• Berita
  • Cerpen Anggota Dewan Ngagantung Maneh Karya Hidayat Soesanto Meraih Hadiah Sastera Rancage 2025

Cerpen Anggota Dewan Ngagantung Maneh Karya Hidayat Soesanto Meraih Hadiah Sastera Rancage 2025

Dewan Juri Hadiah Sastera Rancage menemukan persoalan sastra berbahasa daerah harus bergelut dengan kualitas, kuantitas, penerus atau regenerasi, dan pembaca.

Diskusi dan pengumuman pemenang Hadiah Sastera Rancagé 2024 di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Kota Bandung. Jumat, 31 Januari 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah1 Februari 2025


BandungBergerak.id - Kumpulan cerita pendek (carita pondok/carpon) berjudul Anggota Dewan Ngagantung Maneh karya Hidayat Soesanto meraih Hadiah Sastera Rancage 2025. Pengumuman ajang penghargaan untuk sastra berbahasa daerah tahunan ini dilakukan di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Bandung, Jumat, 31 Januari 2025. 

Carpon Anggota Dewan Ngagantung Maneh merupakan buku terbitan Geger Sunten, Bandung, tahun 2024. Karya fiksi ini mendapatkan Hadiah Sastera Rancage 2025 untuk kategori Sastra Sunda. Selain sastra Sunda, juri Hadiah Sastera Rancage 2025 juga mengumumkan hadiah serupa untuk Sastra Jawa yang dimenangkan antologi puisi berjudul Dalan SIdhantan (Persimpangan Jalan) karya Sri Emyani, Sastra Bali dimenangkan Komang Sunja dengan kumpulan puisi Renganis, dan Sastra Batak dimenangkan  kumpulan cerpen karya Panusunan Simanjutak berjudul Perhuta-Huta Do Hani

Dewan juri mencatat, Hadiah Sastera Rancage ke-37 kali ini diberikan kepada sastrawan dari lima daerah yang memenuhi kriteria, yakni Sunda, Jawa, Bali, Batak, dan Lampung. Sementara, Sastra Madura dan Banjar belum memenuhi kriteria tahun ini. Selain memberikan hadiah sastra, penghargaan jasa Sastra Sunda diberikan pada sastrawan sekaligus wartawan senior Us Tiarsa.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, tidak ada Hadiah Sastra Samsudi atau penghargaan penulis buku bacaan anak berbahasa Sunda. Tahun ini juri menilai 54 judul karya untuk Hadiah Sastera Rancage 2025 yaitu, 16 karya judul sastra Sunda, 17 judul karya sastra Jawa, 14 judul karya sastra Bali, 4 judul karya sastra Batak, dan 3 Judul karya sastra Lampung.

“Para pemenang Hadiah Rancage dan penghargaan jasa akan mendapatkan penghargaan berupa piagam, dan uang tua sebesar 7.500.000,00 juta rupiah,” ujar Ketua I Yayasan Kebudayaan Rancage Etti RS.

Persoalan Sastra Daerah

Persoalan sastra daerah masih berkutat dengan persoalan regenerasi penulis dan pembaca, ditambah jumlah penerbit serta media yang belum begitu banyak. Etti RS mengatakan, pihaknya akan melakukan inovasi riset dan kemajuan digitalisasi untuk menjaga sastra daerah agar tetap eksis selain memberikan secara konsisten Hadiah Sastra Rancage setiap tahunnya.

“Jadi nanti Rancage, Insya Allah akan melakukan risetlah semacam analisa pasar, untuk diolah. Seperti misalnya mahasiswa, bukan hanya karena tugas dari dosen, tetapi dengan kesadarannya sendiri membaca,” kata Etti.

Tidak hanya itu, Yayasan Kebudayaan Rancage juga tetap melakukan kegiatannya seperti diskusi buku, Konferensi Internasional Budaya Sunda yang dilakukan sejak zaman budayawan Sunda Ajip Rosidi, dan Kongres Bahasa Daerah Nusantara.

Dalam kemajuan digital, Etti menyebut saat ini tengah menyusun Rancagepedia, semacam entri ensiklopedia online berkaitan dengan sastra-sastra daerah yang pernah mendapatkan hadiah sastra Rancage.

Baca Juga: Hadiah Sastra Rancage Mengandung Kritik terhadap Kegagalan Sistem Pendidikan Nasional
Unpas akan Menjadi Tuan Rumah Penyerahan Hadiah Sastra Rancagé
Pengumuman Hadiah Sastera Rancage 2024, Jumlah Penulis Buku Anak Sunda dan Sastra Daerah Berkurang?

View this post on Instagram

A post shared by Rancage (@yayasanrancage)

Buku Digital

Menyoal regenerasi, Etti menuturkan, saat ini penulis sastra daerah masih berkutat pada generasi tua, meski begitu generasi muda juga bermunculan. Hal ini terlihat pada geliat sastra Bali yang disokong langsung oleh pemerintah daerah sehingga  bahasa daerah terjaga.

Secara kuantitas sastra daerah begitu banyak, akan tetapi menyebut secara kualitas justru menurun. Ke depan dewan juri Hadiah Sastera Rancage tidak hanya menilai karya sastra berbentuk buku fisik tetapi juga buku digital.

Hal yang sama disoroti juga oleh salah seorang juri Hadiah Sastra Rancage kategori Sastra Sunda, Teddi Muhtadin. Menurutnya, khazanah sastra Sunda tidak menghadapi masalah regenerasi. Sebagai contoh, Abdullah Mustoppa merupakan generasi tua yang memenangkan Hadiah Sastera Rancage 2024. Ia masih terus berkarya. Di saat yang sama, generasi muda terus bemunculan dengan ragam tema serta suasana karya. 

Meski demikian, Teddi menilai, dalam segi kualitas sastra Sunda harus membuat perencanaan matang terutama berkaitan dengan penerbitan buku yang masih ditemukan masalah teknis seperti salah cetak, salah tulis, dan salah ejaan.

“Hal-hal itu untuk buku sastra saya kira fatal. Seharusnya sudah selesai dari hal-hal seperti yang terjadi. Itu masih terjadi. Itu yang saya sesalkan di terbitan ini. Hampir semua, bahkan yang menang juga masih ada,” terang Teddi.

Krisis Sastra Batak

Lain halnya dengan kondisi sastra Batak sebagaimana diceritakan oleh pemenang Hadiah Sastera Rancage 2011 dan 2023, Saut Poltak Tambunan bahwa regenerasi sastra Batak sangat sulit. Para penulis muda belum bermunculan.

Dalam sepuluh tahun terakhir penyelenggaraan Hadiah Rancage dari sejak pandemi Covid-19, Sastra Batak sempat absen tiga kali. Dalam Hadiah Sastera Rancage ke-37 ini, nominasi sastra Batak berusia 70 tahun ke atas dan kondisinya penikmatnya bisa jadi di usia yang sama.

“Sudah tiga kali sastra Batak hilang dari panggung ini (Hadiah Sastera Rancage). Jadi, saya harus bersalah betul dengan kang Ajip Rosidi yang meminta saya tanggung jawab sastra Batak harus ada di Hadiah Rancage. Tahun ini Sastra Batak ikut lagi tapi yang buat saya sedih adalah bahwa tahun ini adalah seorang yang berumur lama 83 tahun, 76 tahun, dan 73 tahun,” jelas Saut.

Saut menegaskan, ke depan ia akan terus mendampingi generasi muda menjaga sastra Batak agar tidak hilang. “Semoga tetap menjaga lagi sastra daerah kalau bukan kita, siapa lagi, karena di pemerintah juga kita tidak punya tidak punya rumah, tidak punya ibu kita, sastra lain masih punya, bahkan sastra Korea pun punya, tapi sastra daerah nggak punya,” tegasnya.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Sastra dan Buku

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//