• Narasi
  • Cinta dan Harapan Us Tiarsa pada Jurnalisme dan Budaya

Cinta dan Harapan Us Tiarsa pada Jurnalisme dan Budaya

Us Tiarsa sejak SD telah memiliki naluri jurnalis. Ia mengirimkan surat ke Pikiran Rakyat tentang peristiwa genting di kampungnya pada zaman DI/TII.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Us Tiarsa, jurnalis senior, sastrawan, tinggal di Kabupaten Bandung, Minggu, 11 Desember 2022 lalu. (Foto: Ernawati Sutarna/Penulis)

9 Februari 2024


BandungBergerak.idUs Tiarsa Restu masih duduk di bangku kelas 4 SD ketika kampungnya diserbu orang-orang dari jauh. Melihat daftar nama tamu yang tertulis di buku catatan sang ayah yang adalah seorang Ketua RT, Us Tiarsa kecil mengetahui bahwa ternyata para pendatang itu adalah penduduk Tasikmalaya yang mengungsi untuk menghindari gerombolan (DI/TII).

“Jadi ku Ua teh nya, ditulis weh dina kartu pos dikintunkeun ka Pikiran Rakyat, (jadi sama Ua ditulis di kartu pos, dan dikirim ke koran Pikiran Rakyat),” kenang Us Tiarsa yang oleh keluarga dekatnya akrab disapa Uwa Iyek, saat saya temui di Komplek Galih Pawarti, kawasan Baleendah, Kabupaten Bandung, Minggu, 11 Desember 2022 lalu.

Sejak kecil Us memang sangat senang membaca koran Pikiran Rakyat. Jadi yang terlintas di pikirannya saat kedatangan pengungsi dari Tasikmalaya ke kampungnya di Jalan H Mesri, Kebon Kawung, Bandung adalah menyampaikan kabar peristiwa itu pada koran Pikiran Rakyat.

Kartu pos itu menarik perhatian jurnalis Pikiran Rakyat untuk meliput keanehan di kampung Us. Ada kalimat yang disampaikan wartawan itu kepada Us, yang menyebut bahwa sejak saat itu dia telah menjadi wartawan. Meskipun masih anak kelas 4 SD, dia sudah bisa menyampaikan suatu peristiwa ke sebuah surat kabar walaupun dengan bahasa tulisan yang sederhana.

Sejak itulah kata wartawan menjadi lekat di ingatan Us dan menjadi salah satu cita-citanya. Peristiwa itu ditulis pula di salah satu buku karya Us Tiarsa yang fenomenal, Basa Bandung Halimunan.

Piagam penghargaan dari PWI Jabar untuk Us Tiarsa. (Foto: Ernawati Sutarna/Penulis)
Piagam penghargaan dari PWI Jabar untuk Us Tiarsa. (Foto: Ernawati Sutarna/Penulis)

Bandung dan Budaya Sunda

Buku Basa Bandung Halimunan adalah salah satu karya Us Tiarsa yang begitu banyak dibaca oleh para peminat sejarah Bandung. Penulisan dalam Bahasa Sunda tidak mengurangi antusias pembaca untuk mengikuti kisah memoar Us Tiarsa yang mengalami beberapa periode politik dalam masa pertumbuhannya yang juga berpengaruh pada situasi dan kondisi Bandung pada saat itu. Pengalaman masa kecil di zaman perang membuatnya fasih menceritakan keseruannya bermain di bangkai kapal, bermain peran sebagai pilot, petugas penembak, serta petugas bomber. Keceriaannya pada masa kanak-kanak disampaikannya dengan bahasa yang mengalir jernih.

Penulisan buku Basa Bandung Halimunan sendiri dilatarbelakangi keinginan laki-laki yang lahir pada 1 April 1943 untuk menulis buku tentang Bandung. Us menghabiskan masa kecilnya di Jalan H. Mesri. Seorang sahabat Us dari kecil yaitu Haryoto Kunto, sang Kuncen Bandung yang banyak menulis tentang Bandung, juga tinggal di jalan ini.

“Saya bersahabat dari kecil dengan Harry (Haryoto Kunto), selalu bersama-sama kemana pun dengannya, lalu mengapa saat Harry menulis buku tentang Bandung, saya tidak melakukan hal yang sama (menulis)?” ucap Us Tiarsa.

Persahabatan Haryoto Kunto dengan Us Tiarsa terjalin bukan dalam waktu sebentar. Sejak kecil sampai dewasa mereka tetap bersahabat, sampai mereka sama-sama berkarya di dunia kepenulisan.

Dan itulah yang akhirnya mendorong Us Tiarsa untuk menulis memoar tentang Bandung, tentu saja dengan gaya yang berbeda dengan Haryoto Kunto. Jika Haryoto Kunto menulis kisahnya tentang Bandung secara mendetail dan panjang lebar, Us sebagai seorang jurnalis menulis dengan lebih singkat dan padat. Bahkan Katherina Achmad, penulis antologi Tarian Ilalang menyampaikan pada Us bahwa buku Basa Bandung Halimunan itu sangat padat, namun lengkap.

“Us Tiarsa adalah seorang jurnalis yang piawai menulis feature,” ujar Katherina, saat ditemui di Jl. H. Mesri, Bandung, Kamis, 8 Desember 2022 lalu.

Ketika berkarier di Majalah Sunda Gondewa, Us menulis di rubrik Romantika, yang menulis tentang orang-orang yang tidak tersohor namun mempunyai prestasi, atau memiliki dedikasi terhadap perkembangan budaya Sunda. Salah satu yang sempat Us liput dan berkesan bahkan sampai saat ini adalah seniman beluk yang bernama Nini Ciah, di daerah Banjaran. Kehidupan Ni Ciah yang sangat sederhana membuat kesan mendalam dalam pengalaman Us di dunia jurnalistik.

Rubrik Romantika mempertemukan Us Tiarsa dengan seniman-seniman Sunda yang justru bukan seorang pesohor. Namun berkat interaksi langsung dengan mereka Us memperoleh banyak ilmu dan pengalaman berharga.

Us cukup lama malang melintang di dunia jurnalistik di Jawa Barat. Kiprahnya cukup mewarnai perkembangan media dan profesi kewartawanan di Tatar Priangan. Alumni SMA 1 Bandung ini mengawali kariernya sebagai jurnalis di tahun 1963 di Kalawarta Sunda Mingguan Kujang. Kecintaannya pada sastra dan budaya Sunda membawanya menjadi salahsatu pengasuh Rubrik Kujang Putra, yaitu lembar sastra pada mingguan Kujang.

Karier di dunia jurnalistik terus berlanjut. Ia mendirikan majalah Sunda bersama sastrawan Ajip Rosidi (1965), jurnalis di Majalah Mangle (1966). Di tahun 1972, Us Tiarsa mendirikan Majalah Sunda Gondewa, dan di tahun yang sama bersama Popong Otje Djundjunan dan Yayat Hendayana mendirikan Surat Kabar Sunda Galura. Lalu di tahun 1975-2005 berkarier di Pikiran Rakyat.

Satu penghargaan sastra Sunda Rancage diperolehnya pada tahun 2011 untuk buku kumpulan carpon (carita pondok: cerita pendek) yang berjudul Halis Pasir, dan Anugerah Persatuan Wartawan Indonesia dalam kategori Loyalitas pada Profesi 2022.

Kecintaannya pada  sastra dan budaya Sunda juga membuat Us mendirikan Studi Grup Budaya Sunda, anggota PPSS, juga menjadi ketua LBSS. Us juga begitu mengagumi seniman karawitan Sunda, Mang Koko. Kekagumannya membuatnya selalu berusaha mengikuti kegiatan Mang Koko untuk mengetahui bagaimana cara Mang Koko mengajar seni karawitan Sunda pada murid-muridnya.

Us mencintai wayang. Hal ini mendorongnya menulis beberapa buku wayang, di antaranya: Dewabrata: Pembawa Kejayaan Bagi Astinapura dan Karna Anak Terbuang.

"Lain saukur cinta, Ua mah kana budaya Sunda teh, tapi aya rasa kawajiban pikeun ngajaga supaya tetep hirup dina kahirupan urang (Ua bukan hanya cinta pada budaya Sunda, tapi ada kewajiban untuk menjaga agar (budaya Sunda) tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari kita)," tegas Us.

Piagam Rancage untuk Us Tiarsa. (Foto diambil Minggu, 11 Desember 2022 oleh Ernawati Sutarna/Penulis)
Piagam Rancage untuk Us Tiarsa. (Foto diambil Minggu, 11 Desember 2022 oleh Ernawati Sutarna/Penulis)

Baca Juga: Berretty, Si Pendiri Kantor Berita Aneta dan Petualangan Cintanya
Saat Bandung Berselimut Kabut, ketika Mayoritas Warganya Miskin
Permakaman sebagai Media Literasi

Uwa Us di Mata Keluarga

Senang mendengar dan menyimak Uwa Us bercerita. Suaranya lembut namun tegas, dengan intonasi yang kuat di beberapa bagian pada saat menuturkan kiprah yang beliau lakukan di dunia jurnalistik, menunjukkan kecintaan yang dalam yang ternyata dipicu oleh kisah masa kecilnya.

Saya masih ingat ketika menemui Uwa Us yang tengah duduk tenang di rumahnya saat pagi menjelang siang, matanya mengamati kegiatan yang berlangsung di depan rumah. Ia memakai kemeja kotak-kotak merah dan celana jeans, sosok kurusnya masih tetap terlihat bersemangat. Kedatangan saya sedikit membuatnya terkejut, karena kami memang sudah cukup lama tidak bertemu. Perbincangan kami diwarnai banyak nostalgia, tentang keluarga besar, tempat kami dulu tinggal, tentang kabar yang sempat terhenti, dan tentang keinginan mengabadikan suatu kenangan dari masa lalu.

Hari sudah merambat siang, tapi percakapan dengan Uwa Us rasanya sulit dihentikan. Ia sosok yang persis seperti apa yang disampaikan salah satu putrinya, Umy Gumiwang.

“Apa (ayah) itu tidak keras tapi tidak juga bisa dikatakan lembut, tapi tak pernah sekalipun memarahi putra-putrinya. Kalau marah, Apa cukup diam, dan itu justru membuat kami, putra-putrinya segan. Seorang panutan buat putra-putrinya. Sosok yang independen dan tidak mau terikat. Begitupun dalam kariernya sebagai jurnalis dan budayawan,” tutur Umy.

Menutup pembicaraan kami, ada satu harapan dari Ketua PWI Jawa Barat periode 1998-2002 dan 2002-2007 ini, bahwa kebudayaan pop yang tumbuh pesat sekarang ini bisa mengalahkan genre kesenian apa pun, apalagi didukung media dan kemudahan mengakses media digital oleh semua kalangan. Yang sangat mudah dikalahkan oleh budaya pop adalah kesenian-kesenian tradisi, yang saat ini kalah dalam komunikasi dan media.

Ia berharap adanya upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni tradisi, salah satunya adalah melibatkan sekolah dalam upaya itu. Caranya antara lain dengan memberi arahan secara terus menerus agar anak-anak sekolah meningkat apresiasinya terhadap seni tradisi.

Salah satu usulan Uus sederhana saja sebenarnya. Anak-anak sekolah harus dibiasakan lagi menonton seni tradisional.

"Kahayang Ua mah, barudak teh dibawa lalajo kasenian, ulah dijejelan wae ku pop, saeutik-saeutik sina wanoh kana budaya milikna sorangan, (keinginan Ua itu, anak-anak muda diajak untuk menonton kesenian (tradisional), tidak hanya dijejali (budaya) pop, sedikit-sedikit diperkenalkan kepada budayanya sendiri)," ujar Us, menutup pembicaraan.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan Ernawatie Sutarna, atau artikel-artikel lainnya tentang Sejarah dan Budaya

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//