MAHASISWA BERSUARA: Penghapusan Hukuman Mati Berdasarkan Pancasila
Berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai norma dasar negara, maka hukuman mati seharusnya tidak memiliki tempat dalam sistem hukum Indonesia.
Dionysius Rama Nandyka
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
1 September 2024
BandungBergerak.id – Setiap bangsa memiliki suatu pandangan hidup unik yang menjadi pedoman kehidupan bagi warganya. Namun, pedoman tersebut sering kali menghadapi pertentangan terhadap nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Salah satu dari pertentangan yang mendasar dari nilai Pancasila adalah keberadaan hukuman mati sebagai bentuk hukuman di Indonesia.
Hukuman mati di Indonesia sendiri merupakan suatu pertentangan terhadap Sila Kedua Pancasila, yakni “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” di mana bangsa Indonesia berkomitmen untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal (Yudi Latif, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 2021, hal 133-134). Salah satu dari nilai universal tersebut adalah penghargaan dan perlindungan terhadap hak atas hidup, yang merupakan hak asasi manusia yang pertama dan paling terutama (Universal Declaration on Human Rights/UDHR, art 3). Berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai norma dasar negara, hukuman mati tidak memiliki tempat dalam sistem negara kita. Mengapa hukuman mati tidak mempunyai tempat di Indonesia?
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Inklusivitas Infrastruktur Publik Kota Bandung bagi Para Difabel
MAHASISWA BERSUARA: Film sebagai Media Kritik dan Cerminan Sosial keadaan Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Mencegah Jatuhnya Korban Kecantikan Virtual
Hukuman Mati, Nilai HAM, dan Pancasila
Keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai nilai universal merupakan hasil dari proses panjang yang melewati berbagai macam tahapan. Dimulai dari adanya kode Hammurabi, munculnya Magna Carta di abad ke-13, lahirnya konsep kebebasan pribadi pada abad ke-18, hingga nilai-nilai universal pada tahun 1948 melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights), HAM dewasa ini menjadi suatu ukuran universal dalam kehidupan manusia. Hak atas hidup, sebagai hak pertama dan terutama dalam kategori HAM memiliki keunikan di mana ia merupakan hak yang tidak dapat diingkari (non-derogable rights), di mana negara dalam kondisi apa pun tidak dapat membatasi hak tersebut karena hak atas hidup merupakan suatu hak absolut yang dipegang oleh setiap manusia yang lahir (Marzuki Suparman, Hukum Hak Asasi Manusia, 2017, hal 71).
Pergeseran hukuman mati dari suatu sanksi yang sah menjadi anatema di komunitas internasional kemudian diperkuat dengan adanya Deklarasi Stockholm 1977 yang menyatakan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang paling keji terhadap hidup dan martabat manusia, dan menyerukan agar dunia bergerak untuk menghapuskannya dari dunia (John D. Bessler, The Abolitionist Movement Comes of Age: From Capital Punishment as a Lawful Sanction to a Peremptory, International Law Norm Barring Execution 2018, hal. 30-31). Sejak itu, penghapusan hukuman mati dan perlindungan hak atas hidup individu menjadi suatu nilai universal di dunia. Berdasarkan hal tersebut, keberadaan hukuman mati di Indonesia saat ini merupakan pertentangan terhadap nilai universal kemanusiaan.
Keberadaan hukuman mati merupakan pengkhianatan terhadap sila kedua Pancasila. Pertentangan ini berakar pada dasar filosofis sila kedua yang menyatakan adanya nilai kemanusiaan universal, di mana Indonesia menempatkan diri sebagai anggota dari komunitas internasional yang berperikemanusiaan (internasionalisme) (Yudi Latif, 2021, hal. 191-194). Soekarno menetapkan salah satu pilar internasionalisme sebagai nasionalisme yang memiliki nilai kekeluargaan dengan bangsa lain, di mana Indonesia mengakui adanya nilai kemanusiaan yang diakui secara universal.
Salah satu pengakuan nilai kemanusiaan universal tersebut ialah HAM, di mana Undang-undang Dasar Tahun 1945 mengakui adanya HAM melalui alinea pertama sampai keempat (Yudi Latif, 2021, hal. 192). Pengakuan HAM dalam UUD 1945 berdasarkan Pancasila kemudian diperkuat dengan adanya amandemen kedua di mana HAM disisipkan dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J. Hal ini membuktikan adanya perlindungan universal terhadap HAM, di mana harapan Moh. Hatta yang menghendaki agar UUD dapat memberikan batasan kekuasaan negara agar nilai kekeluargaan Pancasila memberikan ruangan untuk melakukan penyelewengan kekuasaan. Adapun Pasal 28A yang menjamin hak atas hidup sebagai hak pertama dan terutama membuktikan bahwa keberadaan hukuman mati merupakan pertentangan terhadap nilai kemanusiaan universal, dan juga terhadap Pancasila karena telah bertentangan dengan nilai kemanusiaan tersebut.
Ketidaksesuaian Hukuman Mati dengan Tujuan Pemidanaan
Untuk melihat keberadaan hukuman mati di Indonesia, kita harus memahami aliran pemidanaan yang dianut oleh hukum pidana Indonesia. Tujuan pemidanaan Indonesia dituangkan dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi sebagai berikut:
“Pemidanaan bertujuan:
- Mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;
- Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;
- Menyelesaikan konflik yang timbul akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan
- Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.”
(Undang-Undang R.I., No. 1 Tahun 2023, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, L.N.R.I. Tahun 2023 No. 1, Pasal 51)
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut teori integratif, di mana pemidanaan di Indonesia bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara pembalasan dengan rehabilitasi penjahat (C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan Edisi Revisi, hal 165-166). Namun hal itu menaikkan satu pertanyaan penting: dengan dibunuhnya penjahat melalui hukuman mati, apakah itu merupakan pertentangan dengan tujuan rehabilitasi? Di mana kesempatan dari penjahat tersebut untuk berubah? Hukuman mati memutus kesempatan tersebut, dan menjadi pertentangan terhadap teori integratif yang dianut oleh hukum pidana Indonesia.
Efektivitas Hukuman Mati yang Meragukan
Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh hukuman mati adalah berkurangnya melakukan kejahatan yang diancam hukuman mati. Tujuan ini dilatarbelakangi oleh paham yang menyatakan bahwa hukuman mati menyebabkan ancaman psikologis agar masyarakat merasa takut untuk melakukan kejahatan tersebut, dan agar angka kejahatan tersebut berkurang dengan adanya ancaman hukuman mati sebagai (C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan Edisi Revisi, hal 21). Namun efektivitas hukuman mati layak dipertanyakan, dikarenakan belum adanya hasil penelitian yang menunjukkan pengurangan kejahatan yang diancam hukuman mati. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati tidak memiliki jaminan yang pasti bahwa penerapannya dapat menjerakan kriminal, maupun mempengaruhi penjahat yang berulang kali melakukan kejahatan (C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan Edisi Revisi, hal 27-28). Mempertimbangkan efektivitas yang masih diragukan, keberadaan hukuman mati semakin membingungkan baik dalam segi filosofis menurut Pancasila dan nilai universal, maupun dalam segi efektif yang tidak menunjukkan adanya hasil yang memadai dari penjatuhan hukuman mati.
Upaya Pengurangan Penggunaan Hukuman Mati di Indonesia
Dasar dari keberadaan hukuman mati terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ( UU HAM) dalam penjelasan Pasal 9 yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yang demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak atas hidup dapat dibatasi.” (Undang-undang R.I. No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia, L.N.R.I. Tahun 1999 No. 165, Penjelasan Pasal 9 ayat (1))
Berdasarkan bunyi penjelasan Pasal tersebut, dapat dilihat bahwa hukuman mati merupakan suatu pengecualian terhadap hak atas hidup yang tidak dapat dikurangi (Marzuki Suparman, 2017, hal 71). Pengecualian ini pun diperjelas dengan jaminan bahwa bahkan terpidana mati memiliki hak atas hidup yang melekat, di mana putusan hukuman mati tersebut tidak serta merta mencabut hak atas hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang menyatakan bahwa hukuman mati bukan suatu hukuman yang pasti, seperti halnya dicantumkan dalam Pasal 67 KUHP menetapkan bahwa hukuman mati harus diancamkan secara alternatif dengan hukuman seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun (Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 67).
Pasal 100 KUHP kemudian menetapkan kewajiban hakim untuk memberlakukan tahapan uji coba selama 10 (sepuluh) tahun sebelum dilaksanakannya hukuman mati. Diharapkan bahwa melalui uji coba ini, perubahan perilaku seorang narapidana dapat menjadi pertimbangan untuk diubah menjadi hukuman seumur hidup (Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 100). Berdasarkan ketentuan yang tercantumkan baik dalam UU HAM maupun KUHP, dapat dilihat bahwa Indonesia mulai mengurangi penggunaan hukuman mati. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengakui adanya hak atas hidup yang tidak dapat dikurangi, suatu pengakuan diam-diam terhadap nilai universal terhadap penghargaan hak tersebut.
Penghapusan Hukuman Mati di Kancah Internasional
Sila Kedua Pancasila menetapkan adanya nilai universal yang hidup di antara bangsa-bangsa, dengan komitmen Indonesia untuk mempertahankan dan melestarikan nilai tersebut. Deklarasi Stockholm tahun 1977 yang dihadiri oleh 200 delegasi dari seluruh dunia menyatakan bahwa hukuman mati adalah “hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia di dunia” (Amnesty International, Declaration of Stockholm. Conference on the Abolition of the Death Penalty, 11 Desember 1977). Sejak saat itu, hukuman mati mulai ditentang oleh negara-negara di dunia, membentuk suatu norma internasional yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati dari semua tatanan hukum di dunia.
Sebelum Deklarasi Stockholm, Portugal berhasil menghapuskan hukuman mati untuk seluruhnya di negaranya pada tahun 1976, dan setelah deklarasi tersebut negara-negara dunia mulai mengikuti jejak Portugal dalam menghapuskan hukuman mati dari negaranya. Pada saat dilakukan penulisan ini, hukuman mati telah dihapuskan secara keseluruhan di 112 negara, 9 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan biasa, 23 negara tidak menghapuskan hukuman mati namun telah menghapuskan penggunaannya dalam budaya hukumnya, dan 55 negara yang mempertahankan keberadaan hukuman mati di sistem hukumnya dan masih menggunakannya.
Gerakan ini didukung oleh instrumen-instrumen hukum internasional seperti Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dimana pembukaan ICCPR menyatakan adanya hak-hak yang setara dan tidak dapat direnggut, dan ketentuan Pasal 6 yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak atas hidup yang tidak dapat diingkari, dan ketentuan ayat 6 yang menyatakan pengecualian dalam ayat 2 sampai 5 tidak dapat digunakan untuk mencegah penghapusan hukuman mati di negara (Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Covenant on Civil and Political Rights, 23 Februari 2006, preambule, art 6). Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa gerakan penghapusan hukuman mati akan terus berjalan sehingga datang satu hari dimana dunia tidak melihat keberadaannya lagi. Komunitas internasional baik negara atau bangsa-bangsa lain akan mengharapkan Indonesia untuk turut serta menjunjung tujuan ini.
Penutup
Dapat disimpulkan dari keberadaan Sila Kedua Pancasila yang menetapkan komitmen Indonesia, nilai universal yang beredar di dunia, kontradiksi hukuman mati dengan tujuan pemidanaan, dampaknya yang masih sampai saat ini diperdebatkan, dan upaya-upaya oleh negara untuk mengurangi penggunaannya melalui pengaturan norma hukum yang berlaku bahwa hukuman mati tidak memiliki tempat dalam sistem hukum dan hidup masyarakat Indonesia. Keberadaan hukuman mati di Indonesia merupakan pertentangan secara filosofis terhadap Pancasila sebagai nilai moral dan etis masyarakat, dimana nilai universal kemanusiaan yang hendak dilindungi oleh Pancasila tidak direalisasikan dengan baik karena adanya hukuman mati yang dianggap sebagai hukuman yang keji. Hukuman mati juga tidak masuk akal dari segi praktis, dengan kurangnya hasil penelitian terhadap efektivitas hukuman mati dalam mengurangi kejahatan yang diancamnya, beserta kontradiksi yang inheren antara hukuman mati dan tujuan pemidanaan Indonesia yang berorientasi terhadap rehabilitasi dan pemulihan. Maka berdasarkan hal-hal tersebut, sewajarnya hukuman mati dihapuskan dari tatanan negara Indonesia.
Penulis merekomendasikan agar pemerintah dan unsur legislatif negara (yakni Dewan Perwakilan Rakyat) untuk bekerja sama dalam merumuskan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam upaya menghapus hukuman mati dari Indonesia. RUU pertama adalah RUU Perubahan terhadap UU HAM untuk menghapuskan pengecualian hak atas hidup yang tersirat dalam Pasal 9 ayat (1) UU HAM sepanjang frasa “...berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati…” dan “…atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…”. RUU yang kedua adalah RUU Penghapusan Hukuman Mati yang menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia menghapuskan hukuman mati untuk seluruhnya, dan mencabut segala Pasal tentang hukuman mati di peraturan perundang-undangan Indonesia. Diharapkan melalui kedua RUU ini, Indonesia dapat menghapuskan kontradiksi filosofis dan praktis ini dari tatanan hukum yang berlaku.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara