• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Inklusivitas Infrastruktur Publik Kota Bandung bagi Para Difabel

MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Inklusivitas Infrastruktur Publik Kota Bandung bagi Para Difabel

Infrastruktur publik saat ini belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan para difabel. Menyulitkan mereka mengakses ruang publik secara mandiri dan nyaman.

Apriza Nugraha

Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Halte TMB di Jalan Pasteur, Bandung, yang ditutup pagar dan tidak bisa dibuka. Halte yang didesain futuristik ini kini terkesan muram dan usang.

23 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Negara idealnya berperan sebagai penjamin dalam pemenuhan hak-hak dasar setiap manusia secara adil, menyeluruh, dan tanpa diskriminasi dalam memenuhi hak asasi manusia. Cita-cita ini menjadi hal yang diinginkan setiap bangsa dan negara, termasuk Indonesia guna mewujudkan kehidupan yang aman dan inklusif bagi seluruh penduduknya. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan serta keadilan sosial yang menjadi fondasi bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan tenteram. Maka dapat diartikan bahwa negara dapat menjamin kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi semua masyarakat, termasuk penyandang difabel dalam mengakses berbagai aspek kehidupan seperti akses ke fasilitas umum dalam ruang lingkup publik.

Untuk melindungi hak dan mewujudkan kesetaraan bagi para difabel, diciptakan  Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa difabel memiliki hak. Hak tersebut tercantum dalam Pasal 4 menyebutkan bahwa difabel memiliki hak dalam aksesibilitas dan hidup secara mandiri dilibatkan dalam masyarakat. Namun, di tengah upaya perlindungan hak bagi para difabel, realitas yang terjadi dalam akses ke ruang publik di Kota Bandung seperti transportasi umum dan jalanan trotoar belum sepenuhnya ramah untuk para difabel.

Jalanan trotoar yang seharusnya menjadi mobilitas bagi pejalan kaki maupun kaum difabel, malah dijadikan lahan parkir dan pedagang kaki lima berjualan. Selain itu, layanan transportasi umum seperti halte di Kota Bandung masih terdapat banyak yang tidak terurus dan tidak memiliki bidang miring (ramp) yang landai. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah Kota Bandung belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan mobilitas para difabel. Meskipun Pemerintah Kota Bandung telah berupaya untuk membangun kota yang inklusif, dalam praktiknya, infrastruktur publik saat ini belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan para difabel. Hal ini mengakibatkan kesulitan bagi mereka dalam mengakses ruang publik secara mandiri dan nyaman.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Merawat Demokrasi lewat Pemilu
MAHASISWA BERSUARA: Budaya Ngopi sebagai Ritual Penggerak Dinamika Sosial
MAHASISWA BERSUARA: Refleksi pada Kasus Dugaan Perundungan Dokter Muda di Semarang, Lingkaran Setan yang Berulang

Para Difabel Sulit Berinteraksi dan Berbaur

Pada Pasal 37 Perda Kota Bandung Nomor 15 Tahun 2019 menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk memperoleh pelayanan publik. Hak pelayanan publik tersebut mencakup hak untuk memperoleh akomodasi yang layak dalam pelayanan publik secara optimal, wajar, dan bermartabat, tanpa adanya diskriminasi. Namun, melihat realitas yang terjadi di lapangan berbanding terbalik dari pernyataan pasal di atas.

Dilansir dari Detik Jabar, menurut Tri yang merupakan salah satu pengurus dari Yayasan Bumi Difabel menyatakan bahwa, "Saya ingin memberi masukan kalau membangun infrastruktur supaya lebih bersinergi dan pelibatan disabilitas (Aurellia, 2024).

Kalau infrastruktur sudah sesuai untuk mengakomodir semua masyarakat ini akan membawa kebermanfaatan bagi semua orang.”

Hal ini menunjukkan meskipun regulasi telah menetapkan hak-hak para difabel, pelaksanaan di lapangan belum sepenuhnya memperhatikan keterlibatan para difabel dalam perencanaan membuat bangunan dan pelayanan yang inklusif. Jika masalah ini tidak segera diatasi dengan baik, para difabel akan terus menghadapi hambatan dalam mengakses fasilitas dan layanan publik yang layak. Hal ini dapat memperparah isolasi sosial mereka, membatasi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, serta menghalangi mereka untuk berbaur dan berinteraksi secara setara dengan anggota masyarakat lainnya.

Tantangan Infrastruktur Publik Bagi Difabel

Infrastruktur publik yang tidak ramah difabel merupakan masalah utama dalam upaya mewujudkan kota yang inklusif bagi semua warga, termasuk bagi para difabel. Di Kota Bandung, trotoar yang seharusnya menjadi fasilitas mobilitas bagi para pejalan kaki, sering kali justru membahayakan.

Dilansir dari Detik Jabar, kondisi trotoar Kota Bandung masih jauh dari kata sempurna (Wamad, 2022). Sejumlah titik trotoar di Kota Bandung rusak hingga dipakai berdagang oleh pedagang kaki lima. Hal ini dibuktikan oleh salah satu warga Bandung bernama Erpan mengungkapkan, “Hanya sebagian saja trotoar di Bandung yang berfungsi maksimal, terutama di kawasan jalan protokol atau pusat Kota Bandung. Sementara di beberapa bagian kondisinya memprihatinkan, banyak disalahgunakan pedagang yang membuat pejalan kaki kurang nyaman.”

Masalah ini tidak hanya mengurangi kenyamanan bagi para difabel, tetapi juga dapat terjadi pada masyarakat lainnya. Hal ini mencerminkan kurangnya implementasi kebijakan dalam merancang dan memelihara infrastruktur publik dengan memperhatikan kebutuhan semua warga.

Halte bus yang seharusnya menjadi fasilitas transit yang memadai bagi masyarakat dan pengguna transportasi umum, sering kali terlihat tidak terurus dengan baik dan tidak ramah terhadap para difabel. Terdapat banyak halte di Kota Bandung dalam kondisi kotor, rusak, dan tidak dapat diakses oleh para difabel. Berdasarkan observasi penulis, halte-halte di rute koridor 3 Trans Metro Bandung (TMB) yang mencakup Jalan Cikapayang, Jalan Dr. Djunjunan, Jalan Surya Sumantri, dan Jalan Lemahnendeut terlihat dalam kondisi yang sangat tidak terurus. Kebersihan halte-halte tersebut sangat buruk, dengan fasilitas yang tidak layak digunakan. Kaca yang pecah, vandalisme, dan sampah yang berserakan menciptakan kesan bahwa fasilitas ini tidak memenuhi standar yang diharapkan untuk pelayanan publik. Kondisi seperti ini tidak hanya menurunkan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum, tetapi juga menyoroti perlunya evaluasi dan perbaikan oleh Pemerintah Kota Bandung.

Perihal pembangunan yang inklusif, penulis mengemukakan bahwa pembangunan halte tidak ramah bagi difabel. Di dalam halte tidak terdapat bidang miring (ramp) yang landai dan pegangan tangga (handrail), padahal itu  menjadi hal terpenting karena ramp yang landai memungkinkan pengguna kursi roda dan orang dengan mobilitas terbatas untuk mengakses halte dengan mudah, tanpa harus menghadapi kesulitan atau bahaya. Lalu pegangan tangga dapat memberikan dukungan dan keseimbangan yang sangat dibutuhkan bagi mereka yang mengalami kesulitan berjalan atau berdiri. Ketiadaan fasilitas-fasilitas ini menunjukkan kekurangan dalam desain yang inklusif  dan menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur publik di Kota Bandung belum sepenuhnya dapat diakses oleh para difabel.

Pembangunan Tidak Melibatkan Para Difabel

Berdasarkan data dari Open Data Kota Bandung, laporan jumlah difabel di Kota Bandung sejak 2017 mencapai 6.129 orang, di antaranya 1.060 adalah anak-anak (Open Data Kota Bandung, 2023). Dengan melihat jumlah yang cukup signifikan ini, seharusnya pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur di Kota Bandung mempertimbangkan kebutuhan khusus dari kelompok difabel. Namun, pada kenyataannya perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan sering kali tidak melibatkan masukan atau partisipasi aktif dari para difabel. Hal ini mengakibatkan desain yang tidak sepenuhnya inklusif dan mengabaikan aspek-aspek penting yang dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka.

Ketidakterlibatan para difabel dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memastikan bahwa fasilitas umum memenuhi kebutuhan semua warganya secara inklusif. Dengan tidak melibatkan mereka dalam proses ini, pemerintah berarti mengabaikan hak-hak para difabel yang disesuaikan pada Perda Kota Bandung Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Kurangnya perhatian pemerintah dalam pembangunan pelayanan publik telah menciptakan kesenjangan yang mendalam bagi para difabel. Meskipun terdapat regulasi yang mengatur hak-hak dasar mereka untuk memperoleh pelayanan publik secara inklusif, kenyataannya masih banyak fasilitas yang tidak memenuhi kebutuhan mereka. Hak-hak dasar para difabel untuk hidup setara dan mengakses layanan publik dengan mudah terus terabaikan. Sudah saatnya setiap individu memperjuangkan keadilan dengan memastikan bahwa aksesibilitas yang setara menjadi prioritas dalam setiap proyek pembangunan. Dengan melibatkan para difabel dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kita dapat menyaksikan kota yang benar-benar ramah bagi semua warganya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang difabel, dan tulisan-tulisan lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//