GEOGRAFI INGATAN (26): Tulisan Pertama di Pikiran Rakyat
Cita-cita melihat tulisan termuat di koran Pikiran Rakyat kesampaian pada Selasa, 23 Desember 2003. Mertua bangga, para tetangga dan rekan kerja kebagian kabarnya.
Penulis Atep Kurnia1 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Sejak suka membuat kliping dari Harian Umum Pikiran Rakyat mulai awal tahun 2000-an, saya senantiasa memendam cita-cita suatu saat karya saya akan dimuat dalam koran bergengsi di Jawa Barat itu. Memang sejak itu, dari Pikiran Rakyat, saya kerap membuat guntingan terutama tulisan yang bertalian dengan minat membaca, kiat-kiat menulis, rubrik sastra, dan budaya.
Itu semua saya lakukan sebelum berkenalan dengan dan aktif menggunakan internet. Salah satu bagian Pikiran Rakyat yang saya simpan utuh adalah Lembaran Khusus Seni dan Budaya “Khazanah”. Untuk mendapatkannya, saya sesekali membeli saat terbit, tetapi seringnya mencari-cari koran bekas kiloan di pasar tradisional. Kebetulan, seorang kawan semasa SMU membantu kakaknya di Pasar Parakanmuncang. Kakaknya menjual kantong kresek, plastik bening, boks kertas, juga koran dan majalah bekas untuk bungkus.
Bila ada uang dan waktu luang, sehabis sif malam di pabrik, saya sering menyambangi jongko milik kakak kawan saya. Karena sudah kenal, saya bisa bebas berlama-lama mengacak-acak koran dan majalah bekas. Tidak jarang, selain mendapat “Khazanah”, saya juga memperoleh majalah Horison, majalah sastra terbitan Malaysia, dan lain-lain. Hasil perburuan dari masa itu masih saya simpan hingga sekarang. Kliping-kliping koran, Lembaran “Khazanah”, “Kalam” dari Majalah Tempo, “Ruang Baca” dari Koran Tempo, “Bentara” dan “Pustakaloka” dari Kompas masih saya simpan dalam boks-boks plastik di rumah.
Dari “Khazanah”, saya melihat nama-nama penulis yang menjadi penyaji materi dalam perhelatan Konferensi Internasional Bahasa Sunda (KIBS) I yang saya ikuti. Ada Ajip Rosidi, Ayatrohaedi, Saini KM, Abdullah Mustappa, Edi S. Ekadjati, A. Chaedar Alwasilah, Hawe Setiawan, dan lain-lain. Termasuk juga dua wartawan budaya dari Pikiran Rakyat, yaitu Soni Farid Maulana dan Ahda Imran. Dengan banyak membaca tulisan dari “Khazanah”, hasrat saya untuk dapat menulis jadi kian membesar.
Cita-cita saya baru terlaksana pada hari Selasa, 23 Desember 2003. Pada edisi itu, dalam rubrik “Opini”, dimuat tulisan saya yang bertajuk “Menguatnya Pembajakan”, dengan subjudul “Studi Kasus Musyawarah Burung dan Kasidah Cinta”. Menilik riwayat kepenulisan saya, tulisan tersebut saya hasilkan setelah enam bulan menulis di majalah lokal Bilik dan empat bulan setelah di Cupumanik.
Dalam tulisan kali ini, saya hendak mengenang proses kelahiran tulisan pertama yang dimuat dalam Pikiran Rakyat itu, sekaligus cara mengirimkannya hingga dimuat.
Meruahnya Buku Terjemahan
Sebagaimana yang terungkap dalam dua paragraf awal dalam tulisan pertama di Pikiran Rakyat, saat itu di Indonesia sedang meruah buku-buku terjemahan atau sebagaimana yang dulu saya tulis pada kalimat pertama: “Dunia pustaka di Indonesia dewasa ini kian diwarnai oleh buku-buku terjemahan”. Lalu soalnya, mengapa saya menulis ihwal buku-buku terjemahan? Ttentu saja, karena sejak lama saya sudah menggemari buku-buku asing yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda.
Pada tahun 2003, saya mendapati penerbit-penerbit baru yang mencari jalur alternatif untuk mengeluarkan karya-karya terjemahan. Pada paragraf kedua, saya menyatakan “Kebanyakan penerbit tersebut berasal dari Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pelajar dan telah memilki akar tradisi intelektual yang kokoh. Kita mengenal, misalnya, penerbit Bentang, Tarawang Press, Sumbu, Yayasan Aksara Indonesia, Jalasutra, Pustaka Pelajar, Jendela, Gama Media, dan LKIS. Semuanya berasal dari Kota Gudeg. Ada pula sejumlah penerbit baru dari Jakarta (Akubaca), Jawa Tengah (Teralitera), dan Jawa Timur (Pedati), dll.”
Di antara hasil terjemahan itu adalah Musyawarah Burung dan Kasidah Cinta terjemahan Hartojo Andangdjaja. Mulanya keduanya diterbitkan Pustaka Jaya pada 1983 dan Budaya Jaya pada 1982. Masalahnya, kedua buku itu diterbitkan ulang oleh penerbit Tarawang Press pada 2003, dengan tidak mencantumkan nama penerjemah dan hak ciptanya pada Musyawarah Burung dan hak penerbitannya pada kasus Kasidah Cinta.
Dengan membanding-banding kedua versi, saya menengarai adanya upaya pembajakan. Hasil perbandingannya kemudian saya tuliskan. Mula-mula, seperti biasa, di atas kertas kosong, ditulis tangan. Setelah beberapa kali melewati penulisan ulang penuh corat-coret, akhirnya saya ketik di komputer. Namun, saya tidak ingat lagi di mana menyalin naskah tulisan tangan itu ke komputer? Apakah masih ikut mengetik di komputer satu-satunya yang ada di kantor Bilik di Cicalengka? Atau menyewa di rental komputer?
Yang teringat, tulisan dalam disket kecil itu saya bawa ke Bandung dan diserahkan kepada Kang Hawe Setiawan. Nah, baru teringat, agaknya sebelum memutuskan untuk menuliskan upaya pembajakan itu, saya juga sempat mendiskusikannya dengan Kang Hawe. Ia sangat antusias ketika saya mengutarakan maksud menulis artikel. Itu sebabnya, setelah selesai ditulis, artikelnya saya serahkan kepada Kang Hawe.
Pada akhir 2003 itu, saya masih belum tahu cara mengoperasikan internet, apalagi surat elektronik. Sebab itulah, tulisan saya bawa ke Bandung. Kang Hawe berbaik hati menyunting tulisan saya, serta memberi judul baru, termasuk subjudulnya. Bahkan yang membuat saya terkesan hingga sekarang adalah kebaikan hati Kang Hawe untuk mengirimkan tulisan itu melalui surat elektronik pribadinya.
Baca Juga: Geografi Ingatan (25): Majalah Lokal Bilik dan Cupumanik
Geografi Ingatan (24): Sajak dan Surat Penolakannya
Geografi Ingatan (23): Anggota Klub Buku Girimukti
Reaksi Mertua
Selang beberapa lama, tulisan saya dimuat di Pikiran Rakyat. Setelah mendapat kabar pemuatannya, hati girang tidak terkira. Kabarnya sekaligus edisi korannya, langsung saya informasikan dan perlihatkan kepada istri dan keluarganya. Oh ya, menjelang akhir 2003 saya baru tiga bulan menikah dan turut pindah ke kampung asal istri di daerah Cikancung. Saya tidak lagi tinggal di rumah orang tua di sekitar Jalan Raya Cicalengka-Majalaya, melainkan menumpang di rumah mertua.
Kegembiraan saya juga ternyata menjadi kegembiraan keluarga besar istri saya, terutama mertua laki-laki. Ia yang sekarang sudah mendiang membaca artikel saya sampai tuntas. Ketika di ujung tulisan mendapati keterangan “Penulis, pecinta buku, tinggal di Cikancung”, mertua langsung bereaksi dengan mengatakan mengapa keterangan alamat di Cikancung tidak ditulis secara lengkap. Seharusnya Kampung Ciawi dan RT-RW juga dimasukkan.
Barangkali mertua juga turut merasa bangga. Kepada tetangga dekat dan kepada setiap orang yang dikenalnya, ia mengatakan kabar ini, bahkan seraya membawa-bawa tulisan itu. Setelah dibawa kian kemari, korannya tentu saja jadi lecek. Apalagi, koran itu saya bawa pula ke pabrik dan saya perlihatkan kepada kawan-kawan sekerja.
Lalu, apakah setelah dimuat pada 23 Desember 2003 saya menulis lagi untuk Pikiran Rakyat? Ternyata tidak. Butuh waktu sekitar dua tahun lebih bagi tulisan saya selanjutnya dimuat lagi di Pikiran Rakyat. Dalam daftar riwayat pemuatan tulisan yang saya susun, setelah sempat menulis untuk media berbahasa Sunda Cupumanik, Mangle, Galura, dan Seni Budaya antara 2004-2006, saya menulis dalam bahasa Indonesia untuk Kompas edisi Jawa Barat pada 5 Agustus 2006. Sedangkan untuk Pikiran Rakyat, tulisan saya dimuat dalam Lembaran Khusus “Khazanah” edisi 14 Oktober 2006. Judul tulisannya “Perkembangan Kamus Sunda”.
Dengan demikian, terwujud sudah hasrat hati agar dapat turut mengisi “Khazanah”. Meski masih jauh bila dibanding karya para penulis yang sudah malang melintang di Pikiran Rakyat, tetapi karya tulis saya itu bisa menjadi pemicu bagi lahirnya tulisan lainnya, terutama sejak 2007. Bahkan nantinya tulisan tersebut menjadi bekal bagi saya untuk menempuh kehidupan selama menjadi mahasiswa S1 yang sudah beristri dan beranak satu.