• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Suara Formalitas Mahasiswa di Senayan, Krisis Politik Mahasiswa dalam Bayang-bayang Oligarki

MAHASISWA BERSUARA: Suara Formalitas Mahasiswa di Senayan, Krisis Politik Mahasiswa dalam Bayang-bayang Oligarki

Mahasiswa tidak boleh hanya menjadi “suara formalitas” yang dipanggil saat negara butuh legitimasi.

Tegar Afriansyah

Ketua Umum Eksekutif Nasional LMID

Dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

24 September 2025


BandungBergerak.id – Sejarah Indonesia mencatat peran mahasiswa sebagai kekuatan politik alternatif yang kerap menjadi penentu arah perubahan. Dari 1974, hingga 1998, mahasiswa tampil bukan sekadar sebagai kelompok penekan, tetapi juga sebagai aktor politik yang menghadirkan terobosan baru dalam dinamika demokrasi. Dalam momen-momen itu, mahasiswa hadir di garis depan, melawan kekuasaan yang korup dan otoriter, serta menyalurkan aspirasi rakyat tertindas yang tidak mendapat ruang dalam sistem politik formal.

Namun, dalam perkembangan terbaru, terutama melalui pertemuan Cipayung Plus dan sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), muncul pertanyaan mendasar: apakah mahasiswa masih menjadi motor perlawanan, atau justru terjebak dalam suara formalitas yang jinak terhadap kekuasaan? Alih-alih menggemakan keresahan rakyat yang menuntut adanya reformasi total dalam sistem politik, forum tersebut justru memperlihatkan kecenderungan kompromi dan pencitraan.

Pertemuan itu menegaskan adanya pergeseran orientasi sebagian gerakan mahasiswa: dari kekuatan oposisi yang progresif menjadi kekuatan simbolik yang hanya berfungsi memberi legitimasi. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap DPR dan meningkatnya represi terhadap aktivis –mulai dari penangkapan Delpedro Marhaen hingga tindakan represif terhadap massa aksi– kehadiran mahasiswa di ruang Senayan justru tampak paradoksal. Di satu sisi, mahasiswa masih dianggap sebagai representasi suara rakyat; di sisi lain, suara yang keluar kehilangan keberanian dan daya gugatnya. Fenomena inilah yang menimbulkan kritik tajam bahwa suara mahasiswa kini hanya menjadi suara formalitas: hadir dalam forum, namun absen dalam perjuangan substantif; lantang di ruang rapat, tetapi bisu menghadapi kenyataan rakyat.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Vandalisme versus Kerusakan Ekologis
MAHASISWA BERSUARA: Solidaritas Rakyat sebagai Kekuatan Kolektif Menghadapi Represi Negara
MAHASISWA BERSUARA: Membela Perempuan Tangguh di Lahan Tani, Mewujudkan Reforma Agraria Sejati yang Berkeadilan Gender

Mahasiswa dalam Demokrasi Prosedural

Mahasiswa seharusnya menjadi oposisi moral bagi negara. Dalam teori demokrasi radikal (Laclau & Mouffe, 1985), gerakan mahasiswa dipandang sebagai salah satu kekuatan antagonistik yang dapat membuka ruang kontestasi terhadap dominasi kekuasaan. Kehadiran mahasiswa bukan hanya memperkaya diskursus politik, tetapi juga menjadi katalis perubahan sosial yang mengganggu kenyamanan status quo.

Namun, pertemuan di Senayan justru memperlihatkan wajah lain: mahasiswa yang memilih politik kompromi ketimbang politik antagonisme. Alih-alih mengartikulasikan keresahan rakyat yang tertindas, sebagian mahasiswa lebih sibuk menjaga relasi dengan elit kekuasaan, sehingga suara yang keluar cenderung steril dari keberanian.

Ketika publik menuntut reformasi total dalam aspek ekonomi dan politik sebagai respons atas krisis kepercayaan terhadap lembaga eksekutif dan legislatif suara mahasiswa di ruang parlemen justru terdengar lunak, penuh basa-basi, dan kehilangan daya gugat. Inilah yang dapat disebut sebagai “suara formalitas mahasiswa”: hadir, tetapi tidak substantif; berbicara, tetapi tidak mendesak.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari arsitektur demokrasi prosedural di Indonesia yang kian terjebak dalam politik oligarkis. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang pada partisipasi rakyat miskin dan tertindas, justru direduksi menjadi sekadar ritual elektoral lima tahunan dan forum-forum konsultatif yang hanya menguntungkan elit. Mahasiswa yang memilih jalur formalitas tanpa konfrontasi kritis pada dasarnya telah ikut terserap dalam logika demokrasi prosedural tersebut –menjadi “mitra” simbolik kekuasaan, bukan lagi kekuatan korektif.

Lebih jauh, kecenderungan ini memperlihatkan krisis orientasi gerakan mahasiswa kontemporer. Alih-alih menegaskan diri sebagai oposisi yang independen, mereka semakin menempatkan diri dalam posisi aksesori politik: dipanggil ketika negara butuh legitimasi, lalu dibiarkan tanpa daya ketika rakyat menghadapi represi. Inilah bentuk depolitisasi mahasiswa yang berbahaya, karena mengikis tradisi kritis dan membatasi kemarahan rakyat hanya karena ‘tidak menggunakan almet’ dalam aksi demonstrasi untuk mewujudkan cita-cita perubahan sosial yang berkeadilan.

Kontras Jalanan dan Senayan

Perbedaan tajam terlihat antara mahasiswa yang berjuang di jalanan dan mereka yang duduk di Senayan. Di jalan, rakyat, mahasiswa dan pelajar menghadapi represi brutal: penangkapan paksa Delpedro Marhaen (Direktur Lokataru Foundation), Muzaffar Salim (Staff Lokataru Foundation),  Khariq Anhar (Universitas Riau), dan Syahdan Husein (alumni UGM); pembubaran paksa aksi dengan gas air mata dan peluru karet; serta kriminalisasi terhadap aktivis yang menyuarakan kritik. Data Komnas HAM mencatat lebih dari 300 orang ditahan selama gelombang protes 25–31 Agustus 2025.

Fakta-fakta ini menegaskan adanya kegawatan demokrasi, di mana ruang kebebasan sipil semakin menyempit dan aparat negara semakin represif terhadap rakyat yang berani menggugat. Tuduhan provokatif yang dilontarkan oleh mahasiswa kepada mereka yang tidak menggunakan almet menunjukan pola depolitisasi yang menguat dalam gerakan mahasiswa. Kenihilan terwujudnya perubahan sosial terjadi apabila gerakan mahasiswa terisolasi dari elemen gerakan sosial lainnya, apalagi mendelegitimasi rakyat yang marah hanya karena tidak menggunakan atribut kebanggan yang semu.

Kehadiran mahasiswa di Senayan, hanya sebagai pelengkap demokrasi prosedural. Alih-alih mengangkat isu pelanggaran hak sipil-politik, mereka justru tampil sebagai tamu sopan yang memberi legitimasi kepada DPR –sebuah lembaga yang tengah mengalami delegitimasi serius akibat keterlibatan wakil rakyat yang menikmati fasilitas rakyat hingga mencapai ratusan juta dalam satu bulan. Ini bertentangan dengan semangat efisiensi yang digembar-gemborkan oleh Presiden Prabowo. Rakyatnya di efisiensi, pejabatnya di manjain.

Dalam krisis politik nasional, keterlibatan mahasiswa dalam ruang parlemen lebih menyerupai ritual seremonial yang mempercantik citra DPR, bukan konfrontasi substantif yang menekan lembaga legislatif agar bertanggung jawab atas krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Kontras ini memperlihatkan adanya dua wajah politik mahasiswa. Di satu sisi, mahasiswa jalanan yang mempertaruhkan kebebasan dan tubuhnya demi memperjuangkan agenda rakyat dengan mengusung reformasi total dalam sistem ekonomi-politik, dan penghentian kriminalisasi. Di sisi lain, mahasiswa Senayan yang memilih aman, nyaman, dan kompromistis, sembari menegaskan bahwa kehadiran mereka hanyalah simbol tanpa makna substantif.

Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan orientasi: politik kelas versus politik formalitas. Mahasiswa jalanan beroperasi dengan logika perlawanan, berhadap-hadapan langsung dengan kekuasaan yang represif. Sementara mereka yang berada di Senayan justru masuk ke dalam logika demokrasi elitis, di mana suara mereka lebih berfungsi sebagai instrumen legitimasi ketimbang sebagai kekuatan korektif.

Paradoks ini semakin menajamkan jurang antara gerakan mahasiswa rakyat dan gerakan mahasiswa elitis. Yang pertama lahir dari denyut perjuangan rakyat, sementara yang kedua lahir dari kebutuhan kekuasaan akan simbol keterlibatan generasi muda.

Ompongnya Politik Mahasiswa Arus Utama

Fenomena ini menunjukkan adanya krisis politik mahasiswa arus utama. Kelompok seperti Cipayung Plus dan BEM yang hadir di Senayan cenderung mempraktikkan politik akses –mendekat ke kekuasaan untuk memperoleh posisi strategis– ketimbang politik perlawanan yang menentang dominasi negara. Orientasi ini membuat mereka tampak ompong dan tidak bernyali: gagal menyuarakan keresahan rakyat, absen dalam membongkar akar masalah krisis politik, serta lebih sibuk menjaga citra kelembagaan formal.

Akibatnya, mahasiswa arus utama kehilangan posisi historisnya sebagai intelektual organik. Mereka yang semestinya berdiri di garis depan melawan otoritarianisme justru berperan sebagai mediator jinak yang memperhalus wajah kekuasaan. Kehadiran di ruang-ruang formal Senayan tanpa keberanian konfrontatif hanya mempertegas bahwa politik mahasiswa tengah mengalami domestikasi: dikendalikan, diatur, dan dipelihara dalam batas aman bagi kekuasaan.

Dari perspektif constitutional engineering (Giovanni Sartori, 1997), keberanian mahasiswa mestinya diarahkan untuk menantang kerangka kelembagaan yang timpang. Krisis politik hari ini berakar pada mandulnya sistem ekonomi-politik yang tidak pro terhadap rakyat miskin dan tertindas.. Maka, reformasi kelembagaan melalui rekonstruksi demokrasi konstitusional menjadi agenda mendesak. Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID)  mendorong reformasi total dalam sistem ekonomi-politik yang berorientasi pada kehidupan rakyat sebagai jalan keluar krisis legitimasi dan perombakan menyeluruh terhadap relasi kuasa di negara.

Namun, tanpa keberanian mahasiswa untuk keluar dari politik basa-basi, gagasan besar ini hanya akan terhenti pada level retorika. Gerakan mahasiswa arus utama akan tetap ompong, tidak mampu mengguncang status quo, dan hanya dikenang sebagai generasi yang gagal menunaikan mandat sejarahnya.

Jalan Keluar: Politik Mahasiswa yang Membumi

LMID berpandangan bahwa jalan keluar dari kebuntuan ini adalah mengembalikan politik mahasiswa ke basis rakyat. Mahasiswa tidak boleh hanya menjadi “suara formalitas” yang dipanggil saat negara butuh legitimasi. Politik mahasiswa sejati harus hadir sebagai oposisi moral yang mengakar, bergerak bersama rakyat pekerja, buruh, tani, miskin kota, dan kelompok marjinal lainnya.

Situasi politik saat ini memperlihatkan adanya krisis legitimasi lembaga negara. Survei Indikator Politik Indonesia (Agustus 2025) mencatat bahwa kepercayaan publik terhadap DPR hanya 36 persen, sementara kepercayaan terhadap partai politik anjlok di bawah 30 persen. Bahkan, kepercayaan terhadap lembaga eksekutif dan legislatif juga terus menurun. Kondisi ini menegaskan adanya keterputusan serius antara rakyat dan institusi negara.

Karena itu, LMID menegaskan tuntutan reformasi total sebagai langkah konkret:

  1. Reformasi eksekutif melalui reshuffle kabinet –mencopot menteri-menteri yang gagal, korup, dan terjebak kepentingan oligarki. Reshuffle harus mengedepankan kepentingan rakyat miskin atau tertindas, bukan bagi-bagi kursi untuk partai politik;
  2. Reformasi legislatif melalui pengesahan parliamentary threshold 0 persen –untuk memastikan semua suara rakyat, termasuk rakyat miskin atau tertindas yang memilih partai alternatif, terwakili di parlemen;
  3. Penghentian kriminalisasi aktivis dan pembebasan tahanan politik rakyat –karena demokrasi sejati tidak mungkin terwujud tanpa kebebasan rakyat miskin atau tertindas untuk bersuara dan berorganisasi;
  4. Reformasi Polri –menghentikan fungsi represif terhadap rakyat miskin atau tertindas, mengembalikan kepolisian pada tugas sipil, dan memastikan akuntabilitas melalui mekanisme sipil.

Politik mahasiswa yang membumi adalah politik yang tidak hanya bicara di forum formal, tetapi juga berakar pada penderitaan rakyat, bergerak di jalanan, dan menegakkan demokrasi substantif. Jalan keluar dari krisis bukanlah kompromi elitis di Senayan, melainkan keberanian mahasiswa untuk kembali ke basis rakyat, menegaskan dirinya sebagai bagian dari barisan perlawanan, dan bersama rakyat mendorong lahirnya sistem ekonomi-politik yang baru dan sejati.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//