• Foto
  • Setelah Polisi Mengepung Kampung Kami

Setelah Polisi Mengepung Kampung Kami

Warga Dago Elos, yang terancam tergusur sewaktu-waktu, menderita trauma akibat tindakan represif polisi. Inilah cerita visual tiga hari setelah kerusuhan.

Fotografer Prima Mulia19 Agustus 2023

BandungBergerak.id - “Kita Belum Merdeka!” Tulisan berwarna putih di bentangan spanduk warna hitam itu begitu menohok di tengah riuhnya jeritan anak-anak yang mengikuti lomba balap makan kerupuk di pelataran Balai RW 02 Dago Elos, Bandung, Kamis, 17 Agustus 2023 pagi. Ketika kampung-kampung lain di seluruh negeri bersolek dengan nuansa merah putih dan beragam upacara untuk memperingati hari kemerdekaan, Dago Elos berhiaskan bendera dan spanduk-spanduk perlawanan.

Sengketa tanah yang berlangsung sejak tujuh tahun lalu masih memenjarakan warga. Tahun lalu, putusan pengadilan merenggut hak kepemilikan tanah dari mereka. Tiga hari lalu, aparat polisi mengepung kampung dan menyisakan trauma.

Pada Senin, 14 Agustus 2023 malam itu, Dago Elos bergolak. Kerusuhan pecah setelah polisi dengan cara-cara kekerasan membubarkan massa warga yang memblokir jalan Ir. H. Djuanda di depan Terminal Dago. Dalam versi aparat, yang mereka lakukan adalah tindakan secara terukur untuk membuka kembali akses jalan raya.

Faktanya, malam itu polisi berkali-kali menembakkan gas air mata ke arah permukiman, menyisir jalan dan gang, menggedor dan mendobrak rumah-rumah warga dengan dalih mencari para pengunjuk rasa yang kabur, berteriak-teriak dengan bahasa kasar, serta menangkap dan memukuli warga termasuk jurnalis. Sebentuk teror yang dampaknya masih dirasakan warga, terutama wanita dan anak-anak, hingga sekarang.

Berdasarkan video, rekaman CCTV, dan penuturan warga Dago Elos, tergambar dengan gamblang bagaimana polisi-polisi, baik yang berseragam dan bersenjata lengkap maupun intel tanpa seragam, mengepung kampung. Mereka menyisir dari banyak sudut, menghardik dan mengancam dengan suara keras dan bahasa sangat kasar, serta mendobrak rumah warga.

"Banyak sekali polisi yang masuk ke perkampungan malam itu," kata Karso (65), salah seorang warga pemilik kendaraan angkutan kota (kota) yang kaca belakangnya bolong dihantam benda keras.

Pada Selasa, 15 Agustus 2023 pagi, warga mengabarkan apa yang terjadi di Dago Elos dengan mengundang para jurnalis. Sebuah pentungan polisi yang tercecer saat kerusuhan dan beberapa canister atau selongsong gas air mata menjadi barang bukti yang dipungut dari halaman rumah dan gang. Ada yang berbahan plastik warna merah, ada yang berbahan logam mirip alumunium.

Kecemasan masih meriap di mana-mana. Pasar ditutup, anak-anak tidak bersekolah.

Pada Rabu, 16 Agustus 2023, warga mulai beraktivitas seperti biasa, meski lebih waspada terhadap kemunculan orang-orang luar kampung tak dikenal. Kegiatan niaga di Pasar Terminal Dago berjalan lagi. Sebagian anak-anak sudah berani bersekolah. Para pemuda dan aliansi solidaritas berusaha mengatasi trauma psikis anak-anak dengan mengajak mereka bermain cerita boneka dan menggambar.

Di beberapa sudut kampung, kerumunan warga masih saja membicarakan peristiwa mengerikan yang menimpa kampung mereka. Peristiwa yang tak mungkin begitu saja hilang dari ingatan.

Dinding salah satu rumah warga Dago Elos dengan poster berisi pernyataan sikap terhadap keluarga Muller yang mengklaim kepemilikan lahan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Menyisakan Trauma

"Nenek jangan keluar, nanti ketembak. Ibu jangan keluar, di sini aja, nanti ibu sama dede bayi ketembak," ucap bocah perempuan berusia tujuh tahun sebagaimana dituturkan ulang oleh sang ibu, Ros.

Malam itu, ketika polisi mengepung kampung, Ros dan anak-anaknya meringkuk ketakutan di dalam rumah. Mereka tidak bisa tidur lagi akibat suara-suara ledakan seperti petasan dan teriakan-teriakan kasar aparat. “Mencekam sekali! Anak-anak nangis terus," kenangnya.

Handi (33 tahun) memiliki dua anak yang juga mengalami trauma. Si bungsu yang berumur enam tahun bahkan menangis setiap kali melihat video-video kerusuhan Dago Elos yang viral di media sosial. Ketika sang ayah menceritakan kronologi kejadian kepada orang lain, dia serta-merta berlari ke dalam rumah sambil menangis.

Malam itu para polisi berteriak-teriak dengan kata-kata kasar dan penuh ancaman, sebelum masuk ke teras rumah Handi. Mereka mencari orang-orang yang dituduh perusuh, dan menuduh keluarga Handi menyembunyikannya.

"Saat itulah anak saya mengintip dari jendela. Karena ketakutan, ia sembunyi di balik pintu. Pintu itulah yang lalu didobrak oleh polisi hingga anak saya luka dan mengalami trauma," tuturnya.

Sudah 78 tahun usia Republik ini, tapi ratusan warga di Dago Elos dan Cirapuhan justru kian jauh dari kata merdeka. Kekalahan di Peninjauan Kembali Mahkamah Agung membuat mereka sewaktu-waktu bisa kehilangan tanah, kehilangan rumah, kehilangan kampung, kehilangan semua sejarah yang sudah berpuluh-puluh tahun mereka tanam di sana.  

Betapa ironis! Sudah terancam tergusur, warga Dago Elos harus mengalami intimidasi dan kekerasan fisik oleh aparat negara yang seharusnya menjadi pengayom dan pemberi rasa aman bagi masyarakat. Setelah polisi mengepung kampung, yang tersisa hanyalah trauma.

Foto dan teks: Prima Mulia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//