Renaisans Sastra Sunda dan Ajip Rosidi
Hilangnya tradisi para pengarang muda mendiskusikan karya-karya kanon sastra Sunda sudah menjadi penanda hilangnya tradisi penting dalam ekosistem sastra: kritik.

Salehudin
Dosen ISBI Bandung.
27 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Seperti dipahami banyak orang, renaisans dimaknai sebagai masa kebangkitan setelah melewati labirin kegelapan. Nun di Eropa sana, tempat awal mula renaisans lahir, masa ini ditandai dengan perkembangan sastra, seni, teknologi, ekonomi, hingga penemuan kembali teks-teks filsafat Yunani Kuno. Memang demikian, secara bahasa, renaissance –diambil dari bahasa Perancis– berarti terlahir kembali yang berakar dari bahasa latin “renaitre” yang berarti “hidup kembali” atau “lahir kembali”. Renaisans dengan visi humanismenya menuntun peradaban keluar dari kemelut kejumudan.
Istilah renaisans kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Bahkan lebih dari itu, kini, istilah renaisans dipakai bukan hanya merujuk pada abad ke-14 hingga ke-17 Masehi, namun dipakai pada banyak hal yang memiliki tarikan nafas “terlahir kembali”. Setiap kali sebuah masa kegelapan diakhiri dan dimulai masa perkembangan gemilang maka kerap disebut sebagai masa renaisans.
Tahun lalu bendungan Sungai Nil di Ethiopia dinyatakan telah selesai. Meskipun pertama kali dibangun pada tahun 2011 (bukan pada ke-14), bendungan ini diberi nama The Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) atau Bendungan Renaisans Besar Etiopia. Contoh lain, pada akhir tahun lalu Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, menulis dengan nada berapi-api di harian The Japan Times dengan judul “ASEAN's Second Renaissance is Now”. Dalam tulisannya tersebut ia dengan mantap meyakini bahwa di bawah komando Malaysia “renaisans yang kedua” ASEAN berada di depan mata. Renaisans ditafsiri sebagai gapura bagi masa-masa terang benderang.
Sastra memiliki peran penting bagi lahirnya Renaisans. Di periode ini hidup dan lahir sastrawan-sastrawan besar dunia; Dante Alighieri, Francesco Petrarcha, Niccolò Machiavelli, hingga William Shakespeare yang menginspirasi banyak orang. Dalam khazanah Sastra Sunda, sejarah sastra atau periodisasi sastra memiliki beberapa versi, mulai dari versi R. I. Adiwidjaja, M. A. Salmun, hingga Ajip Rosidi. Tentu saja ketiganya memandang periodisasi Sastra Sunda dari sudut pandang yang berbeda. Penulis tidak akan terlalu mengomentari perbedaan periodisasi di antara para inohong Sunda di atas. Dalam tulisan ini akan lebih diketengahkan perihal bagaimana renaisans dalam kesusastraan Sunda, terutama dalam pandangan Ajip Rosidi.
Ajip dalam beberapa tulisannya sering kali menyebut bahwa pada masanyalah sastra Sunda mengalami masa renaisans. Agaknya hal inilah yang melandasi penelitian buku Teddi Muhtadin (2020) yang berjudul “Renaisans Sunda: Fungsi Sosial Kritik Sastra Sunda Ajip Rosidi”. Dalam periodisasi sastra Sunda yang disusun Ajip, ia menulis periode Jaman Kiwari (pasca-merdeka) sebagai masa renaisans Sastra Sunda. Ajip menyebut sebagai masa hudangna deui jiwa jembar Sunda (bangunnya kembali jiwa Sunda yang luas). Dalam pembabakan sastra Sunda yang ia susun terdapat Jaman Buhun dan Jaman Kamari, sebelum masa yang ketiga yaitu Jaman Kiwari.
Namun hal ini pernah digugat oleh Cecep Burdansyah, ia berargumen mestinya renaisans diikuti oleh masa perkembangan yang lebih bagus. Sastra Sunda mestinya lebih gemilang selepas ditinggalkan Ajip. Namun faktanya saat ini keadaan sastra Sunda sebaliknya. Cecep bahkan tak sungkan dengan menyebut keadaan sastra Sunda hari ini sebagai zaman kegelapan. Kritik ini ia sampaikan saat menjadi pemantik pada diskusi “Membangkitkan Pemikiran-pemikiran Ajip Rosidi” yang digelar bertepatan dengan pengumuman pemenang Hadiah Sastra Rancagé tahun 2024 di Perpustakaan Ajip Rosidi. Dalam acara ini dibahas buku Teddi Muhtadin di atas tentang Renaisans Sunda.
Baca Juga: Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda
Si Paling Nyunda, Absurditas Aksara Sunda Baku dan Jejak Nahas Gerak Politik Orang Sunda
Cerpen Anggota Dewan Ngagantung Maneh Karya Hidayat Soesanto Meraih Hadiah Sastera Rancage 2025
Kualitas Sastra Sunda
Perbedaan dalam memandang kualitas sastra, terutama dalam sastra Sunda, bukanlah yang pertama. Ketika Ajip mengumpulkan karya-karya sastra Sunda setelah perang (Kanjutkundang, 1959) telah terjadi silang sengkarut antara dua kelompok yang memiliki pandangan saling bertolak belakang. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ajip dalam pengantar buku tersebut, kelompok pertama menganggap keadaan sastra Sunda pada waktu itu (pascaperang-1959) terjadi kemunduran atau ngalanglayung. Kelompok kedua memiliki pandangan sebaliknya, bahwa sastra Sunda saat itu tak ubahnya waktu fajar menjelang siang. Tidak mendung seperti yang dibayangkan kelompok pertama. Jika dulu perdebatan ini ditengarai oleh M. A. Salmun versus Achadiat, meski tidak persis sama, perbedaan pendapat itu mengemuka di diskusi siang itu antara Teddi (atau setidak-tidaknya bukunya Teddi) dengan Cecep Burdansyah.
Setidaknya, memang tidak banyak karya sastra Sunda akhir-akhir ini yang berani mengguncang kesadaran atau mengundang perdebatan hingga memicu tafsir panjang dalam khazanah kesusastraan Sunda. Hal ini sebenarnya pernah dikeluhkan oleh Usep Romli. Saking muaknya dengan kualitas yang jajar pasar (baca: biasa-biasa saja) ia pernah meminta para pengarang muda berhenti menulis sementara dan lebih banyak membaca. Usep mengkritik keras kualitas karya Sastra, terutama carpon. Jika pun sangkaan di atas sangat subjektif tapi hilangnya tradisi pengarang-pengarang muda mendiskusikan karya-karya kanon sastra Sunda sudah menjadi penanda hilangnya tradisi penting dalam ekosistem sastra: kritik. Kita kerap terlena dengan gegap gempita media sosial.
Faktanya hingga hari ini tidak ada tokoh dalam khazanah sastra Sunda sebesar dan seunik Ajip Rosidi. Ia dengan tekun dan tabah menapaki jalan kesusastraan daerah. Jika saja Ajip berpikir pragmatis tentu saja ia akan betah dengan memilih hidup dalam dunia kesusastraan Indonesia, namanya tidak kalah besar dalam payung sastra Indonesia. Seperti yang Ajip utarakan, hanya rasa cinta terhadap bahasa Sundalah yang mendorong dia (dan para pengarang muda waktu itu) menulis dalam bahasa Sunda: samanéhnaeun mah loba rugina mana untungna “untuk dirinya sendiri lebih banyak rugi daripada untungnya (dibanding ketika menulis berbahasa Indonesia)”. Jadi apakah hari ini masa kegelapan atau terang benderang setelah renaisans zaman Ajip? barangkali kita harus mengheningkan cipta sejenak untuk bisa menengok gambaran khazanah sastra Sunda akhir-akhir ini.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB