• Literasi
  • Hadiah Sastra Rancage Mengandung Kritik terhadap Kegagalan Sistem Pendidikan Nasional

Hadiah Sastra Rancage Mengandung Kritik terhadap Kegagalan Sistem Pendidikan Nasional

Hadiah Sastra Rancage memberikan sokongan terhadap kehidupan sastra berbahasa daerah di Indonesia, tugas yang mestinya diemban sistem pendidikan nasional.

Penganugerahan Hadiah Sastra Rancage diselenggarakan bersamaan dengan Milangkala Paguyuban Pasundan ke-111 di Aula Mandalasaba lantai 5 Paguyuban Pasundan, Jalan Sumatera 41 Bandung, Selasa, 20 Agustus 2024. (Sumber: Paguyuban Pasundan)

Penulis Iman Herdiana21 Agustus 2024


BandungBergerak.idEmpat sastrawan dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali mendapat penganuegrahan Hadiah Sastra Rancage 2024. Penganugerahan hadiah sastra berbahasa daerah yang rutin diselenggarakan setiap tahun ini mengandung keprihatinan sekaligus kritik terhadap sistem pendidikan nasional yang gagal memajukan kebudayaan.

Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan Didi Turmudzi menyebutkan, Hadiah Sastra Rancage merupakan bagian dari kegelisahan di mana pendidikan nasional mencatat ada kegagalan mendasar salah satunya di bidang budaya.

“Akibatnya modernisasi sering diartikan sebagai westernisasi, bahkan kadang-kadang diartikan sebagai tuntutan ekslusivikasi parokial yang justru mengutuk modernisme dan mendekatkan pada puritanisme fundamental yang suicidal,” tutur Didi, dikutip dari keterangan resmi, Rabu, 21 Agustus 2024.

Menurut Didi, ada empat krisis yang terjadi pada masyarakat Jawa Barat, masyarakat sunda khususnya. Pertama adalah krisis menggunakan bahasa sunda.

“Dengan adanya penghargaan-penghargaan seperti ini diharapkan bisa merangsang motivasi kita semua, karena bagaimanapun juga bahasa itu adalah ciri khas bangsa atau identitas bangsa. Kalau bahasanya hilang tentu suku bangsa itu akan hilang dan dalam detik itulah Paguyuban Pasundan perlu bekerjasama dengan Yayasan Rancage karena Rancage itu adalah mitra sabaraya rasa dengan Paguyuban Pasundan dengan misinya yang sama,” tegasnya.

Kedua, Didi mengatakan soal krisi simbol di Jabar. Padahal menurutnya simbol-simbol inilah yang wajib dimunculkan salah satunya melalui bahasa. Ketiga, krisis kesukubangsaan. Hadirnya penganugerahan Hadiah Sastra Rancage menegaskan keberagaman kesukubangsaan sekaligus tidak menonjolkan sukuisme. “Namun justru ingin bersama-sama membangun bangsa,” tuturnya.

Berikutnya adalah krisis pendidikan moral. Mantan Rektor Unpas ini menyebutkan saat ini pendidikan memang mengalami kemajuan. Namun di lain pihak, sistem pendidikan belum berhasil memenuhi tuntutan budaya sebagai bangsa yang merdeka.

“Kemudian saat ini ketika kita merasakan banyak yang tidak waras oleh karena itu perlu adanya kepemimpinan informal di tiap daerah, di tiap kelurahan atau desa atau kampung sehingga kepemimpinan informal ini bisa memandu sebagai acuan bagaimana berkehidupan yang wajar bagaimana cara bermasyarakat yang baik, bagaimana cara berwarganegara yang baik sehingga ada etika dalam bergaul dan berbudaya serta berpolitik,” katanya.

Didi khawatir saat ini terjadi krisis moral. Untuk itu diperlukan penekanan pada pendidikan karakter. Ia berharap pendidikan karakter mampu menghasilkan sumber daya manusia yang pantang menyerah untuk mendukung kelangsungan hidup bangsa ini.

Penghargaan untuk Sastrawan Bahasa Daerah

Penganugerahan Hadiah Sastra Rancage diselenggarakan bersamaan dengan Milangkala Paguyuban Pasundan ke-111 yang diselenggarakan di Aula Mandalasaba lantai 5 Paguyuban Pasundan, Jalan Sumatera 41 Bandung, Selasa, 20 Agustus 2024.

Sastrawan peraih penganugrahan ini untuk Sastra Sunda diraih Abdullah Mustaffa dengan karya  “Cerita Anu Duaan” (Penerbit Dunia Pustaka Jaya, 2023). Sastra Jawa diraih Ageng Cicit dengan karya “Wit Tanjung Ngiringan Omah” (Penerbit Interlude Yogyakarta, 2023), dan Sastra Bali diraih Carma Mira dengan karya “Ngantosan Ulungan Bulan” (Penerbit Pustaka Ekspresi Bali, 2023).

Sementara penghargaan Samsudi atau bacaan anak-anak berbahasa Sunda diraih Ai Koraliati dengan karya sastra Si Timu (Geger Sunten, 2023). Selain itu, pada kesempatan itu juga diberikan penghargaan Layang Pangajen Paguyuban Pasundan kepada Ubun R Kubarsyah untuk penghargaan Parama Dharma Guna atau karya unggul yang berguna, Gending Raspuzi meraih penghargaan Pataka Riksa Budaya atau yang membangkitkan Budaya Sunda khususnya Pencaksilat, Asep Dedi Sutrisno meraih penghargaan Pataka Riksa Niaga atau pembina UMKM di Indonesia, Agus Djumaedi meraih penghargaan Pataka Riksa Wiraga atau penghargaan untuk membangiktkan olahraga voli di Pasundan, serta Dedi Mulyadi Pataka Riksa Pandita atau yang mempersatukan semua mubalig di Jawa Barat.

Penghargaan diserahkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan Didi Turmudzi dan Ketua Yayasan Rancage Erry Riyana Hardjapamekas yang mengatakan para penerima penghargaan ini adalah orang-orang luar biasa di tengah-tengah gempuran budaya nasional dan internasional. Bahwa mereka masih mau fokus pada keberlanjutan bahasa daerah. 

“Ini perjuangan yang berat dan jangka panjang namun bukan berarti mustahil kita harus terus bekerja keras, karena perkembangan sastra daerah terancam berat oleh kebudayaan bukan hanya Indonesia tapi Internasional. Di sisi lain, undang-undang mengatakan bahwa kita wajib melestarikan bahasa ibu artinya bahasa daerah harus tetap kita pelihara dan itu bukan hanya tugas Rancage untuk memeliharanya namun tugas kita semua,” jelas Erry.

Baca Juga: Pengumuman Hadiah Sastera Rancage 2024, Jumlah Penulis Buku Anak Sunda dan Sastra Daerah Berkurang?
Unpas akan Menjadi Tuan Rumah Penyerahan Hadiah Sastra Rancagé
Cinta dan Harapan Us Tiarsa pada Jurnalisme dan Budaya

Pilar Kehidupan Sastra Bali Modern

Keberlanjutan Hadiah Sastra Rancage mendapatkan apresiasi dari kalangan akademik di Bali, antara lain I Nyoman Darma Putra dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana. Dalam esai “Hadiah Sastra Rancage: Pilar Penting Perkembangan Sastra Bali Modern” yang dimuat  buku Seperempat Abad Hadiah Sastera Rancagè 1989-2013 suntingan Etti R.S.dkk., (Jakarta: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2013, pp. 47-58), Nyoman menyatakan sejak lahirnya sastra Bali modern tahun 1910-an, sejarah sastra Bali memiliki gap, kesenjangan, atau naik-turun karena sedikitnya karya dan sepinya peminat. Perjalanan sastra Bali modern yang terseok-seok berlangsung sampai tahun 1980-an.

“Syukurlah, sejak 1998 Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi memasukkan sastra Bali modern untuk dinilai sebagai penerima hadiah sastra Rancage. Keputusan ini membuat kehidupan sastra Bali seperti memasuki babak baru. Penulis-penulis Bali menyambut anugerah sastra Rancage lewat karya. Mereka menerbitkan buku-buku sastra seperti kumpulan puisi, cerpen, dan novel. Sejak tahun 2000, rata-rata buku sastra Bali modern yang terbit sekitar delapan judul. Walau kecil, tetapi buku-buku itu membuat perkembangan sastra Bali modern cukup stabil,” papar Nyoman.

Setelah 15 tahun diikutkan sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage, sudah ada 20-an sastrawan Bali modern yang meraih penghargaan ini baik atas buku yang ditulisnya maupun atas jasanya dalam pengembangan bahasa dan sastra Bali. 

“Mereka dan karya-karya yang diciptakan adalah tulang-punggung kehidupan sastra Bali modern,” lanjut Nyoman.

 *Kawan-kawan yang baik dapat membaca karya-karya lain tentang Sastra dan Buku dalam tautan tersebut

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//