MAHASISWA BERSUARA: Vandalisme versus Kerusakan Ekologis
Vandalisme dan kerusakan alam adalah dua sisi dari kegagalan demokrasi yang sama: ketidakmampuan sistem politik untuk mengelola konflik sosial.

Nibras Andaru
Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung.
5 September 2025
BandungBergerak.id – Demonstrasi pada dasarnya merupakan ruang demokratis yang dijamin konstitusi bagi rakyat untuk merespons kebijakan ugal-ugalan DPR dan pemerintah, sekaligus mengoreksi jalannya kekuasaan dalam kerangka sistem ketatanegaraan. Namun, dalam praktiknya, ruang konstitusional ini sering kali berubah menjadi arena represif yang justru menelan korban. Peristiwa terbaru memperlihatkan ketegangan tersebut: demonstrasi 28 Agustus 2025 di Jakarta berujung tragedi ketika mobil Barracuda Brimob menerabas kerumunan demonstran dan melindas seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21 tahun), yang kemudian meninggal dunia. Rekaman peristiwa itu viral dan memicu kemarahan publik atas tindakan aparat tersebut. Tragedi ini segera mendorong gelombang solidaritas dan aksi lanjutan di berbagai daerah, yang berujung pada luapan amarah dan bentrokan dengan menyisakan jejak kerusakan seperti fasilitas umum.
Dari titik inilah polemik publik kian menguat. Media sosial dipenuhi pernyataan yang saling berhadapan dan memantik polemik. Satu pihak mengingatkan, "Tolong jangan rusak fasilitas umum," sementara pihak lain menegaskan, "Kerusakan fasilitas umum tidak seberapa dibanding kerusakan ekologis yang merugikan banyak warga akibat kebijakan pemerintah." Pertentangan narasi ini memperlihatkan dilema moral di tengah negara demokrasi yang kian represif: antara menjaga ketertiban dan mengekspresikan perlawanan terhadap kebijakan negara yang merugikan rakyat.
Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah apakah tindakan vandalisme dalam aksi massa dapat dibenarkan? Lebih jauh, perdebatan ini disandingkan dengan kerusakan ekologis yang dilegalkan melalui kebijakan negara, melahirkan polemik horizontal di kalangan sipil yang mempertanyakan mana yang lebih merusak? pembakaran halte dan fasilitas umum lainnya, ataukah penggundulan hutan dan kerugian lainnya yang terjadi secara sistematis?
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Pejabat dan Anggota DPR Lebih Merdeka daripada Guru
MAHASISWA BERSUARA: “Green Dream Social Movement” sebagai Alternatif Permasalahan Pemanasan Global
MAHASISWA BERSUARA: Saatnya Kebijakan Indonesia Berbasis Bukti, Tidak Sekadar Janji
Vandalisme dan Kerusakan Ekologis
Tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan vandalisme dalam demonstrasi sering kali muncul bukan secara murni, melainkan bisa didorong oleh provokasi. Ada kemungkinan besar aparat atau pihak tertentu menyusup secara sistematis untuk mendelegitimasi gerakan, menciptakan kericuhan, dan menggeser fokus isu dari substansi ke permukaan. Namun, di sisi lain, vandalisme juga dapat muncul sebagai bagian dari spontanitas kolektif. Dalam situasi sporadis yang organik ketika emosi massa saling memicu, dapat melahirkan tindakan destruktif tanpa instrumen yang terorganisir.
Dalam kacamata hukum positif, perusakan fasilitas umum tentu tidak dapat dibenarkan. Namun, dalam perspektif sosial-politik yang lebih kompleks, vandalisme sering kali menjadi simbol kemarahan rakyat yang tak terbendung, sebuah bahasa politik jalanan untuk menunjukkan kekecewaan mendalam terhadap negara yang tampak seperti tuli dan buta terhadap aspirasi rakyat. Dengan demikian, vandalisme bukanlah tujuan utama dari gerakan, melainkan ekspresi emosional yang lahir dari situasi yang represif dan tanpa jalan keluar.
Perlu ditekankan bahwa vandalisme tidak lahir di ruang hampa sosial. Sebelum sampai pada titik ledakan amarah yang destruktif, masyarakat sipil berulang kali menempuh jalur konstitusional yang seharusnya menjadi saluran aspirasi dalam negara demokratis: demonstrasi damai, diskusi publik, dialog dengan pemerintah, hingga petisi resmi. Sayangnya, seluruh ruang damai itu kerap tidak digubris, bahkan dibalas dengan tindakan represif aparat yang semakin memperburuk situasi. Dalam kondisi demikian, sebagian massa merasa bahwa jalur damai sudah buntu dan tidak ada lagi cara lain untuk membuat suara mereka didengar.
Maka dari itu, vandalisme sering kali dapat dibaca bukan sekadar perusakan yang tidak bermakna, melainkan simbol peringatan keras atas negara yang tuli mendengar aspirasi rakyat. Ia adalah bahasa terakhir dari kekecewaan kolektif yang lahir ketika demokrasi gagal berfungsi sebagai ruang dialog yang bermakna, berubah menjadi sistem yang hanya menguntungkan segelintir elite politik.
Fasilitas umum sejatinya adalah milik publik yang dibangun dari pajak rakyat, sehingga merusaknya berarti merugikan masyarakat sendiri. Karena itu, secara logis dan moral, tindakan ini sulit dibenarkan. Namun, dalam konteks demonstrasi politik, kerusakan fasilitas umum sering dimaknai sebagai simbol perlawanan terhadap negara yang dianggap tidak lagi mendengar suara rakyat. Ledakan amarah itu biasanya diarahkan pada gedung-gedung pemerintahan, halte, atau infrastruktur yang dianggap mewakili wajah negara yang arogan dan tidak responsif.
Namun, ada batas tegas yang tidak bisa ditawar dalam konteks apa pun: penjarahan atau perusakan milik warga sipil, Tindakan menjarah toko, merusak rumah, atau mengganggu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sama sekali tidak relevan dengan tuntutan politik terhadap DPR maupun Kepolisian. Itu bukan lagi ekspresi politik yang dapat dipahami, melainkan kriminalitas murni yang tidak dapat ditoleransi dan sering kali dimanfaatkan oleh oknum yang tidak memiliki hati nurani dan tidak bertanggung jawab.
Jika vandalisme sipil hanya menghasilkan kerusakan temporer yang secara teknis bisa dibangun kembali dengan biaya tertentu, maka kerusakan ekologis yang dilakukan oleh negara adalah kejahatan jangka panjang yang dampaknya berlangsung lintas generasi. Negara melalui berbagai kebijakan ekstraktif tambang batu bara, kelapa sawit, proyek infrastruktur yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan, hingga pembiaran deforestasi masif telah melakukan eksploitasi besar besaran yang merusak hutan, mencemari sungai, meracuni tanah, dan merampas tanah warga dengan dalih pembangunan nasional.
Kerusakan ini bukan insidental atau akibat kelalaian, melainkan sistematis dan dilembagakan melalui regulasi yang dibuat secara sadar. Dampaknya jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan vandalisme: menghilangkan mata pencaharian tradisional, merusak ekosistem yang butuh ratusan tahun untuk terbentuk, bahkan mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang dengan perubahan iklim dan bencana ekologis. Ironisnya, keuntungan ekonomi dari eksploitasi alam hanya mengalir kepada oligarki politik dan ekonomi, sementara rakyat kecil petani, nelayan, masyarakat adat justru menanggung kerugian terbesar tanpa mendapat kompensasi yang layak.
Standar Ganda Demokrasi Kita
Polemik ini menjadi semakin rumit dan menyesakkan karena demokrasi di Indonesia berjalan dalam wajah yang represif dan penuh kontradiksi. Vandalisme sipil langsung ditindak dengan hukum yang keras, diberitakan secara besar-besaran dengan framing negatif, dan dipakai sebagai alat untuk mencoreng seluruh gerakan rakyat. Media mainstream dengan cepat mengambil angle sensasional tentang kerusakan fasilitas umum, mengabaikan konteks politik dan sosial yang melatarbelakanginya. Sementara itu, kerusakan alam oleh negara dan korporasi dilegalkan atas nama pembangunan nasional, dilindungi oleh kebijakan yang dibuat secara sepihak, bahkan dibiayai oleh uang pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan bersama.
Inilah wajah standar ganda demokrasi kita yang menyakitkan: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Warga sipil dengan cepat dicap anarkis dan kriminal ketika melakukan perlawanan, sementara negara dan korporasi lolos dari tanggung jawab moral dan hukum atas kerusakan yang jauh lebih parah dan sistematis. Demokrasi semacam ini bukan lagi ruang partisipasi yang bermakna, melainkan sistem represif yang menyamarkan otoritarianisme dengan prosedur demokratis yang kosong makna.
Dalam menyikapi dilema moral ini, kita tidak boleh terjebak dalam polarisasi yang menyederhanakan masalah. Vandalisme sipil memang tidak dapat dibenarkan secara hukum dan moral, tetapi konteks sosial dan politiknya perlu dipahami secara mendalam. Ia adalah sinyal kegagalan negara dalam mendengar dan merespons aspirasi rakyat secara proporsional dan bermartabat. Penjarahan terhadap milik warga tidak bisa diberi ruang toleransi sedikit pun, sebab hal itu sudah keluar dari koridor tujuan politik dan masuk ke ranah kriminalitas murni.
Namun, ketika dibandingkan dengan kerusakan alam yang dilakukan negara secara sistematis dan melembaga, skala kerugian materiel dari vandalisme sipil jauh lebih kecil dan bersifat temporer. Kerusakan fasilitas umum dapat diperbaiki dalam hitungan bulan atau tahun, meski biayanya ironisnya kembali ditanggung oleh rakyat melalui pajak dan rentan di korupsi oleh elite politik dalam proyek perbaikannya. Sebaliknya, kerusakan alam membutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun untuk pulih, dan dalam banyak kasus mungkin tidak pernah bisa kembali seperti kondisi semula. Kepunahan spesies, erosi tanah, pencemaran air tanah, dan perubahan iklim adalah kerusakan yang bersifat irreversible.
Selain kerugian materiel, terdapat persoalan yang lebih subtil berupa kerugian non-materiel. ketika kebijakan-kebijakan anomali justru tertoleransi dalam budaya politik dan sosial kita. Fenomena ini bukan semata karena rakyat benar-benar menerima penyimpangan, melainkan karena mereka terbiasa memakluminya. Ungkapan sederhana seperti “namanya juga pejabat” menjelma menjadi justifikasi yang terinternalisasi dalam alam bawah sadar lintas generasi dan berimplikasi pada pembentukan pola pikir permisif yang menumpulkan daya kritis, melembagakan ketidakadilan, serta menormalisasi penyimpangan sebagai hal lumrah. Normalisasi yang tidak sehat ini sama berbahayanya dengan kerusakan ekologis di ruang geografis tertentu, sebab pola pikir permisif tersebut melahirkan kerusakan ekologis yang lebih luas yakni kerusakan pada ekologi kesadaran kolektif bangsa.
Dan perlu digarisbawahi dari sisi aktor dan kepentingan, vandalisme tidak memberi keuntungan ekonomi atau politik bagi pelakunya-ia dapat murni merupakan ekspresi frustrasi tanpa kalkulasi untung-rugi. Sebaliknya, eksploitasi alam justru menguntungkan segelintir elite yang menggunakannya untuk memperkuat posisi politik dan ekonomi mereka, menciptakan lingkaran setan antara kekuasaan dan modal untuk memenangkan kontestasi politik yang menggerus kedaulatan rakyat.
Karena itu, dilema moral ini seharusnya tidak membutakan kita terhadap akar masalah yang sesungguhnya. Fokus berlebihan pada vandalisme sementara mengabaikan kerusakan ekologis yang sistematis adalah bentuk pengalihan isu yang berbahaya. Demokrasi hanya akan sehat dan bermartabat jika hukum ditegakkan secara adil dan proporsional: menolak vandalisme sipil sambil memberikan ruang dialog yang bermakna bagi aspirasi rakyat, tetapi sekaligus menuntut pertanggungjawaban negara atas kerusakan ekologis yang jauh lebih serius dan mengancam masa depan bangsa.
Pada akhirnya, vandalisme dan kerusakan alam adalah dua sisi dari kegagalan demokrasi yang sama: ketidakmampuan sistem politik untuk mengelola konflik sosial secara dewasa dan menciptakan ruang dialog yang adil bagi semua pihak. Solusinya bukan polarisasi atau saling menyalahkan, melainkan reformasi mendasar terhadap sistem politik yang lebih responsif, transparan, dan bertanggung jawab kepada rakyat dan lingkungan hidup sebagai warisan bersama generasi mendatang. Namun di luar dari kerusakan materiel yang kasat mata, terdapat aspek non-materiel yang tak kalah berbahaya yakni pola pikir permisif yang menormalisasi penyimpangan hingga dapat menumpulkan daya kritis. Maka dari itu, membenahi demokrasi tidak cukup hanya dengan memperbaiki institusi dan regulasi, tetapi juga menata kesadaran kolektif bangsa agar menjadi fondasi kekuatan untuk mengawal demokrasi kita dalam merespons ketidakadilan di negeri ini.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB