• Nusantara
  • Catatan Akhir Tahun KPA: Konflik Agraria Melonjak akibat Proyek Strategis Nasional

Catatan Akhir Tahun KPA: Konflik Agraria Melonjak akibat Proyek Strategis Nasional

Jawa Barat menjadi salah satu wilayah dengan jumlah konflik agraria terbanyak. Peningkatan letusan konflik agraria sebagian besar dipicu Proyek Strategis Nasional.

Proses pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung, di Kabupaten Bandung, Selasa (12/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen9 Januari 2022


BandungBergerak.idCatatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan, sepanjang 2021 dari 52 kasus konflik agraria di sektor infrastruktur, 38 kasus di antaranya disebabkan proyek strategis nasional (PSN). Angka ini melonjak 123 persen dari tahun sebelumnya. Pemicunya adalah target percepatan eksekusi proyek yang ditopang oleh regulasi pemerintah.

"Jenis pembangunan infrastruktur penyebab konflik dimulai dari pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol, bendungan, pelabuhan, kereta api, kawasan industri, pariwisata, hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK)," ujar Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun 2021 KPA, Kamis (6/1/2022).

Sementara proyek strategis nasional di sektor properti terjadi 40 kasus konflik agraria dengan luas 11.466 hektar. Jika dikaitkan dengan target pemerintah mengenai luasan pengadaan tanah di 2021, maka luas lahan konflik 11 ribu ini mencapai 41 persen dari total luasan tanah yang dibutuhkan PSN. Artinya, proses pengadaan, pembebasan tanah, dan ganti kerugian yang sudah sudah dilakukan pemerintah mencapai 41 persen ini keseluruhannya mengalami konflik agraria.

Dewi mengatakan, Presiden Jokowi seperti menggelar karpet merah bagi penggusuran besar-besaran. Berbagai regulasi dirancang untuk memudahkan proses pengadaan dan pembebasan tanah, yang berujung pada praktik perampasan tanah warga. Salah satunya dengan melabeli proyek-proyek tersebut sebagai kepentingan umum, yang rupanya pengusaha besar dan perusahaan multinasional berada di baliknya.

"Problem utamanya adalah tanah-tanah yang menjadi target pengadaan tanah untuk, tanda kutip, kepentingan umum infrastruktur, tersebut tumpang tindih dengan tanah dan lahan pertanian masyarakat," kata Dewi.

207 Letupan Kasus di 32 Provinsi

Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap selama 2021 pihaknya mencatat terjadi 207 kasus letusan konflik agraria yang bersifat struktural. Ratusan konflik itu berlangsung di 32 provinsi dan tersebar di 507 desa dan kota. Konflik ini berdampak pada 198.895 kepala keluarga (KK) dengan luasan tanah berkonflik seluas 500.062 hektar.

"Dari sisi jumlah, memang ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 241," ungkap Dewi Sartika.

Meski secara jumlah kasus menurun, kata Dewi, laporan KPA mencatat terjadi kenaikan konflik agraria yang sangat signifikan di sektor pembangunan infrastruktur. Kenaikan itu sebesar 73 persen.

Selain sektor pembangunan infrastruktur, kenaikan jumlah kasus juga terjadi pada sektor pertambangan. Jumlah kenaikan itu mencapai 167 persen. Dewi menyebut kenaikan angka ini sangat drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dewi menambahkan, kenaikan signifikan juga terjadi pada jumlah korban terdampak. Di tahun 2021 terdapat 198.859 KK yang menjadi korban, angka ini jauh dibanding tahun 2020 yang berjumlah 135.337 KK.

Menurut Dewi, jika diakumulasi, sepanjang dua tahun pandemi, telah terjadi 448 peristiwa konflik agraria di 902 kampung dan desa di Indonesia. Jika dihitung setiap bulannya, maka rata-rata, ada 18 letusan konflik terjadi di setiap bulannya.

“Artinya, ini menunjukan bahwa konflik agraria terjadi semakin masuk ke wilayah-wilayah permukiman padat, ke wilayah masyarakat bermukim, di mana masyarakat telah menguasai, mengusahakan dan mengelola tanah," ungkapnya.

Terbanyak Ada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Riau

Merujuk pada catatan akhir tahun KPA, Jawa Timur menduduki peringkat pertama provinsi dengan jumlah konflik agraria terbanyak. Setidaknya terdapat 30 kejadian konflik agraria dengan luas lahan yang disengketakan mencapai 54.573 hektar terjadi di Jawa Timur.

Disusul dengan provinsi Jawa Barat dengan 17 kejadian konflik. Letusan konflik tersebut terjadi di atas lahan seluas 8597,834 hektar. Di posisi ketiga, Provinsi Riau menduduki kejadian sebanyak 16 konflik seluas 21.564,55 hektar dan mengorbankan 359 KK.

Peningkatan pesat letusan konflik agraria di tiga provinsi ini sebagian besarnya disebabkan oleh proyek pembangunan infrastruktur dan kawasan industri melalui proyek strategis nasional yang dirancang Presiden Joko Widodo.

PSN di Jawa Timur:

  • Pembangunan tol Kediri-Kertosono;
  • Tol Tulungagung-Kediri;
  • Pembangunan Tol Ring Road Sukodadi yang tersambung dengan Bandara Kediri;
  • Pembangunan KEK JIIPE di Gresik, dan pembangunan bendungan Semantok.

PSN di Jawa Barat:

  • Pembangunan Tol Jakarta-Cikampek II;
  • Tol Cisumdawu;
  • Tol Cimanggis-Cibitung;
  • Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung;
  • Pembangunan MNC Lido City di Kabupaten Bogor dan Sukabumi.

PSN di Riau:

  • Konflik agraria di kehutanan dengan lima kasus, dan akibat pembangunan infrastruktur satu kasus.

Pelaku Kekerasan Didominasi Polri

Kasus kriminalisasi terhadap pembela hak atas tanah meliputi petani, masyarakat adat, aktivis, sepanjang 2021 terjadi 150 kasus. Sementara untuk korban penganiayaan fisik sebanyak 51 kasus. Dialami oleh 44 laki-laki dan 7 perempuan.

“Ada dua kasus penembakan. Dan sepanjang tahun 2021 ada tiga orang yang tewas,” ungkap Dewi.

Dewi mengatakan kekerasan yang tinggi ini menunjukkan tidak ada cara baru dalam menyelesaikan konflik agraria. Hal ini terjadi karena masih melibatkan TNI-Polri untuk menangani konflik. Tak heran, merujuk catatan KPA, kepolisian jadi pelaku kekerasan terbanyak di konflik-konflik agraria dengan laporan 33 kasus, yakni sebanyak 68 persen pada 2021.

Kemudian disusul dengan preman dan satuan pengaman (Satpam) swasta yang dibayar menjadi pelaku kekerasan terbanyak kedua. Sedangkan, TNI dan Satpol PP menduduki posisi ketiga.

Sejauh ini memang kepolisian masih terlibat dalam cara-cara represif dalam penanganan konflik agraria. Meskipun di tahun 2021 ada banyak komitmen yang disampaikan secara politik oleh presiden dan kapolri di banyak kesempatan bahwa dalam penyelesaian konflik agraria kepolisian akan mendukung dan memberikan perlindungan,” kata Dewi.

Dewi menyebut hal ini berkaitan dengan proyek PSN yang ambisius. Dalam catatanya, PSN berjalan dalam proses yang terburu-buru, tidak transparan dan partisipatif, serta abai dalam menghormati dan melindungi hak konstitusional warga terdampak.

Instruksi Presiden Jokowi pada awal Desember lalu, misalnya, yang meminta Polri untuk mengawal investasi dan mengancam pemecatan bagi polisi yang gagal melaksanakannya. Hal ini menunjukan tidak adanya komitmen terhadap perlindungan dalam konflik agraria.

Rekomendasi KPA

Pada akhir catatanya, KPA menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah, yakni:

Pertama, terhadap konflik agraria diperlukan cara-cara baru dalam penangananya. Realisasi penyelesaian sengketa agraria yang bersifat struktural dan lintas sektor setidaknya membutuhkan: terobosan, kecepatan, ketepatan, dan kepemimpinan.

Kedua, terhadap obral tanah harus ada pelurusan dan tindakan koreksi, selanjutnya presiden harus memenuhi janji dan kebijakannya mengenai reforma agraria secara penuh dan konsekuen. Reforma agraria yang genuine yang sesuai tujuannya, hanya dapat dieksekusi melalui revisi perpres reforma agraria.

Ketiga, terhadap mafia tanah, tata cara dan fokus pemberantasan mafia tanah harus diluruskan, praktik mafia bukan sekedar masalah maladministrasi atau pidana biasa, harus berkorelasi dengan pembongkaran jaringan mafia dalam kasu-kasus konflik agraria struktural.

Keempat, terhadap bank tanah, pemerintah menganulir pembentukan bank tanah demi menegakan konstitusi. Pembatalan badan baru ini juga menjadi urgen sebab cara kerja dan kewenangan bank tanah bersifat kontra reforma agraria, lebih-lebih kontra konstitusi dan UUPA.

Kelima, terhadap orientasi hukum agraria kolonial, secara substansial harus kembali ke Pancasila, UUD 1944 dan UUPA 1960.

Maladministrasi Agraria

Agraria juga menjadi perkara yang mendominasi laporan masyarakat ke Ombudsman RI  Perwakilan Provinsi Jawa Barat sepanjang 2021. Dari 3 besar jenis laporan masyarakat, bidang agraria menempati porsi paling besar yaitu 26 persen laporan, disusul oleh subtansi kepolisian sebesar 15 persen, dan subtansi pendidikan sebesar 9 persen.

Sedangkan kategorisasi dugaan maladministrasi yang dilaporkan yaitu sebanyak 38,67 persen mengeluhkan penundaan berlarut (undue delay) dalam pemberian pelayanan, selanjutnya sebanyak 18,67 persen masyarakat mengeluhkan penyelenggara pelayanan yang tidak memberikan pelayanan, dan sebanyak 12 persen mengeluhkan dugaan penyimpangan prosedur, di samping itu terdapat berbagai bentuk maladministrasi lainnya yang jumlahnya kecil.

“Berdasarkan data yang ada bahwa lebih dari setengah kasus yang dilaporkan tersebut yakni sebesar 58 persen, sudah mendapatkan penyelesaian dari Perwakilan Ombudsman Republik Provinsi Jawa Barat,” kata Asisten Muda, Kepala Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, Noer Adhe Purnama, dalam siaran persnya, Rabu (6/1/2021).

Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat menyoroti permasalahan pengelolaan aset negara yang masih terdapat sengketa antara pemerintah dan masyarakat. Penyebabnya meliputi asepk administrasi, fisik aset, dan hukum.

“Data yang ada menunjukkan bahwa dalam tahap administrasi ini, potensi maladministrasi yang sering kali timbul, dikarenakan kebanyakan instansi penyelenggara pelayanan publik tidak “clear” melakukan tahapan demi tahapan pada aspek administrasi, asal penting tercatat sebagai pengelola Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD), namun tidak dilanjutkan kepada tahapan pendaftaran hak yaitu sertifikasi lahan,” paparnya.

Hal tersebut dinilai rawan sengketa karena berpotensi menimbulkan gugatan hukum di kemudian hari. Setelah muncul gugatan, pihak instansi baru menyadari hal ini dan melakukan pendaftaran hak atas lahan untuk memperoleh sertifikasi.

Pada aspek fisik, Noer Adhe Purnama menyatakan, potensi maladministrasi terjadi pada penurunan fungsi aset, dan bahkan hilangnya aset. Contohnya, BMN/BMD tersebut telah tercatat atau telah dilakukan penatausahaan aset sejak tahun 1956, kemudian tercatat sebagai pengelola BMN tersebut pada tahun 2021, namun di sisi lain, pada tahun 1999 telah terbit Sertifikat Hak Milik atas nama masyarakat umum.

“Hal yang menjadi pertanyaan, di mana tanggung jawab instansi penyelenggara pelayanan publik tersebut selama ini dalam rangka mempertahankan atau mengembalikan aset BMN tersebut kepada negara?” ungkapnya.

Pada aspek hukum, instansi pemerintahan agar melakukan tata kelola aset secara baik dan benar sesuai prinsip-prinsip pengelolaan yang di atur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Bahwa dalam prakteknya, masyarakat yang mengeluhkan keberatan terhadap sengketa aset dengan pemerintah ini sebagian besar disebabkan karena adanya ketidakpastian penyelesaian dan penundaan berlarut (undue delay) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum/administratif terhadap pelayanan yang diberikan,” urainya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//