GEOGRAFI INGATAN (27): Silaturahmi Sastra Sunda
Jalan ke arah pergaulan dengan kalangan penulis Sunda kian lempang. Dari sanalah lahir keputusan untuk mendalami penulisan esai dan kritik sastra Sunda.
Penulis Atep Kurnia8 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Setelah mulai menulis di majalah Bilik, Cupumanik, dan Pikiran Rakyat pada tahun 2003, jalan ke arah pergaulan dengan kalangan penulis Sunda saya rasakan jadi kian lempang. Salah satu buktinya adalah potret bersama para penulis senior ketika mengikuti acara ulang tahun sastrawati Sunda Tini Kartini. Potret itu dimuat dalam Cupumanik No. 5 Taun I Desember 2003.
Dalam potret, saya bediri bersama Kang Teddi A.N. Muhtadin, Hawe Setiawan, Dadan Sutisna, Godi Suwarna, Rosyid E. Abby, Tedi Permadi, dan Usman Supendi. Dalam keterangannya terbaca demikian, “Ngajaranteng mayunan tumpeng, pangarang Sunda anu garumasep tea. Hoyong kaanggo ku kaom istri, nya kersa jadi seksi konsumsi. Pancenna ngurus dapur, ngalas tuang dugi ka ngawagirkeun cai. Ngareuah-reuah ulang taun Tini Kartini, henteu eleh gesit ku istri. Memeh marulang, dipotret heula di Rumentang Siang”.
Bila diterjemahkan kira-kira jadi begini: Berdiri bersama menghadapi tumpeng, pengarang Sunda yang genit. Maunya dinilai baik oleh perempuan, para pengarang itu mau menjadi seksi konsumsi. Tugasnya mengurusi urusan dapur, mengalasi makanan hingga menyajikan minuman. Dalam rangka memperingati ulang tahun Tini Kartini, para pengarang lelaki tidak kalah gesit oleh perempuan. Sebelum pulang, bersama dipotret di Rumentang Siang.
Dapat dibilang pergaulan yang makin luas itu dijembatani oleh Kang Hawe. Kang Hawelah yang memperkenalkan saya kepada para penulis Sunda lainnya, baik yang senior maupun junior. Yang junior, misalnya Kang Dadan, yang usianya setahun lebih tua dari saya, tetapi sudah mulai menulis sejak tahun 1990-an. Apalagi Kang Dadan juga menjadi redaktur panangkes (redaktur pelaksana) Cupumanik sejak nomor 7, Januari 2004.
Perkenalan-perkenalan itu kerap kali disusul silaturahmi. Tentu saja setiap kunjungan ke rumah para pengarang Sunda maksudnya tidak jauh dari urusan dengan sastra Sunda. Di antara para pengarang Sunda yang berpotret bersama di Rumentang Siang itu, saya kerap mengunjungi rumah Kang Hawe dan Kang Teddi. Saya sempat pula berkunjung ke rumah Kang Dian Hendrayana dan Kang Dadan.
Dalam tulisan kali ini, saya mau mengenang kembali silaturahmi sastra itu sebagaimana yang tertulis buku agenda yang kedua. Dalam buku itu saya mencatat pengalaman antara tanggal 15 April 2003 hingga 14 Juli 2006. Dalam rentang itu saya masih bekerja di pabrik tekstil hingga dua bulan masa kerja di penerbit buku Sunda di Bandung.
Baca Juga: GEOGRAFI INGATAN (26): Tulisan Pertama di Pikiran Rakyat
Geografi Ingatan (24): Sajak dan Surat Penolakannya
Geografi Ingatan (23): Anggota Klub Buku Girimukti
Dari Haurpancuh ke Pasirloa
Dalam catatan hari Minggu, 6 Juni 2004, saya menemui Kang Dian Hendrayana di tempat indekosnya di daerah Haurpancuh, sekitar Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Dalam obrolan sekitar dua jam setengah itu, saya mendapatkan banyak informasi terkait karya-karya Rachmatullah Ading Affandie (RAF), misalnya Nu Kaul Lagu Kaleon dan Pipisahan. Konon, menurut Kang Dian, kebanyakan karya RAF diambil dari realitas sebenarnya. Informasi itu diketahuinya setelah melakukan wawancara dengan RAF, demi keperluan penyusunan skripsi.
Saya ingat, itu adalah kunjungan pertama saya ke tempat tinggal Kang Dian. Sementara Kang Dian sendiri sempat pula berkunjung ke kampung saya, ketika saya masih menumpang tinggal di rumah mertua. Saat itu Kang Dian bersama dua atau tiga orang datang untuk mengambil gambar. Ketika Kang Dian datang, agaknya saya sedang bekerja pabrik. Selepas kerja, saya mengantar rombongan dari Bandung itu ke arah selatan dari pabrik. Di sana kebetulan ada kerbau digembalakan berlatar belakang persawahan dan pegunungan di kejauhan.
Kalau tidak keliru ingat, pengambilan gambar itu untuk ilustrasi dalam pementasan tembang Sunda Cianjuran. Karena saya ingat, saya bersama mertua mendapat undangan untuk menghadiri acaranya. Sayang, baik saya maupun bapak mertua tidak dapat menghadirinya.
Selain bertamu ke rumah Kang Dian, 6 Juni 2004, itu saya berkunjung pula ke rumah Kang Dadan di Tanjungsari, Sumedang. Sekitar pukul 11.30, saya naik Damri jurusan Dipati Ukur-Jatinangor. Dari Jatinangor disambung angkot ke Tanjungsari dan dari Tanjungsari disambung ojek ke Pasirloa.
Salah satu bahan obrolan dengan Kang Dadan adalah soal nasib majalah Cupumanik. Saat itu Cupumanik diterbitkan oleh Penerbit Kiblat Buku Utama dan mengalami kendala, sehingga ada rencana dihentikan penerbitannya. Namun, untungnya Kang Hawe pergi ke Jakarta, menemui Kang Ajip Rosidi. Dari pertemuan tersebut disepakati Cupumanik akan terus diterbitkan, tetapi tidak lagi oleh Kiblat.
Ini baru saya mengerti bila dikaitkan dengan pengumuman (Ti Ais Pangampih) Kang Ajip dalam Cupumanik nomor 13, tahun II, Agustus 2004. Di situ antara lain tertulis begini: “Ti ngawitan taun anu kadua, nu medalkeun Cupumanik sanes PT Kiblat Buku Utama (KBU) deui, nanging Yayasan Kabudayaan Rancage. Saleresna kedahna mah ti awal keneh Yayasan Kabudayaan Rancage anu medalkeunana teh. Nanging harita Yayasan Kabudayaan Rancage masih mayunan rupi-rupi garapan sanes anu henteu tiasa ditunda. Kaleresan aya KBU anu sanggemeun mayunan saheulaanan. Ku kituna Yayasan Kabudayaan Rancage henteu kinten nganuhunkeunana ka KBU nu salami sataun ngasuh Cupumanik”.
Artinya kira-kira: Mulai tahun kedua, penerbit Cupumanik bukan lagi PT Kiblat Buku Utama (KBU), tetapi Yayasan Kebudayaan Rancage. Seharusnya memang sejak awal Yayasan Kebudayaan Rancage yang menerbitkannya. Tetapi saat itu Yayasan Kebudayaan Rancage masih menghadapi berbagai garapan lain yang tidak bisa ditunda. Kebetulan ada KBU yang sanggup menjalankannya sementara. Oleh karena itu, Yayasan Kebudayaan Rancage sangat berterima kasih kepada KBU yang selama setahun mengelola Cupumanik.
Itu sebabnya pula, dalam boks redaksinya terjadi perubahan. Ajip Rosidi menjadi pemimpin umum, H.S. Kartadjoemena menjadi penasihat, Her Suganda dan Abdullah Mustappa menjadi redaktur senior. Pemimpin redaksi dan redaktur pelaksananya masih tetap Kang Hawe dan Kang Dadan. Mereka berdua bersama Teh Titi Surti Nastiti menjadi anggota dewan redaksinya.
Kunjungan ke Pasirloa itu, bisa jadi pula kali pertama saya ke rumah Kang Dadan. Tetapi berbeda dengan Kang Dian, saya sempat berkali-kali mengunjungi lagi rumah Kang Dadan. Di antaranya sempat bersama dengan rombongan pengarang dan wartawan Sunda dari Bandung, dalam rangka anjang sono. Di antaranya beberapa kali menginap bersama Dhipa Galuh Purba, Yulianto Agung, Kang Hawe, dan lain-lain.
Mendalami Kritik Sastra
Enam hari setelah berkunjung ke rumah Kang Dian dan Kang Dadan, pada Sabtu, 12 Juni 2004, saya menerima pesan pendek dari Kang Teddi Muhtadin. Dalam buku agenda, saya menulis begini: “Saptu, taleot-taleot Siemen C-35 disada, aya SMS asup. Diilikan, ti Kang Teddi ...” (Sabtu, Siemen C-35 berbunyi, pertanda SMS masuk. Saya lihat ada pesan dari Kang Teddi A.N. Muhtadin).
Ternyata SMS itulah yang akhirnya menyebabkan saya mengunjungi rumah Kang Teddi untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, sebelum habis bekerja shift malam saya bertanya-tanya kepada kawan-kawan tentang ongkos naik elf ke Kadungora. Kata mereka hanya seribu rupiah bila menggunakan pakaian seragam (“Samemeh balik gawe, tunyu-tanya heula, pisabaraheun ongkos ka Kadungora. Ah, geuning cenah sarebu perak ari make baju karyawan mah”).
Ketika saya tiba, sebenarnya Kang Teddi akan berangkat ke Bandung, untuk menerjemahkan berita dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda di TVRI Bandung. Setelah mengobrol sebentar, saya ditawari untuk melihat-lihat dan meminjam buku dari koleksinya. Saat itu saya meminjam beberapa buku, di antaranya Tata Sastra, Catetan Prosa, Tradisi Lisan Sunda, Pangantar Ilmu Sastra dan Freud dan Interpretasi Sastra.
Di jalan, ketika bersama berangkat ke arah Bandung, saya banyak bertanya ihwal persoalan-persoalan di sekitar sastra, termasuk mengenai konsep mimikri, posmodernisme, dan lain-lain (“Saparat jalan galecok gunem catur. Kuring nu loba nanyakeun pasualan-pasualan budeureun sastra; konsep mimikri, posmodernisme, jste”). Ketika elf tiba di dekat Gedong Nasional, Cicalengka, saya berhenti, sementara Kang Teddi terus ke Bandung, menuju TVRI.
Pasti kunjungan singkat itu bukan sekali-sekalinya saya ke rumah Kang Teddi. Karena setelah itu saya jadi kerap mengunjunginya di Kadungora, terutama saat saya bekerja shift malam. Dari berbagai kunjungan itu, saya beroleh banyak pengetahuan juga buku-buku pinjaman. Kebanyakan buku itu lalu saya fotokopi dan saya kembalikan saat berkunjung ke Kadungora.
Demikian pula ketika berkunjung ke rumah Kang Hawe Setiawan di Ledeng, Kota Bandung. Bahkan boleh dibilang justru di Ledeng, saya mula-mula meluaskan pandangan ihwal sastra. Dari koleksi buku Kang Hawe yang berlimpah itu, saya banyak membaca karya-karya sastra Sunda, Indonesia dan dunia. Dari situ pula saya mulai tertarik untuk mulai mendalami bahasa Inggris demi membaca karya-karya sastra yang berbahasa Inggris.
Kunjungan ke rumah Kang Hawe, antara lain, saya catat pada 1 April 2006. Saat itu kebetulan hari libur, Hari Nyepi, tanggal 30 Maret 2006, dan terutama pabrik diliburkan sebab tidak ada benang (“Tanggal 30 Maret libur. Sabab Poe Nyepi. Tapi pangpangna mah sabab euweuh benang, jadi weh diperekeun”). Sebagaimana biasanya, meskipun sudah beristri dan mempunyai anak, kebiasaan berangkat ke Bandung untuk berbelanja buku di kala libur atau ada waktu luang, tetap saya lakukan. Termasuk hari libur itu. Setelah ke Palasari, Jalan Dewi Sartika, dan Cikapundung, saya naik angkot ke Ledeng.
Hingga tengah malam saya terus mengobrol dengan Kang Hawe. Tema pembicaraan di sekitar wacana kesundaan. Dalam buku agenda, saya menulis tentang pentingnya wacana, tetapi kata Kang Hawe harus pula diimbangi dengan tindakan nyata, yaitu laku sosial. Karena tanpa laku nyata, wacana hanyalah omongan belaka. Selain itu, malam itu saya mendapatkan pencerahan mengenai pentingnya memiliki kemampuan berpikir analitis.
Esoknya, saya bangun subuh, lalu membaca dan memilih beberapa buku untuk difotokopi. Di antaranya The Book of Sand karya Jorge Luis Borges, sajak-sajak berbentuk ode karya Pablo Neruda dan beberapa tulisan Kang Hawe yang belum saya koleksi (“Hudang subuh, jam 5 kurang 5. Tuluy maca jeung milihan potokopianeun. Meunang tilu. The Book of Sand-na Borges, sajak-sajak odena Neruda, jeung tulisan Kang Hawe nu can kakoleksi”).
Baik dari Kang Hawe Setiawan maupun Kang Teddi A.N. Muhtadin, saya banyak sekali memperoleh bacaan baru, pengetahuan baru dan arah yang seharusnya saya tempuh di masa yang akan datang. Terutama dari Kang Hawe, saya mendapat arahan untuk mendalami penulisan esai dan kritik sastra Sunda. Itulah yang saya catat di buku agenda pada tanggal 30 November 2005: “Cek Kang Hawe mah geus we lah nulis esey jeung kritik. Lantaran geus rea teuing nu nulis carpon, sajak mah. Tah ari sabangsaning kritik mah sisip” (Kata Kang Hawe lebih baik menulis esai dan kritik. Sebab yang menulis cerpen dan sajak sudah terlalu banyak. Sementara para penulis kritik masih kurang).