• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Perdagangan via Media Sosial, Implikasinya pada Perekonomian Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Perdagangan via Media Sosial, Implikasinya pada Perekonomian Indonesia

Social commerce atau perdagangan via media sosial yang menawarkan barang impor dengan harga sangat murah dapat merugikan UMKM di Indonesia.

Adiska Ajeng Fatia

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi kemudahan transaksi daring memicu budaya konsumerisme yang menjerat masyarakat. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

1 September 2024


BandungBergerak.id Social Commerce atau perdagangan yang berlangsung dengan memanfaatkan media sosial, secara garis besar mampu membawa dampak negatif untuk perdagangan di Indonesia. Pasalnya Social Commerce menjadikan media sosial yang merangkap sebagai platform perdagangan. 

Jika dilansir dari Detikfinance, Piter Abdullah selaku Direktur Eksekutif Segara Research, hal tersebut dapat berpotensi membahayakan karena tidak terpantau, dan kegiatan perdagangan dengan media sosial terkesan tidak terpisahkan. Perkembangan Social Commerce juga cukup berimbas pada UMKM, di mana penjualan produk asli Indonesia di toko offline ataupun marketplace menjadi menurun karena kalah saing dengan produk yang dijual di Social Commerce disebabkan harga yang jauh lebih murah.

Menanggapi hal tersebut pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 31 Tahun 2023 tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik. Sehingga berdasarkan peraturan tersebut, maka Social Commerce resmi dilarang berjualan dan melayani transaksi di platform media sosial. Berikut adalah poin-poin aturannya :

  1. Pemerintah mengharuskan media sosial hanya digunakan untuk promosi, bukan penjualan langsung. Jika sebuah aplikasi media sosial ingin berjualan, mereka harus membuat platform e-commerce yang terpisah. Langkah ini bertujuan untuk melindungi data pengguna dari potensi penyalahgunaan dan memastikan layanan social commerce diatur secara terpisah dari e-commerce agar operasinya lebih transparan dan terkontrol.
  2. Platform digital tidak diizinkan untuk berperan sebagai produsen.
  3. Pemerintah telah menetapkan bahwa barang dari luar negeri yang dijual langsung melalui platform e-commerce lintas negara harus memiliki harga minimum sebesar US$100 per unit. Namun, batasan harga ini tidak berlaku untuk pedagang lokal yang menjual barang impor.
  4. Menurut aturan terbaru, hanya barang-barang tertentu dari luar negeri yang kini diizinkan untuk dijual. Daftar barang yang dapat diperjualbelikan sudah ditetapkan dalam peraturan tersebut.
  5. Barang-barang yang dijual dalam perdagangan lintas negara juga harus memenuhi persyaratan yang sama dengan perdagangan dalam negeri. Misalnya, makanan harus memiliki sertifikat halal, sementara perangkat elektronik harus sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI).

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Film sebagai Media Kritik dan Cerminan Sosial keadaan Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Budaya Korea Selatan Mulai Mendominasi Masyarakat Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Mencegah Jatuhnya Korban Kecantikan Virtual

Regulasi untuk Mengendalikan Social Commerce

Regulasi menjadi penerapan hukum yang digunakan untuk berbagai tujuan, seperti merencanakan ekonomi secara terpusat, memperbaiki kegagalan pasar, memperkaya perusahaan yang terhubung dengan baik, atau menguntungkan para politisi. Melihat penerapan regulasi tersebut, Permendag No. 31 Tahun 2023 tentang perizinan berusaha, periklanan, serta pembinaan dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik bisa dikategorikan sebagai regulasi ekonomi. Regulasi ini dirancang untuk mengatasi kegagalan pasar, terutama karena social commerce yang menawarkan barang impor dengan harga sangat murah dapat merugikan UMKM di Indonesia. Dengan adanya aturan ini, diharapkan bisa memperbaiki dampak negatif tersebut terhadap perekonomian, sehingga regulasi ini lebih fokus pada aspek ekonomi daripada sebagai peraturan dasar undang-undang.

Peraturan ini dibuat karena Kadin Indonesia melihat bahwa praktik kanibalisme, di mana perusahaan social commerce memproduksi barang berdasarkan data konsumennya, berdampak negatif pada UMKM lokal. Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk melindungi konsumen dan memastikan bahwa perusahaan e-commerce mematuhi peraturan hukum yang berlaku, dengan memperkuat perlindungan konsumen dan menyesuaikan diri dengan regulasi bisnis e-commerce di Indonesia.

Selain itu, peraturan ini juga bertujuan untuk mendukung UMKM lokal agar lebih siap bersaing di pasar internasional. Dengan menerapkan persyaratan seperti sertifikasi halal untuk makanan dan standar nasional Indonesia (SNI) untuk perangkat elektronik, diharapkan kualitas dan keamanan produk yang dijual online dapat meningkat. Ini juga diharapkan dapat mendorong lebih banyak UMKM lokal untuk berpartisipasi dalam pasar global.

Permendag No. 31 Tahun 2023 mencerminkan upaya pemerintah untuk menjaga keseimbangan dalam ekosistem perdagangan digital di Indonesia. Dengan memisahkan peran sosial media dari platform e-commerce, regulasi ini bertujuan melindungi UMKM lokal dari persaingan yang tidak sehat, terutama dari produk impor yang dijual sangat murah melalui social commerce. Selain itu, regulasi ini juga memperkuat perlindungan konsumen dengan menerapkan standar kualitas seperti sertifikasi halal dan SNI. Meskipun ada tantangan dalam penerapannya, langkah ini penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia tetap berkelanjutan dan memberikan kesempatan yang adil bagi UMKM lokal untuk bersaing di pasar global.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//