• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Pendidikan untuk Siapa?

MAHASISWA BERSUARA: Pendidikan untuk Siapa?

Kita benar-benar membutuhkan pendidikan yang bersifat inklusif, artinya semua golongan masyarakat mampu mengaksesnya tanpa pandang bulu apa pun kondisinya.

Muhamad Fikry Abrar Yoga Wardhana

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

Ilustrasi komersialisasi pendidikan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

6 September 2024


BandungBergerak.id – Salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai yang termuat dalam UUD 1945. Tapi apakah sekarang semua masyarakat Indonesia bisa mendapatkan pencerdasan?

Liberalisasi pendidikan sejatinya sudah dimulai sejak zaman rezim Soeharto, tepatnya pada tahun 1994. Hal ini bermula ketika pemerintahan Indonesia saat itu bergabung dengan World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia. Keikutsertaan Indonesia dengan WTO telah diratifikasi dalam UU No.7 tahun 1994 tentang “Agreement Establising the World Trade Organization”.

Setelah rezim Soeharto runtuh, pendidikan di Indonesia semakin jelas arahnya menuju liberalisasi pendidikan yang dipertegas ketika pemerintah menandatangani perjanjian General Agreement on Trade in Service (GATS). Perjanjian tersebut memasukkan 12 sektor ke dalam komoditas perdagangan, salah duanya ialah, sektor Pendidikan dan Kesehatan.

Hal ini semakin diperjelas melalui PP No. 77 tahun 2007 yang mengatakan bahwa pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing. Maka secara tidak langsung pemerintah menganggap bahwa sektor pendidikan dapat di komersialisasikan. Pendidikan juga bisa menjadi ladang untuk meraup laba sebesar-besarnya.

Tak heran, apabila saat ini banyak pihak-pihak yang membuka lembaga pendidikan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini tentunya telah melenceng dari cita-cita luhur bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Manfaat Operasi Plastik
MAHASISWA BERSUARA: Pemerintah Perlu Meninjau Efektivitas Whoosh
MAHASISWA BERSUARA: Kritik dalam Lagu Coklat Karya Pure Saturday

Berdampak Pada Biaya Pendidikan

Saat ini kita merasakan bahwa biaya pendidikan semakin melambung tinggi. Bahkan menurut BPS, tiap tahun biaya pendidikan di Indonesia selalu naik 10-20%, dan di prediksi kenaikan tersebut akan terus melesat hingga 10-20 tahun yang akan datang. Hal ini tentunya bertentangan dengan sekolah gratis yang diatur dalam Pasal 34 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di mana pemerintah perlu menjamin program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya apa pun. Dalam hal ini negara harus tanggung jawab serta memiliki kewajiban untuk memenuhi hak fundamental warga negaranya dalam pendidikan. Karena, secara yuridis warga negara berhak untuk mendapatkan akses pendidikan. Namun kenyataannya, negara terkesan cuek bahkan tidak peduli terhadap situasi ini. Hal ini dibuktikan dengan biaya pendidikan yang makin tinggi, masih banyak anak putus sekolah serta berhenti kuliah karena alasan ekonomi dan melempar tanggung jawab itu kepada pihak swasta.

Di sini kita benar-benar membutuhkan pendidikan yang bersifat inklusif, artinya semua lapisan atau golongan masyarakat mampu mengaksesnya, tanpa pandang bulu, apa pun kondisinya. Pendidikan inklusif menekankan bahwa semua orang memiliki hak untuk menerima pendidikan yang setara, relevan, dan bermanfaat. Dengan tujuan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu, termasuk individu yang mengalami keterbatasan ekonomi, dan individu yang berkebutuhan khusus. Hal ini tentunya sejalan dengan UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang juga menegaskan bahwa, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kata “setiap” di awal pasal bermakna bahwa semua lapisan masyarakat apa pun kondisinya berhak untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak, baik pendidikan formal maupun nonformal.

Di Indonesia saat ini pendidikan sudah berubah sifatnya. Yang seharusnya bersifat inklusif malah menjadi eksklusif, yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, malah memperkaya pemilik usaha, yang seharusnya untuk memerdekakan, malah membuat sengsara. Pendidikan juga menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh masyarakat, khususnya bagi kelas menengah ke bawah. Lantas, untuk siapakah pendidikan kita saat ini?

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//