menewaskan seorang warga sipil memperpanjang episode kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Kepercayaan pada aparat penegak hukum tergerus.

Cover laporan temuan investigasi dugaan pelanggaran HAM di Bangkal, dirilis di Jakarta, 15 Oktober 2023. (Sumber: YLBHI)

Penulis Muhammad Andi Firmansyah17 Oktober 2023


BandungBergerak.idTim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal merilis laporan hasil investigasi awal mengenai konflik agraria di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan. Laporan ini mengumpulkan fakta lapangan dan kesaksian warga atas peristiwa bentrok antara warga dan aparat kepolisian yang menewaskan seorang warga Bangkal, Gijik (35), dan melukai dua warga lainnya, Taufik Nur Rahman (21) dan Ambaryanto (54).

Dengan menyatukan kekuatan dari 15 organisasi masyarakat sipil, laporan tersebut bukan hanya menjadi bukti awal yang kuat tentang adanya kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masyarakat Bangkal, tapi juga sebagai upaya nyata untuk mendesak pihak berwenang agar bertindak sesegera mungkin sesuai hukum dan menegakkan keadilan bagi para korban.

“Kasus kematian warga Seruyan dan penembakan ini masuk kategori extra judicial killing, pembunuhan tanpa proses hukum atau putusan pengadilan,” ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya Aryo Nugroho, dalam siaran pers yang diterima BandungBeregak.id.

“Peluru karet atau peluru tajam, yang jelas kejadian ini harus diproses secara hukum, harus ada yang dimintai pertanggungjawaban atas kematian ini,” lanjutnya.

Seperti halnya kasus Rempang di Batam dan Dago Elos di Kota Bandung, konflik agraria antara masyarakat Bangkal dan PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) ini menunjukkan serangkaian tindakan represif aparat kepolisian, serta keberpihakan pemerintah terhadap korporat atas dasar keuntungan “bersama”. Sementara itu, warga lokal yang telah tinggal sekian lama di tanah mereka diperlakukan selayaknya orang asing.

Janji Palsu PT HMBP

Kisruh yang terjadi di Bangkal pada 7 Oktober 2023 kemarin hanyalah puncak dari kekerasan aparat kepolisian terhadap warga Bangkal. Jauh sebelum itu, tepatnya sejak 16 September 2023, aparat telah melakukan tindakan serupa, mulai dari pemukulan hingga penembakan gas air mata tanpa sebab.

Lantas mengapa warga Bangkal tetap melakukan demonstrasi, meskipun telah berulang kali mendapatkan tindakan represif dari aparat?

Sejak kedatangannya tahun 2004, PT HMBP memang tak pernah direstui secara penuh oleh masyarakat Bangkal. Izin lokasi dari Bupati Seruyan kepada PT HMBP juga dikeluarkan tanpa adanya kesepakatan dengan masyarakat Bangkal. Ketika mulai beroperasi, PT HMPB sendiri tak pernah bicara apa-apa kepada masyarakat mengenai penggundulan hutan dan ganti rugi lahan. Mereka baru buka suara setelah warga mendesaknya.

Pada tahun 2008, perwakilan masyarakat bertemu dengan PT HMBP untuk membuat suatu kesepakatan bersama. Hasilnya, PT HMBP berjanji akan memenuhi tanggung jawab sosialnya dengan berkontribusi pada pembangunan desa: penyediaan air bersih, perluasan jaringan listrik rumah tangga, pendirian sekolah dan pemberian beasiswa pendidikan, serta pembuatan tambak ikan.

Lima tahun kemudian, pertemuan kembali diadakan untuk mengecek pemenuhan janji-janji PT HMBP. Kali ini masyarakat bukan hanya menagih janji-janji lama PT HMBP yang masih nihil eksekusi, tapi juga meminta hak “plasma” untuk mengelola 1.175 hektare lahan yang ternyata berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT HMBP. Mereka menyetujui permintaan masyarakat dan berjanji akan merealisasikannya paling lambat Januari 2014.

Namun, lebih dari satu dekade usai kesepakatan tersebut, janji penyediaan kebun plasma tak kunjung terlaksana. Apa yang ada setelahnya adalah rangkaian pertemuan dan mediasi yang selalu berakhir buntu. PT HMBP dan pemerintah Kabupaten Seruyan sempat bersedia memberi uang kompensasi sebesar 300 ribu rupiah per bulan untuk setiap keluarga yang tanahnya masuk ke dalam kebun di luar area HGU PT HMBP. Warga menolaknya mentah-mentah.

Kebuntuan itu, serta ingkar janji belasan tahun yang lalu, akhirnya membuat masyarakat hilang kesabaran. Sejak 16 September 2023, masyarakat Bangkal telah melakukan protes damai yang sah di kebun plasma sawit dan lahan di luar HGU PT HMBP. Tujuannya jelas: menuntut hak-hak mereka. Aksi ini, mengingat tak ada respons dari pihak perusahaan, terus berlangsung sampai awal Oktober. Tragedi akhir pekan lalu adalah puncaknya.

Baca Juga: Bisakah Kita Hidup tanpa Polisi?
Setelah Polisi Mengepung Kampung Kami
Program Polisi RW Harus Membantu Masyarakat, Bukan Melahirkan Raja-raja Baru

Temuan Awal Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal

Berdasarkan penelusuran Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal, ada sedikitnya enam bukti yang menguatkan dugaan adanya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Bangkal.

Pertama, adanya pengerahan aparat secara berlebihan. Koalisi memeriksa Surat Perintah Nomor/1377/IX/PAM.3.2./2023 tertanggal 27 September 2023 dari Polda Kalimantan Tengah, yang menugaskan setidaknya 440 anggota kepolisian untuk “mengamankan” aksi protes damai di Bangkal—sesuatu yang cukup berlebihan dalam rangka mengawal ratusan warga biasa. Temuan koalisi juga mengindikasikan bahwa aparat kepolisian telah beberapa kali melakukan pelanggaran prosedur, mulai dari level ringan sampai level berat.

Kedua, penggunaan senjata api dan gas air mata secara sewenang-wenang. Pada aksi massa 21 September 2023, misalnya, aparat menembakkan gas air mata ke sebuah mobil pick-up milik warga yang hendak membagikan logistik makanan ke pos 4. Menurut kesaksian warga, penembakan tersebut dilakukan begitu saja tanpa didahului peringatan apa pun. Tembakan itu mengenai bagian depan mobil, dan asapnya sampai ke bagian bak yang dipenuhi ibu-ibu.

Kesewenang-wenangan penggunaan senjata api ini, tentu saja, mencapai puncaknya pada 7 Oktober 2023. Saat itu, aksi massa mulanya berlangsung damai, tapi entah mengapa aparat ujug-ujug memerintahkan penembakan ke arah demonstran. Hal ini bisa didengar dari dua instruksi yang terekam, yaitu “… gas air mata jangan ke atas, arahkan ke orangnya…” dan “… bidik kepalanya! Bidik! AK persiapan, AK persiapan, ayo kita bermain…”

Menurut keterangan saksi, pihak kepolisian tak memberikan peringatan secara patut kepada demonstran. Memang, waktu itu sempat ada peringatan satu kali dari arah barikade aparat, tapi tak lama kemudian aparat langsung menembakkan gas air mata, disusul dengan suara letusan senjata api.

Ketiga, timbulnya korban jiwa dan korban luka. Pada tragedi 7 Oktober 2023, seorang warga Bangkal bernama Gijik (35) meninggal dunia usai terkena tembak di bagian punggung yang tembus ke dada sebelah kanan, sementara itu Taufik Nur Rahman mengalami luka berat di bagian pinggang. Keduanya jatuh tersungkur pada waktu yang hampir bersamaan, dengan jarak yang cukup dekat pula.

Di luar itu, misalnya pada peristiwa 23 September 2023, dua warga Bangkal juga mengalami luka akibat tembakan peluru karet. Dua korban tersebut adalah Marjono, yang terluka pada bagian lengan sebelah kanan, dan Kura, yang terluka pada bagian hidung. Pada peristiwa yang sama, hampir semua warga mengalami iritasi kulit, mata perih, dan sesak napas akibat menghirup pedihnya gas air mata.

Keempat, adanya penangkapan dan upaya paksa sewenang-wenang. Pascakisruh 7 Oktober kemarin, aparat kepolisian menangkap 20 orang demonstran tanpa alasan yang jelas. Lebih anehnya, semua warga yang ditangkap juga dipaksa melakukan tes urine, seolah kepolisian mencari dalih untuk menjustifikasi penangkapan atau tindakan represifnya lewat kesalahan-kesalahan lain yang tak ada hubungannya dengan konteks kasus penangkapan.

Selain fakta bahwa salah seorang warga yang ditangkap masih berstatus siswa SMA, warga yang ditangkap juga diperiksa secara terpisah sebanyak dua orang dengan dua penyidik di dalam satu ruangan. Masalahnya, penyidik sama sekali tak menjelaskan alasan pemeriksaan, status hukum, ataupun tuduhan pasal yang dikenakan pada demonstran. Kemudian setelah berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dicetak, semuanya dipaksa menandatangani.

Kelima, koalisi menemukan lebih dari 40 kendaraan beroda dua milik warga dirusak oleh aparat keamanan di lokasi.

Keenam, koalisi juga menganggap pernyataan aparat kepolisian tak akurat dan cenderung menyesatkan. Sehari pascatragedi 7 Oktober 2023, Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah menyampaikan bahwa anggota polisi yang bertugas tak dibekali peluru tajam, melainkan hanya peluru hampa dan peluru karet, serta gas air mata. Pernyataan ini, menurut koalisi, keliru dan menyesatkan, mengingat hasil penyelidikan berbasis ilmiah belum keluar.

Amnesty International Indonesia menyebut bantahan dari Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah tersebut “terlalu prematur dan bersifat defensif, karena disampaikan tanpa adanya investigasi independen, tidak memihak, dan efektif.”

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya mengeluarkan pernyataan serupa: “Itu membantah fakta penembakan terjadi menggunakan senjata api peluru tajam yang menimbulkan korban jiwa. Itu upaya penyangkalan dari polisi, terutama kewajiban menginvestigasi secara jelas.”

Seruan dan Desakan

Tak sulit untuk melihat berbagai aksi solidaritas di berbagai daerah setelah tragedi Bangkal pada 7 Oktober kemarin. Tepat sehari setelahnya, Aliansi Pembela HAM Sumatera Barat menggelar aksi solidaritas di tengah momen Car Free Day. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Aliansi Masyarakat Dayak dan Mahasiswa KOBAR Bersatu turun ke jalan dengan menggunakan atribut dayak dan pita merah putih.

Sementara itu, Aliansi Solidaritas Balikpapan Bergerak juga ikut melakukan hal yang sama. Aksi solidaritas ini bukan hanya diperuntukkan bagi konflik agraria di Bangkal, tapi sekaligus di daerah lainnya seperti Rempang dan Kepulauan Riau.

“Kami mengutuk keras segala tindakan represif aparat yang terjadi di Rempang, Galang, Desa Bangkal, dan seluruh penjuru Indonesia,” teriak koordinator lapangan Maha Sakti.

Selain aksi solidaritas, muncul juga serangkaian tuntutan dari berbagai pihak, khususnya organisasi masyarakat sipil. Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal sendiri, dalam laporan investigasinya, mendesak berbagai pihak seperti Mabes Polri, Polda Kalteng, Komnas HAM, LPSK dan Kompolnas untuk mengambil langkah serius guna mengusut tuntas peristiwa yang telah terjadi.

Amnesty International Indonesia menulis surat terbuka kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. “Melalui surat ini,” begitu isinya, “Amnesty International Indonesia mengecam tindakan aparat keamanan yang melakukan kekerasan yang tidak perlu dan penggunaan senjata api terhadap warga sipil di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kalimantan Tengah, pada 7 Oktober 2023.”

Direktur WALHI Kalimantan Tengah Bayu Herinata mendesak bupati Kabupaten Seruyan untuk melakukan tindakan tegas kepada PT HMBP agar sesegera mungkin memenuhi hak masyarakat Bangkal, terutama berupa kebun plasma. Hal serupa diserukan Public Interest Lawyer-Network (PilNet), yang meminta Kapolres Seruyan untuk memberi bantuan hukum kepada warga yang ditangkap, mengingat proses hukum terhadap mereka tetap berjalan.

Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Nasional Sabarudin mengungkapkan bahwa ingkar janji perusahaan sawit kepada warga lokal telah terjadi di seluruh wilayah pengembangan sawit di Indonesia.

“Kapolri harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban warga, serta mengusut tuntas pelanggaran prosedural dan bentuk penanganan represif aparat kepolisian di Kabupaten Seruyan, sekaligus mengambil tindakan hukum yang tegas dan mencopot kapolsek, kapolres dan/atau kapolda yang berada dibelakang kekerasan penanganan konflik agraria,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Senin, 9 Oktober 2023.

Pada akhirnya, meskipun diskursus tentang kekerasan fisik yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga Bangkal telah tersebar cukup luas, kelihatannya ada satu hal penting yang kurang dieksplor: dampak psikis dan trauma, bukan hanya warga Bangkal, tapi juga semua masyarakat yang karena kasus tertentu harus berhadapan dengan aparat kepolisian.

Kasus Bangkal adalah episode lanjutan tentang bagaimana kepolisian membuat masyarakat tak lagi percaya padanya, terutama akibat kecerobohan mereka sendiri.

* Kawan-kawan yang baik, mari membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Andi Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang kekerasan polisi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//