• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Pembungkaman Publik ala Negara, Memahami SLAPP dalam Isu Lingkungan Hidup

MAHASISWA BERSUARA: Pembungkaman Publik ala Negara, Memahami SLAPP dalam Isu Lingkungan Hidup

SLAPP kerap menimpa aktivis lingkungan, jurnalis, akademisi, hingga masyarakat sipil. Tujuannya seragam: menciptakan rasa takut agar partisipasi publik melemah.

Nibras Andaru

Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung.

Peraturan yang dirumuskan secara ugal-ugalan oleh penguasa membuka pintu lebar bagi aparat untuk bertindak sewenang-wenang. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

30 September 2025


BandungBergerak.id – Di tengah krisis lingkungan dan demokrasi, pertanyaan sederhana, “Apa itu negara?” kembali menjadi relevan. Miriam Budiardjo memaknai negara sebagai alat masyarakat yang memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan antar-manusia sekaligus menertibkan gejala kekuasaan dalam tatanan sosial. Dalam idealitasnya, negara hadir untuk menjaga keteraturan dan mencegah penyalahgunaan otoritas. Jean-Jacques Rousseau (1762) menambahkan bahwa negara lahir dari kontrak sosial –kesepakatan rakyat untuk menyerahkan sebagian otoritas demi kepentingan bersama, yang kemudian dijamin oleh konstitusi.

Namun, praktik ketatanegaraan tidak selalu sejalan dengan cita-cita tersebut. Hukum yang seharusnya melindungi rakyat sering kali justru berfungsi sebaliknya: menjadi instrumen pembungkaman.

Max Weber mengingatkan bahwa negara memonopoli “kekerasan yang sah” dan bahaya muncul ketika monopoli itu dipakai secara represif. Otoritarianisme modern tidak lagi ditandai oleh represi kasar semata, melainkan oleh penggunaan hukum sebagai senjata. Kim Lane Scheppele menyebut fenomena ini sebagai autocratic legalism, yakni penggunaan hukum yang proseduralnya sah, tetapi substansinya merusak demokrasi. Jorge Corales menekankan, gejala ini berawal dari pelemahan lembaga pengawas kekuasaan; begitu pagar konstitusi dilonggarkan, hukum berbalik menjadi tameng penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara yang sah secara prosedural, tetapi sesungguhnya menyalahi esensi demokrasi.

Dalam konteks ini, lahir apa yang dapat disebut kejahatan sistematis. Ia bukan sekadar pelanggaran individu, tetapi tindakan berulang yang dilembagakan dan dibiarkan dalam struktur kekuasaan. Korupsi yang mengakar, perampasan tanah, kerusakan alam atas nama pembangunan, hingga kriminalisasi terhadap pembela lingkungan hidup, bukanlah insiden terpisah. Semuanya merupakan bagian dari pola otoritarianisme yang kian menguat dalam wajah demokrasi formal.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Membela Perempuan Tangguh di Lahan Tani, Mewujudkan Reforma Agraria Sejati yang Berkeadilan Gender
MAHASISWA BERSUARA: Suara Formalitas Mahasiswa di Senayan, Krisis Politik Mahasiswa dalam Bayang-bayang Oligarki
MAHASISWA BERSUARA: Mengenal Kesusastraan Sunda dalam Sudut Kontemporer

Memahami Praktik SLAPP

Indonesia sejatinya memiliki jaminan konstitusional. Pasal 28H UUD 1945 menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tetapi, realitas di lapangan menunjukkan kontradiksi tajam.

Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat sepanjang 2014–2024 terdapat 1.131 orang yang mengalami kekerasan dan kriminalisasi akibat membela lingkungan. Dari jumlah itu, 544 menghadapi tuntutan di pengadilan. Kasus Budi Pego di Banyuwangi (2023), yang dituduh mencemarkan nama baik perusahaan tambang emas, dan kasus Daniel Frits di Karimunjawa (2024), yang dijerat UU ITE karena mengkritik pencemaran laut, adalah contoh nyata bagaimana hukum dipakai untuk menakut-nakuti masyarakat agar berhenti bersuara.

Fenomena inilah yang disebut Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Istilah yang diperkenalkan George W. Pring dan Penelope Canan (1996) ini menjelaskan praktik gugatan hukum yang bertujuan membungkam kritik publik, bukan menegakkan keadilan. Di Indonesia, SLAPP kerap menimpa aktivis lingkungan, jurnalis, akademisi, hingga masyarakat sipil. Tujuannya seragam: menciptakan rasa takut agar partisipasi publik melemah.

Secara normatif, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Namun, penjelasan pasal ini terlalu sempit karena hanya melindungi korban atau pelapor. Saksi, ahli, maupun aktivis yang terlibat tetap berada dalam posisi rentan. Celah hukum ini akhirnya diuji melalui judicial review oleh dua mahasiswa hukum, Leonardo Pertersen Agustinus dan Jovan Gregorius Naibaho.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 119/PUU-XXIII/2025 kemudian memperluas cakupan Pasal 66. Perlindungan hukum tidak lagi terbatas pada korban atau pelapor, melainkan mencakup saksi, ahli, aktivis, dan masyarakat yang terlibat dalam advokasi lingkungan hidup. Putusan ini menjadi tonggak penting, menegaskan prinsip non-kriminalisasi terhadap partisipasi publik sekaligus mempertegas peran Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi, pelindung hak konstitusional warga negara, pelindung HAM, dan penjaga demokrasi.

Melawan Praktik SLAPP yang Berulang

Namun, kemenangan hukum di atas kertas tidak otomatis menjelma menjadi perlindungan nyata. Tantangan terbesar justru terletak pada implementasi. Selama aparat penegak hukum masih tunduk pada kepentingan oligarki, dan selama perusahaan tetap mampu memanfaatkan celah undang-undang, praktik SLAPP akan terus berulang. Negara, otoritarianisme, dan kejahatan sistematis saling berkelindan, dan membiarkannya berarti membiarkan demokrasi dikikis perlahan.

Karena itu, melawan SLAPP bukan semata persoalan hukum, melainkan juga soal mempertahankan hak rakyat untuk bersuara. Ada tiga langkah mendesak yang perlu ditempuh. Pertama, membangun kesadaran publik bahwa kriminalisasi partisipasi bukan hanya urusan kelompok tertentu, tetapi menyangkut kepentingan masyarakat secara luas.

Kedua, memperkuat tekanan politik melalui advokasi di berbagai lini seperti masyarakat sipil, media, dan akademisi untuk mendorong pemerintah, aparat penegak hukum, dan lembaga legislatif agar menjalankan mandatnya secara transparan serta akuntabel. Tanpa pengawasan publik yang kuat, hukum akan mudah berubah menjadi instrumen represi. Ketiga, menumbuhkan keberanian untuk bersuara, sebab demokrasi hanya hidup ketika rakyat berani mengkritik; diam berarti menyerah, sementara keberanian justru menjadi ancaman bagi oligarki.

Dengan demikian, masa depan demokrasi Indonesia sekaligus masa depan generasi mendatang sangat ditentukan oleh keberanian hari ini untuk tidak diam. SLAPP adalah cermin dari rapuhnya demokrasi: setiap kali seorang aktivis, jurnalis, atau warga dibungkam, demokrasi terkikis sedikit demi sedikit. Oleh karena itu, melawan kriminalisasi partisipasi publik bukan hanya urusan hukum, melainkan bagian dari perjuangan menjaga konstitusi, lingkungan hidup, dan keadilan sosial di negeri ini.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//