MAHASISWA BERSUARA: Ketika Pejabat dan Anggota DPR Lebih Merdeka daripada Guru
Di saat anggota DPR bungah karena kenaikan pendapatannya, para guru dan dosen honorer masih gigit jari dengan gaji seadanya.

Adi Marsiela
Koordinator Koalisi CekFakta.com sejak Februari 2022
26 Agustus 2025
BandungBergerak - Agustus ini Indonesia menggenapkan umurnya yang ke-80 tahun. Di momen kemerdekaan ini justru tersiar kabar memprihatinkan. Kabar terbaru beredar bahwa pendapatan DPR meningkat dengan jumlah fantastis. Jika dirata-ratakan pendapata wakil rakyat mencapai 3 juta rupiah per hari. Di sisi lain terdapat satu profesi yang jasanya sangat besar tetapi sering kali bermasalah mengenai gaji, yakni guru.
Kabar kenaikan pendapatan anggota DPR menuai kecaman dari warganet. Saya bertanya-tanya, apakah kenaikan gaji yang diterima oleh anggota DPR sudah sesuai dengan kinerja? Dan apakah negara benar-benar serius dalam mengurusi pendidikan, khususnya meningkatkan kualitas dan gaji guru?
DPR berdalih bahwa kenaikan pendapatan mereka terjadi sebagai kompensasi dari rumah dinas. Mengutip Kompas, Puan Maharani selaku Ketua DPR RI 2024-2029 membantah bahwa kenaikan gaji anggota DPR yang mencapai 3 juta rupiah per hari. Sementara itu, Anggota Komisi I DPR TB Hasanudin mengatakan bahwa gaji bersih yang diterima anggota DPR bisa mencapai 100 juta rupiah per bulannya karena tidak ada rumah dinas untuk anggota DPR.
Alasan di balik naiknya pendapatan DPR sebagai kompensasi rumah dinas rasanya tidak masuk akal dan terkesan lelucon di saat kinerja anggota dewan akhir-akhir ini melebihi kata lucu. Kita bisa melihat bagaimana UU TNI disahkan secepat kilat tanpa persetujuan rakyat sipil, bahan draftnya saat itu tidak tersedia di laman DPR RI. Sementara RUU Perampasan Aset yang sudah terbentuk mulai 2008 hingga saat masih mangkrak karena tidak masuk Prolegnas Prioritas 2025.
Setelah rampai perbincangan kenaikan pendapatan DPR, baru-baru ini beredar video para wakil rakyat berjoget gembira saat Sidang Tahunan 2025. Mengutip Detik.com, Adies Kadir selaku Wakil DPR RI mengklarifikasi bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan di akhir sidang, bukan di saat sidang.
Nasib Guru
Lain halnya dengan nasib para guru. Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagaimana dikutip dari Tempo, menyoroti rendahnya gaji guru dan dosen yang merupakan tantangan keuangan negara. Sri Mulyani mempertanyakan apakah beban kenaikan gaji harus negara yang menanggung atau terdapat partisipasi masyarakat? Walau pernyataan tersebut tidak mengatakan secara spesifik bahwa guru adalah beban negara, tetapi secara tidak langsung sersirat bahwa guru menjadi beban bagi keuangan negara. Tidak etis seorang menteri mengeluarkan pernyataan itu di tengah kondisi memprihatinkan di dunia keguruan.
Di saat yang sama, anggaran pendidikan dalam RAPBN 2026 dipotong hingga 335 triliun rupiah akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Imam Zanatul Haeri menilai, Sri Mulyani memang sejak lama berupaya memangkas anggaran pendidikan. Ia merujuk pada sejumlah pernyataan Menkeu, seperti sindiran soal tunjangan guru yang besar tapi dinilai tidak berkualitas (10 Juli 2018), usulan untuk mengkaji ulang alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan (4 September 2024), dan pertanyaan Sri Mulyani soal apakah negara harus menanggung gaji guru dan dosen.
Belum lagi dengan pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang turut mewarnai dunia guru. Mengutip Detik.com, Muhadjir mengatakan guru merupakan profesi yang mengajarkan ilmu kepada orang lain. Ia meminta guru-guru, terutama honorer, untuk bersyukur apabila menerima gaji kecil sebab profesi ini sebagai jalan menuju surga.
Pernyataan ini konyol. Dalam ajaran agama, khususnya Islam, hal semacam ini merupakan eksploitasi karena memaksa orang lain untuk ikhlas. Sesuatu bisa dikatakan ikhlas apabila yang bersangkutan menerima dengan sepenuh hati tanpa paksaan. Realitasnya, data NoLimit Indonesia 2021 menyatakan bahwa 42 persen guru terjerat pinjaman online ilegal.
Nasib guru di negeri tercinta ini sungguh mengenaskan dengan gaji seadanya. Kualitas mereka selalu dipertanyakan, sementara keseriusan negara dalam mensejahterakan tenaga pendidik pun jadi persoalan. Para pejabat yang mengatasnamakan rakyat pada kenyataannya bekerja tidak mewakili rakyat. Terbukti dengan munculnya kebijakan-kebijakan ngaco, kinerja mereka kebanyakan tidur dan joget. Mereka justru mendapatkan gaji dan tunjangan fantastis. Apabila fenomena ini terus menerus terjadi, maka slogan “Indonesia bubar” bisa saja terjadi. Akan semakin banyak tenaga pendidik dengan kualitas di bawah rata-rata dan rakyat sulit menerima pendidikan berkualitas.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Kata yang Bersuara dan Kebijakan yang Bisu
MAHASISWA BERSUARA: Pendidikan untuk Siapa?
Bukan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Menghadapi fenomena ini, masyarakat, universitas, dan pemerintah harus saling bersinergi. Anggaran pendidikan jangan sampai disunat. Sebaliknya, anggaran pendidikan harus naik setiap tahunnya. Dengan demikian tenaga pendidik menjadi sejahtera dan rakyat mampu mencicipi pendidikan dengan kualitas yang layak. Jika alasan di balik pemotongan anggaran pendidikan adalah korupsi merajalela di instansi pendidikan, maka solusinya bukan berarti harus memotong anggaran. Diperlukan tim khusus untuk mengawasi penggunaan anggaran pendidikan agar menjadi transparan.
Universitas perlu berhenti menambah jumlah fakultas keguruan. Saat ini, hampir setiap kampus membuka fakultas tersebut, meskipun seleksi masuknya cenderung sangat longgar dibandingkan fakultas kedokteran atau teknik. Fenomena ini harus menjadi perhatian serius para pimpinan perguruan tinggi. Jangan sampai demi mengejar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan memanfaatkan tingginya minat terhadap jurusan keguruan, kampus justru melonggarkan standar penerimaan. Jika dibiarkan, hal ini akan berdampak pada rendahnya kualitas lulusan yang kelak menjadi guru.
Berhentilah menyebut guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Ucapan ini seolah melegitimasi bahwa guru harus hidup dalam kesulitan ekonomi dan tidak berhak sejahtera. Banyak yang menganggap pernyataan itu sejalan dengan ajaran agama, bahwa mengajar adalah amal yang akan dibalas surga. Namun, pandangan seperti ini bisa menjadi bentuk eksploitasi, terutama jika ditujukan kepada mereka yang sedang berjuang secara ekonomi. Dalam ajaran agama mana pun eksploitasi tidak pernah dibenarkan.
Lihat bagaimana negara-negara seperti Jepang yang memprioritaskan pendidikan pasca tragedi bom atom tahun 1945. Malaysia dan Singapura juga telah lama menunjukkan keseriusan dalam membangun pendidikan demi mencetak SDM unggul.
Memang, dampak dari investasi pendidikan tidak akan langsung terlihat dalam jangka pendek. Namun sejarah membuktikan, banyak negara maju berhasil berkat komitmen mereka terhadap pendidikan. Karena itu, pemerintah tidak boleh mengulangi kesalahan dengan memangkas anggaran pendidikan. Langkah seperti ini jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB