• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: “Green Dream Social Movement” sebagai Alternatif Permasalahan Pemanasan Global

MAHASISWA BERSUARA: “Green Dream Social Movement” sebagai Alternatif Permasalahan Pemanasan Global

Gerakan sosial diperlukan untuk mendorong kebijakan dan gaya hidup kolektif yang lebih berkelanjutan. Mendorong kolaborasi masyarakat, sektor bisnis, dan pemerintah.

Marcos Soares da Silva

Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Ilustrasi. Kehidupan manusia amat tergantung pada alam dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. (Foto: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

28 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Dewasa ini isu pemanasan global sudah menjadi sebuah ancaman yang serius bagi semua masyarakat di seluruh dunia. Masyarakat mulai merasakan perubahan iklim yang mengakibatkan suhu semakin panas, hingga aktivitas para petani di berbagai negara di dunia terhambat. Masyarakat kecil seperti petani, nelayan, dan lainnya akan menjadi target dari kondisi dunia yang seperti ini. Salah satu cara untuk mencegah dampak yang lebih besar dari pemanasan global adalah dengan bekerja sama dengan pemerintah dan gerakan sosial di seluruh dunia yang secara sukarela peduli akan perubahan iklim.

Baik aktivitas ekonomi modern maupun aktivitas lain telah menyebabkan potensi terjadinya global warming yang semakin parah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibatnya, pencemaran lingkungan yang dihasilkan oleh perkembangan industri telah memicu sejumlah besar tindakan yang diambil oleh masyarakat di seluruh dunia untuk mencegah dampak global warming yang lebih luas. Eksploitasi sumber daya alam, gaya hidup yang tidak berkelanjutan, dan emisi karbon yang tinggi juga menyebabkan pemanasan global yang semakin meningkat. Maka diperlukan gerakan sosial yang mampu mendorong perubahan individu dan sistem secara bersamaan untuk menghadapi bencana ini.

Green Dream Social Movement (GDSM) hadir sebagai salah satu alternatif, solusi yang ditawarkan oleh Green Dream Social Movement terdiri dari tiga pilar utama: transformasi gaya hidup ramah lingkungan, revolusi bisnis berkelanjutan, dan pendukung kebijakan hijau. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong bisnis, pemerintah, dan masyarakat untuk mengadopsi praktik yang lebih berkelanjutan. Berdasarkan teori Framing Processes and Social Movements: An Overview and Assessment (Benford & Snow, 2020). GDSM membantu generasi mendatang mewujudkan dunia yang lebih ramah lingkungan dan sehat melalui strategi yang inovatif dan berbasis aksi nyata.

Dengan pertimbangan atas ancaman perubahan iklim tersebut, apa yang akan dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencegah dampak pemanasan global?

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Nyaman dengan Teknologi IoT, Lupa Keamanan Data
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Pejabat dan Anggota DPR Lebih Merdeka daripada Guru
MAHASISWA BERSUARA: Naturalisasi, Transformasi, dan Mimpi Timnas Indonesia Menuju Piala Dunia 2026

Green Dream Social Movement

Sesuai dengan teori keadilan iklim (Climate Justice), yang menekankan pentingnya pembagian tanggung jawab global dalam mengatasi perubahan iklim, pemerintah Indonesia harus menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan untuk memperkuat komitmennya terhadap kesepakatan internasional seperti Perjanjian Paris (Jenkins et al., 2021). Pengembangan energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, adalah salah satu langkah strategis yang dapat diambil. Ini sejalan dengan teori transisi energi, yang mengusulkan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan untuk sistem energi global (Farla et al., 2020).

Sebagaimana dijelaskan dalam teori carbon sequestration, untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan meningkatkan daya serap karbon, pemerintah harus memperkuat kebijakan perlindungan hutan dan lahan. Dalam teori perubahan perilaku, peningkatan kesadaran masyarakat dan sektor swasta tentang pentingnya langkah-langkah untuk mitigasi perubahan iklim juga sangat penting (Biermann et al., 2022). Teori ini menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan edukasi dalam keberhasilan kebijakan lingkungan (Biermann et al., 2022). Terakhir, sesuai dengan teori inovasi teknologi yang menekankan betapa pentingnya investasi pada inovasi untuk memecahkan masalah lingkungan, Indonesia harus meningkatkan investasi dalam riset dan teknologi ramah lingkungan untuk menghasilkan solusi inovatif yang dapat memitigasi dampak pemanasan global (Nemet, 2021).

Artinya, pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan nyata untuk menghentikan efek pemanasan global. Pemerintah harus berkonsentrasi pada pengurangan emisi gas rumah kaca dan berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon. Teori perubahan sistem sosial-ekologi adalah salah satu teori yang mendasari langkah ini. Teori ini menjelaskan bahwa untuk mengurangi kerentanannya terhadap perubahan iklim, dibutuhkan pendekatan holistik yang menggabungkan elemen sosial, ekonomi, dan ekologi. Seperti yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen pada tahun 2030 melalui penggunaan energi terbarukan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan efisiensi energi.

Selain itu, untuk meningkatkan penyerapan karbon, pemerintah juga mengembangkan kebijakan penghijauan melalui reforestasi dan restorasi ekosistem, seperti yang ditunjukkan oleh program Restorasi Ekosistem Gambut salah satu badan yang dibentuk oleh Presiden Jokowi pada tahun 2016 yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekosistem gambut yang rusak di wilayah Indonesia. Mengurangi ketergantungan pada energi fosil telah dicapai melalui penerapan teknologi industri yang ramah lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan untuk pembangkit listrik dan transportasi yang lebih efisien. Selain itu, program adaptasi perubahan iklim melindungi masyarakat dan ekosistem dengan membangun infrastruktur yang tahan terhadap bencana, seperti tanggul laut di wilayah yang rawan banjir. 

Eksploitasi sumber daya alam dan ketergantungan manusia pada energi berbasis fosil menyebabkan pemanasan global yang terus meningkat. Gerakan sosial yang mampu mendorong perubahan gaya hidup secara kolektif dan memaksa pemerintah dan sektor bisnis untuk mengadopsi praktik berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Salah satu inisiatif baru adalah Green Dream Social Movement (GDSM). Tujuan gerakan ini adalah untuk membuat "mimpi hijau", yaitu masa depan di mana orang hidup dengan cara yang sesuai dengan lingkungan melalui gaya hidup berkelanjutan, kebijakan yang ramah lingkungan, dan teknologi hijau. Gerakan ini mengacu pada teori Social-Ecological Systems and Resilience (Folke et al., 2021), yang menekankan bahwa jika kita ingin mengurangi pengaruhnya terhadap perubahan iklim, maka kita perlu mempertimbangkan bagaimana elemen sosial, ekonomi, dan ekologi berinteraksi satu sama lain dalam sistem yang lebih holistik dan adaptif, dan gerakan-gerakan sosial modern tentu harus berusaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang prinsip keberlanjutan, bukan hanya bertujuan untuk perubahan kebijakan. Metode GDSM ini bertujuan untuk mengedukasi, memobilisasi, dan memberikan solusi konkret untuk individu, komunitas, dan sektor bisnis dalam upaya meminimalkan dampak pemanasan global.

Pergerakan sosial dengan visi yang jelas dan tindakan nyata menjadi sangat penting sebagai tanggapan terhadap tantangan global yang semakin kompleks. Green Dream Social Movement adalah salah satu organisasi yang berusaha menawarkan solusi yang berkelanjutan. Tidak hanya perubahan lingkungan, gerakan ini memperhatikan aspek sosial yang mendalam juga. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang dasar gerakan ini, mari kita lihat tiga pilar utamanya.

Transformasi Lifestyle Hijau

Mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan adalah tujuan utama dari GDSM. (Saleh, A., 2021), gerakan sosial merupakan partisipasi masyarakat dalam menyuarakan kepentingan masyarakat dan masyarakat sosial atau dapat disebut juga sebagai pengeras suara rakyat agar suara mereka didengar dan keinginan mereka didengar oleh pemerintah. Akibatnya, kampanye atau gerakan-gerakan sosial yang seperti ini akan membuat program seperti "Green Points", di mana orang-orang atau gerakan sosial yang menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan (seperti menggunakan energi terbarukan di rumah dan kompleks masing-masing, seruan bersepeda ke tempat kerja, atau masifkan mengurangi penggunaan plastik) akan mendapatkan insentif seperti diskon belanja, tiket transportasi publik gratis, atau hadiah lainnya. Di Jepang, sistem "My Earth Points", yang memberikan hadiah kepada komunitas atau perseorangan yang berhasil mengurangi jejak karbon mereka, adalah contoh nyata dari gagasan ini.

Revolusi Bisnis Hijau

Dengan mendorong bisnis untuk mengadopsi praktik berkelanjutan, pilar kedua menargetkan sektor bisnis. Berdasarkan teori Environmental Justice and Social Movements (Schlosberg, 2021), kapitalisme cenderung mengeksploitasi alam demi keuntungan, sehingga perlu ada tekanan agar perusahaan lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. GDSM akan bekerja sama dengan pemerintah untuk membuat kebijakan yang mendukung bisnis yang menerapkan sistem ekonomi sirkular, mengurangi limbah, atau menggunakan energi terbarukan. Contohnya, pajak karbon telah diterapkan di negara-negara seperti Swedia dan Denmark untuk mendorong perusahaan untuk menggunakan energi hijau. Ini secara bertahap mengurangi emisi gas rumah kaca.

Advocacy for Green Policy

Pilar ketiga adalah advokasi kebijakan yang bertujuan untuk menekan pemerintah untuk menerapkan regulasi yang lebih ketat yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam dan pencemaran lingkungan. Gerakan sosial yang berhasil harus dapat mengorganisasi sumber daya seperti media, dana, dan jaringan komunitas untuk meningkatkan tekanan pada pembuat kebijakan (Benford & Snow, 2020). GDSM akan mengadakan kampanye global seperti "Petisi Impian Hijau", di mana orang dapat berpartisipasi dalam petisi online untuk mendorong kebijakan yang lebih ketat terkait pengembangan energi terbarukan, perlindungan hutan, dan emisi karbon. Gerakan Fridays for Future, yang didirikan oleh Greta Thunberg, adalah contoh sukses dari pendekatan ini, karena telah menarik perhatian dunia dan mendorong banyak negara untuk berkomitmen yang lebih kuat lagi terhadap perjanjian iklim Paris.

Kesimpulan

Pemanasan global menjadi ancaman besar bagi kehidupan manusia, yang berdampak pada banyak bidang, terutama ekonomi dan pertanian. Ketergantungan pada energi fosil dan aktivitas eksploitasi sumber daya alam memperburuk keadaan, yang mengakibatkan peningkatan suhu global. Oleh karena itu, gerakan sosial diperlukan untuk mendorong kebijakan dan gaya hidup kolektif yang lebih berkelanjutan. Tiga pilar utama Green Dream Social Movement (GDSM) adalah transformasi gaya hidup ramah lingkungan, revolusi bisnis berkelanjutan, dan pendukung kebijakan hijau. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, mendorong perilaku konsumen, dan mendorong perusahaan dan pemerintah untuk bertindak lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, GDSM menggunakan pendekatan yang menggabungkan teori Resource Mobilization dan New Social Movements. Dalam pilar pertama, gerakan ini menggunakan insentif untuk mendorong orang untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Pilar kedua menargetkan sektor bisnis, mendorong mereka untuk menerapkan praktik berkelanjutan dan mendukung kebijakan hijau. Terakhir, advokasi kebijakan hijau berkonsentrasi pada meningkatkan tekanan kepada pemerintah untuk menetapkan regulasi yang lebih ketat terkait pengelolaan sumber daya alam dan pengurangan emisi karbon. GDSM berusaha menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi generasi mendatang dengan kolaborasi antara masyarakat, sektor bisnis, dan pemerintah.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dengan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan dan beralih ke sumber energi terbarukan. Upaya ini selaras dengan kesepakatan internasional seperti Perjanjian Paris dan teori transisi energi, yang mendorong penggunaan energi bersih dan berkelanjutan. Penerapan kebijakan penghijauan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan juga menjadi langkah strategis untuk meningkatkan daya serap karbon. Dalam menghadapi tantangan global ini, perlu adanya pendekatan holistik yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, sektor bisnis, dan pemerintah untuk menciptakan solusi yang efektif dalam mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//