• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Pemerintah Perlu Meninjau Efektivitas Whoosh

MAHASISWA BERSUARA: Pemerintah Perlu Meninjau Efektivitas Whoosh

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh berpotensi memberi dampak jangka panjang yang merugikan.

Hafidha Fakhriyati

Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Penumpang turun di stasiun kereta cepat Jakarta Bandung Halim, Jakarta, 27 September 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 September 2024


BandungBergerak.id – Pembangunan kereta cepat Whoosh rute Jakarta-Bandung diklaim menjadi kereta cepat pertama di Indonesia dan Asia Tenggara dengan kecepatan mencapai 350 km/jam. Sejak peluncurannya, kereta cepat ini diharapkan menjadi solusi terhadap masalah kemacetan dan mempercepat mobilitas antar dua kota besar tersebut. Proyek tersebut selesai selama tujuh tahun dan mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) hingga sekitar US$7,28 miliar, setara Rp116 triliun (Databoks, 2024).

Biaya investasi yang sangat tinggi dan beberapa tantangan operasional yang muncul, menimbulkan pertanyaan apakah moda transportasi ini benar-benar memberikan manfaat yang sesuai dengan harapan awal? Selain itu, biaya untuk pembangunan proyek tersebut menggunakan pinjaman dari China sehingga memunculkan komentar bahwa Indonesia telah masuk ke dalam “jebakan utang China”. Berdasarkan paparan di atas, pemerintah perlu meninjau kembali efektivitas penggunaan moda transportasi kereta cepat Whoosh rute Jakarta-Bandung.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Perdagangan via Media Sosial, Implikasinya pada Perekonomian Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Penghapusan Hukuman Mati Berdasarkan Pancasila
MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Manfaat Operasi Plastik

Bermasalah Sedari Awal

Sebelum digarapnya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), pada Agustus 2015, pemerintah menunjuk Boston Consulting Group (BCG) untuk mengkaji proposal yang diajukan Cina dan Jepang terkait proyek KCJB. Diketahui BCG menolak proposal yang diajukan oleh China tetapi pada saat itu Rini Soemarno, Menteri BUMN periode 2014-2019, bersikeras untuk mewujudkan proyek kerja sama antara Cina dan Indonesia tersebut (Kadata, 2021).

Proyek ini sudah mencerminkan adanya keraguan dari mulai perencanaan proyek tersebut. Mantan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, tidak setuju dengan proyek KCJB karena sedari awal proyek KCJB tidak tercantum di Kementerian Perhubungan. Proyek ini merupakan usaha patungan antara konsorsium BUMN, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok, Beijing Yawan HSR Co. Ltd dengan skema business to business (B2B) (KCIC, 2023).

Pembangunan Whoosh Belum Efektif

Pembangunan proyek KCJB, menyebabkan kerugian materiel dan imateriel yang dialami oleh negara. Pada awal pembangunan proyek ini, China dipilih sebagai partner bisnis karena dalam proposalnya mereka menjamin jika kereta cepat yang ditawarkannya tidak akan membebani ABPN Indonesia. Hal tersebut dilanggar oleh pemerintah Indonesia dan perusahaan China, yang meminta pembayaran utang dan bunga mendapatkan jaminan negara. Pada akhirnya pada Perpres 109/2020, pemerintah menjadikan KCJB sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN). Dalam perpres itu, KCJB tercatat sebagai proyek ke-83 dari 201 PSN yang direncanakan pemerintah (Peraturan.BPK, 2020).

Proyek tersebut juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengganggu kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya. Pada Maret 2020, Komite Keselamatan Konstruksi (Komite K2) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menghentikan pengerjaan proyek pembangunan KCJB yang berlaku selama 14 hari kerja. Komite K2 juga sudah melayangkan surat dengan Nomor 13 K.03.03-Komite K2/23, dalam surat itu proyek KCJB telah melakukan kesalahan yaitu, proyek ini kurang memperhatikan kelancaran akses keluar-masuk jalan tol, pembiaran penumpukan material yang mengganggu fungsi drainase dan keselamatan pengguna jalan, pengelolaan sistem drainase yang buruk, pembangunan pilar Light Rail Transit (LRT) tanpa izin, sampai persoalan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) (Kompas, 2020). Walaupun proyek tersebut telah selesai hingga akhirnya beroperasi, namun beberapa pihak menganggap bahwa proyek kereta cepat ini sudah bermasalah sejak awal perencanaannya. 

Pada awal pengoperasian KCJB, terjadi berbagai masalah teknis seperti keterlambatan, gangguan operasional, dan ketidakstabilan jadwal keberangkatan sehingga menimbulkan keraguan publik terhadap kelayakan proyek tersebut. Kereta cepat Whoosh sering mengalami keterlambatan dengan alasan gangguan operasional. Di awal peresmiannya KA Feeder KCJB sering terlambat yang mengakibatkan sebanyak penumpang KCJB tertinggal di Stasiun Bandung dan tidak dapat naik KCJB yang berangkat dari Stasiun Padalarang. Lalu, akibat intensitas hujan yang tinggi kereta cepat berubah menjadi kereta lambat sehingga menyebabkan keterlambatan.

Menurut General Manager Corporate Secretary KCIC, Eva Chairunisa, menjelaskan bahwa petugas menerima sinyal peringatan dari alarm rainfall monitoring system yang mendeteksi intensitas hujan yang tinggi di KM 41+629 hingga KM 80+845 atau antara Stasiun Karawang dan Padalarang. Menurutnya untuk memastikan keselamatan perjalanan penumpang, kereta cepat Whoosh dibatasi kecepatannya pada wilayah yang mengalami hujan intensitas tinggi (Antaranews, 2024). Masalah ini menimbulkan pertanyaan bahwa perencanaan dan pengembangan infrastruktur kereta cepat Whoosh belum sepenuhnya mempertimbangkan faktor cuaca, terutama di negara Indonesia yang beriklim tropis. Kecepatan dan ketepatan waktu seharusnya menjadi keunggulan utama moda transportasi ini, namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

Kurangnya Daya Tarik Penumpang terhadap Whoohs

Lokasi stasiun KCIC tidak strategis karena terletak jauh dari pusat kota dan minimnya konektivitas dengan transportasi publik lainnya, telah menjadi salah satu kelemahan utama yang mengurangi efektivitas layanan ini. Stasiun kereta cepat Jakarta terletak di Halim dan Bandung terletak di Tegalluar, keduanya tidak berada di lokasi yang strategis bagi sebagian besar pengguna. Pengguna yang akan menuju pusat kota membutuhkan waktu dan biaya ekstra. Walaupun telah disediakan fasilitas pengantar atau feeder yang tersedia di Stasiun Padalarang menuju Stasiun Bandung, tetapi hal tersebut tidak menjadikan alternatif bagi pengguna yang mencari kemudahan dan kenyamanan. Kereta cepat Whoosh hanya transit selama tiga menit di Stasiun Padalarang, untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, pengguna menjadi tergesa-gesa, apalagi untuk menuju KA feeder perlu berjalan cukup jauh. Secara jangka panjang, lokasi stasiun yang tidak strategis ini mengurangi peminat dan daya tarik untuk menggunakan kereta cepat.

Untuk rute Jakarta-Bandung banyak sekali alternatif moda transportasi selain kereta cepat Whoosh dan harga yang relatif lebih murah. Harga tiket kereta cepat Whoosh bervariasi tergantung pada hari dan jam keberangkatan. Untuk di hari weekdays harga tiketnya Rp150.000-Rp250.000, namun untuk di hari weekend harga tiketnya bisa mencapai Rp250.000-Rp300.000 dengan kelas ekonomi premium, waktu yang ditempuh sekita 30-40 menit dari Stasiun Halim menuju Stasiun Tegalluar begitu juga sebaliknya.

Keunggulan dari kereta cepat ini adalah kecepatan dan efisiensi waktu. Akan tetapi, untuk menuju Stasiun KCJB membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan perjalanan menuju Bandung atau Jakarta. Coba kita bandingkan dengan moda transportasi lainnya. Ada KA Argo Parahyangan dengan harga tiket Rp150.000-Rp250.000, waktu tempuh selama tiga jam berangkat dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Bandung begitu juga sebaliknya. Kedua stasiun berada di pusat kota, namun jadwal keberangkatannya tidak ada setiap waktu. Untuk harga tiket KA Argo Parahyangan ini mengalami kenaikan setelah dioperasikannya kereta cepat Whoosh, mungkin hal tersebut sebagai upaya pemerintah agar masyarakat beralih menggunakan kereta cepat Whoosh. Lalu, ada mobil travel dengan harga tiket Rp80.000-Rp200.000, waktu tempuh selama tiga jam atau bergantung pada situasi lalu lintas. Keunggulan moda transportasi ini karena berada di hampir semua lokasi di kota yang dituju sehingga memudahkan pengguna untuk lebih dekat dengan tempat tujuan. Sayangnya waktu tempuh tidak pasti karena bergantung pada situasi lalu lintas.

Bagi beberapa pengguna, moda transportasi selain kereta cepat Whoosh sudah menawarkan harga yang lebih terjangkau dengan fasilitas yang cukup memadai. Moda transportasi alternatif selain kereta cepat Whoosh telah memberikan kemudahan dan kecepatan juga bagi pengguna sehingga tidak menjadikan kereta cepat Whoosh spesial. Target pasar kereta cepat Whoosh adalah kalangan menengah ke atas sehingga bagi kalangan menengah ke bawah lebih memilih moda transportasi yang lain. Bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah, harga tiket KCIC masih dianggap terlalu tinggi dan tidak terjangkau.

Kesimpulan

Proyek KCJB yang seharusnya menjadi bukti kemajuan dan transportasi modern justru menjadi contoh kegagalan pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah. Pemerintah terlihat tergesa-gesa dan memaksakan dalam mengambil keputusan untuk pembangunan proyek ini. Mungkin memang dari awal proyek ini tidak menargetkan rakyat Indonesia, tetapi hanya bisnis semata antara pemerintah dan para pengusaha. Dengan demikian, kerugian yang dialami oleh negara akibat dari pembangunan proyek KCJB sangat nyata dan berpotensi memberikan dampak jangka panjang yang merugikan. Penting bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah perbaikan agar kepercayaan publik dan reputasi negara dapat dipulihkan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//