• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mengenal Kesusastraan Sunda dalam Sudut Kontemporer

MAHASISWA BERSUARA: Mengenal Kesusastraan Sunda dalam Sudut Kontemporer

Identitas budaya juga cukup dipertaruhkan dengan bercampurnya tradisi dan modernisasi dalam sastra Sunda kontemporer.

Deidra Maharani Rizqita

Mahasiswi Sastra Inggris di Bandung

Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

28 September 2025


BandungBergerak.id – Kesusastraan Sunda adalah cerminan warisan budaya masyarakat Sunda yang sudah mengakar berabad-abad lamanya. Ia menjadi bukti identitas diri etnis Sunda yang sudah ada di Indonesia sejak dulu. Sastra tidak hanya menjadi budaya, namun juga sudah menjadi sejarah dan karakter yang tertanam dalam masyarakat Sunda. Sastra Sunda yang terus hidup dan berkembang sebagai sastra Sunda kontemporer menjadi bukti nyata kelestarian budaya Sunda dalam arus modernisasi.

Transformasi sastra Sunda kuno ke modern tentunya banyak dipengaruhi oleh budaya Eropa yang masuk saat Belanda menjajah Indonesia. Bentuk karya sastra Sunda klasik lambat laun ikut berubah menyesuaikan perubahan sosial dan budaya yang dibawa oleh Eropa. Hal itu tentu saja banyak membawa dampak perubahan. Karya-karya klasik milik Ajip Rosidi lebih banyak menonjolkan karakter dan nilai-nilai luhur masyarakat Sunda, sedangkan karya-karya modern saat ini banyak dipengaruhi perspektif baru yang lebih sejalan dengan masyarakat modern. Pada esai kali ini, saya lebih berfokus pada analisa bagaimana tradisi dan modernitas berdampak pada karya-karya sastra Sunda dan bagaimana pembentukan identitas budaya masyarakat Sunda itu sendiri.

Wawacan adalah salah satu bentuk karya sastra Sunda klasik sebelum masyarakat Sunda mengenal bentuk penulisan prosa. Menurut Rosidi (2011, hal. 11), wawacan asalnya dari kata “waca” atau “baca” yang artinya segala yang dibaca atau biasa dibaca. Oleh karena itu, karena wawacan merupakan segala yang bisa dibaca, maka harus ada wujud tertulis untuk dibaca. Wawacan merupakan tradisi tertulis yang dibaca dan ditembangkan dalam bentuk pupuh. Wawacan pada zaman itu disusun dalam bentuk puisi atau menggunakan aturan pupuh dan biasanya dinyanyikan secara bergiliran dalam acara tertentu. Selain dari segi struktur, wawacan memiliki nilai-nilai budaya Sunda yang kuat, salah satunya adalah nilai etnopedagogik. Di dalam etnopedagogik Sunda bisa memperlihatkan catur jati diri insan sebagai manusia yang unggul. Untuk menjadi seorang manusia yang unggul, maka harus mempunyai moral manusia Sunda yang baik pula.

Dalam sastra Sunda kontemporer, karya-karya yang berkembang sudah memakai bentuk penulisan prosa seperti carpon atau novel. Karya sastranya sering kali mengeksplorasi tema atau gaya baru yang lebih modern seperti perubahan sosial, globalisasi, urbanisasi, ataupun politik, dengan tetap memadukan unsur-unsur tradisional seperti mitos, nilai adat, dan cerita rakyat yang populer pada sastra Sunda klasik. Sastra Sunda kontemporer ini menghasilkan karya sastra yang tetap melestarikan akar budaya dengan tetap menggunakan bahasa Sunda klasik dalam karyanya, namun tetap beradaptasi dengan menggunakan teknologi dengan tujuan menjangkau pembaca yang lebih luas, terutama generasi muda.

Baca Juga: Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda
Si Paling Nyunda, Absurditas Aksara Sunda Baku dan Jejak Nahas Gerak Politik Orang Sunda
Renaisans Sastra Sunda dan Ajip Rosidi

Analisis Karya: Wawacan Simbar Kencana dan Novel Deng

Wawacan Simbar Kencana karya K. Tisnasujana yang diterbitkan tahun 1983 ini menceritakan tentang kehidupan Simbar Kencana sebagai anak bungsu Raja Kerajaan Talaga. Dia memiliki saudara laki-laki bernama Raden Panglurah yang sudah dipersiapkan untuk menjadi calon raja menggantikan ayahnya. Namun, ia memiliki suami yang culas dan ingin menguasai kerajaan, sehingga suami Simbar Kencana membuat rencana untuk membunuh Raja Talaga. Marah mengetahui rencana jahat sang suami, Simbar Kencana membunuh suaminya sebagai pembalasan dari kematian raja. Namun, setelah membalas perbuatan suaminya, ia mendapati dirinya terkena kutukan penyakit kulit. Penyakit itu akhirnya bisa disembuhkan ketika sang putri membuat sayembara; siapa pun yang bisa menyembuhkannya akan ia jadikan suami. Akhirnya, seorang pemuda bernama Ajar Kutamangu berhasil mengobati penyakit Simbar Kencana dan menjadi suaminya.

Dalam analisis unsur-unsur budayanya, Wawacan Simbar Kencana menggunakan teori Koentjaraningrat (1985, hal. 2) yang terdiri dari: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.

Sistem religi yang ada di Wawacan Simbar Kencana terdapat pada istilah “Yang Maha Agung”, “kitab”, “wudu”, dan “dzuhur”. Dari istilah-istilah tersebut dapat diketahui bahwa ada ajaran agama Islam.

Organisasi kemasyarakatan yang ada di Wawacan Simbar Kencana dapat dilihat dari lingkungan kerajaan, di mana ada istilah-istilah pemerintahan kerajaan seperti raja dan ratu.

Ilmu pengetahuan yang terdapat dalam Wawacan Simbar Kencana yaitu adanya pengetahuan tentang alam, tumbuhan, ilmu hitung-hitungan, warna, bagian tubuh manusia, kata bilangan, dan nama penyakit.

Dari analisis unsur kebudayaan Wawacan Simbar Kencana ini, dapat dilihat bahwa gaya cerita dan tema yang diambil masih sangat kental dengan tradisi Sunda.

Selanjutnya, novel berjudul Deng karya Godi Suwarna yang terbit pada tahun 2009 ini adalah salah satu contoh karya sastra Sunda kontemporer. Seperti yang sudah dijelaskan, isi novel ini dihadirkan dengan tetap mengaitkan mitos dan tradisi, namun juga dipadukan dengan masalah sosial yang ada di masyarakat modern. Dalam novel Deng, mitos yang dihadirkan adalah cerita rakyat Sangkuriang dan Lutung Kasarung, dengan tema yang diambil adalah isu sosial pada era Orde Baru. Kaitan keduanya dalam novel ini terlihat dari:

  1. Pribadi dan alur cerita tokoh utama, yaitu Si Ujang, tercipta dari Sangkuriang dan Lutung Kasarung itu sendiri. Bukti dari kesamaan itu dapat dilihat dari tokoh Si Ujang yang mencintai Si Ema sebagaimana Sangkuriang mencintai Dayang Sumbi, dan aktualisasi dari Lutung Kasarung yang mengagumi Sunan Ambu.
  2. Apabila mitos menghadirkan cara untuk melihat hubungan masyarakat dengan kerajaan, novel Deng menghadirkan cara untuk melihat hubungan masyarakat dengan pemerintahan pada era itu, yaitu saat Orde Baru.

Cara pengarang, Godi Suwarna, mencampurkan mitos dengan realitas yang berkembang di masyarakat modern menunjukkan bahwa ia berhasil mengeksplorasi serta menciptakan karya yang tidak hanya terpaku pada perubahan zaman, tapi juga tetap mempertahankan nilai budaya luhur.

Dampak Modernitas pada Identitas Budaya: Sebuah Peluang atau Ancaman?

Selain membawa pengaruh besar terhadap tema, gaya, dan penulisan dari sastra Sunda, modernitas juga mendorong adanya platform digital seperti e-book atau media sosial sebagai penyebaran sastra Sunda. Selain memberikan peluang untuk memperluas budaya Sunda kepada masyarakat lebih luas, hal ini juga dapat berdampak pada hilangnya keintiman tradisional dalam konsumsi karya sastra.

Identitas budaya juga cukup dipertaruhkan dengan bercampurnya tradisi dan modernisasi dalam sastra Sunda kontemporer. Jika dieksekusi dengan baik dan benar, kedua elemen ini tentu mampu memperkaya dan memperkuat identitas masyarakat Sunda. Namun, jika tidak dijaga dengan baik, besar risiko akan hilangnya ciri khas tradisi Sunda karena modernisasi yang terlalu mendominasi dan tergantikan oleh budaya global. Maka dari itu, penting sekali untuk menjaga keseimbangan antara mengikuti perubahan zaman dan tetap menjaga identitas masyarakat Sunda.

Dari analisis karya Sunda klasik dan kontemporer, bisa dilihat bahwa sastra Sunda dapat berkembang cukup baik. Meskipun modernisasi membawa banyak tantangan, tetapi juga menjadi peluang merevitalisasi tradisi Sunda yang ada dan memperluasnya dengan cara yang kreatif. Untuk itu, upaya kita semua dalam menjaga kesinergisan dan keseimbangan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa sastra Sunda akan tetap hidup, berkembang, dan tidak hilang terbawa arus.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//