MAHASISWA BERSUARA: Refleksi pada Kasus Dugaan Perundungan Dokter Muda di Semarang, Lingkaran Setan yang Berulang
Tidak jarang korban perundungan yang seharusnya mendapat dukungan malah mendapatkan serangan lagi karena mereka dianggap tidak mampu untuk membela dirinya sendiri.
Gabriel Marcelinus Natanael
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
17 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Di siang hari yang cerah ini, hati saya merasa gundah ketika saya membaca berbagai macam berita dan informasi yang saya dapatkan melalui aplikasi X atau Twitter mengenai kasus perundungan yang tak kunjung usai. Cerita mengenai perundungan seakan-akan membuka luka lama yang dulu saya alami. Kasus ini seakan-akan menjadi lingkaran setan yang terus berulang dan tidak pernah usai. Hanya saja, kali ini, kasus yang terjadi sedikit berbeda. Mengapa demikian?
Seorang dokter muda yang sedang mengambil studi lanjutan program dokter spesialis anestesi di salah satu universitas ternama di Semarang, ditemukan telah meninggal dunia. Usut punya usut, dokter muda ini diduga mengalami kasus perundungan yang dilakukan oleh para seniornya. Apa yang membuatnya menarik dari kasus pada umumnya? Ya, ini adalah kasus yang dialami oleh dokter dan diduga kuat bahwa pelakunya pun adalah seorang dokter. Ini benar-benar mengejutkan.
Dalam sebuah unggahan di X, saya melihat sebuah buku bersampul merah yang berjudul UNTHULEKTOMI. Sekilas, buku ini terdengar asing dan mirip dengan hal-hal yang berbau dengan kedokteran. Hanya saja, yang mengejutkan adalah 3 poin yang ada di dalamnya. Pada tautan ini dapat dilihat sedikit isi buku tersebut. Bukankah ini adalah sesuatu yang aneh ketika para dokter yang telah mengambil sumpah untuk menolong orang banyak (pro-life), melakukan kekerasan dan perundungan secara verbal –semoga tidak fisik– kepada para adik tingkatnya?
Saya selalu memiliki pandangan bahwa tingkat pendidikan seseorang mampu mengubah cara pandang dan bersikap seseorang. Akan tetapi, realitasnya berkata sebaliknya. Orang-orang yang harusnya mendukung kehidupan, menjadi pihak paling depan yang menghancurkan masa depan adik tingkatnya lewat perilaku perundungan. Alih-alih menguatkan satu sama lain lewat metode yang memanusiakan satu sama lainnya, mereka lebih memilih cara feodal yang mampu menjadikan pelaku sebagai raja-raja kecil. Ya, kasus seperti ini adalah hal yang sering ditemui oleh banyak orang.
Selain keyakinan saya terhadap pandangan itu, saya juga yakin bahwa setiap orang tidak dilahirkan dalam keadaan beruntung. Maksudnya adalah bahwa tidak semua orang hidup dalam situasi ideal yang lingkungannya selalu mendukung dan berperilaku positif. Dengan ketidaksempurnaan itu, saya percaya bahwa setiap orang di dalamnya akan mendapatkan luka yang porsinya berbeda-beda. Luka itu seharusnya disembuhkan dan diobati. Hanya saja, kesadaran untuk mengobati luka tersebut belum sepenuhnya muncul di tengah masyarakat. Alhasil, ada proyeksi atas luka itu lewat tindakan di masa kini. Rasanya, itulah yang sedang terjadi di kasus perundungan ini.
Baca Juga: Tiga Kolaborator Melawan Perundungan
Peluncuran Buku Saku Menolak Perundungan, Bullying Berbahaya bagi Masa Depan Anak
Potret Perundungan di Sekolah-sekolah di Jawa Barat
Menghukum Pelaku Perundungan
Sebagai seorang penyintas, di beberapa kesempatan, saya selalu bertanya-tanya mengenai perasaan para pelaku setelah mereka melakukan perundungan. Mengapa mereka selalu berlindung di balik kata-kata “bercanda” atau kata lainnya yang seolah-olah mengafirmasi tindakan buruk tersebut sebagai sesuatu yang adalah benar?
Apakah kalian tidak sadar bahwa di balik tawa yang menghibur, kalian telah menimbulkan luka baru yang menyakitkan? Lebih jauh lagi, kenapa para perundung itu tetap hidup di belahan dunia mana pun? Saya sadar bahwa argumen yang saya sampaikan ini terkesan utopis. Walakin, masih ada secercah asa atas tindakan berulang ini (?).
Hal lain yang saya sayangkan dan terjadi adalah tindakan yang terkesan menutup-nutupi. Integritas sebuah institusi tampak bukan lewat tindakan yang menutup-nutupi. Integritas itu tampak lewat sanksi dan kehendak untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Jika setiap tindakan perundungan hanya diselesaikan lewat kekeluargaan tanpa adanya tindak lanjut, saya sangat yakin bahwa penyesalan adalah kata yang tidak berlaku. Terkadang, bersikap kejam atas tindakan yang kejam adalah hal yang perlu. Hanya saja, kita hidup di tengah masyarakat yang menjadikan pelaku sebagai pihak paling tersakiti. Ini tampak lewat pemberitaan di media-media yang selalu menampilkan identitas korban dengan sejelas mungkin, namun identitas pelaku berusaha untuk ditutup-tutupi.
Dari sekian banyaknya kasus perundungan, mungkin hanya beberapa yang benar-benar selesai di mana korban beserta keluarganya mendapatkan keadilan secara penuh. Sisanya? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
Keadilan seakan-akan menjadi barang yang mahal. Institusi yang terlibat lebih sering mengambil posisi netral dibandingkan berpihak pada korban. Lalu, coba tebak ujungnya. Ya, secara perlahan dan pasti, mereka melepaskan tangan.
Di kemudian hari, mereka akan membuat slogan dan spanduk yang sangat banyak yang mungkin juga besar tentang anjuran untuk tidak melakukan perundungan. Tindakannya sangat antisipatif. Lucunya, ketika kejadian itu terulang kembali, mereka melakukan hal serupa tanpa adanya evaluasi atas tindakan yang dilakukan.
Keadilan untuk Korban Perundungan
Banyak dari para korban merasa bahwa kehidupan menjadi sering tidak adil. Para korban harus tumbuh dan besar di bawah bayang-bayang rasa takut dan trauma yang mungkin setiap malam menghantui. Tetapi, para pelaku dapat hidup dengan bebas dengan wajah riang gembira. Ketika para korban mulai mengangkat kembali kasus yang dulu pernah dialami, para pelaku dengan mudahnya berkata maaf tanpa menyadari rangkaian pengalaman buruk yang dialami oleh para korban.
Tidak jarang juga, korban yang seharusnya mendapat dukungan malah mendapatkan serangan lagi karena mereka dianggap tidak mampu untuk membela dirinya sendiri. Bukankah ini adalah ironi yang sering kali mengiris hati para pembaca kisah perundungan yang memutuskan untuk diam ketika melihat kasus serupa.
Mari kita beralih ke dunia pendidikan saat ini yang sedang menyiapkan generasi emas Indonesia 2045. Setiap ada kasus perundungan yang dilakukan dan membuat korban takut, guru-guru hanya mengatakan bahwa itu adalah hal yang wajar karena anak-anak sedang bermain. Betul bahwa mereka sedang bermain. Ya, mereka bermain-main bukan dengan mainan. Mereka bermain-main dengan seorang anak lewat kata-kata cemooh dan tindakan yang mungkin menyakiti hati. Ketika anak-anak ini berusaha untuk mendapatkan pertolongan, mereka tidak didengarkan. Setelahnya, mereka akan diam dan berusaha untuk menikmati neraka itu setiap harinya.
Tidak ada yang salah bukan dengan angan-angan? Kita semua selalu hidup dalam angan-angan. Dalam kisah kali ini, saya percaya bahwa setiap korban hanya berharap balasan yang setimpal kepada para pelaku. Hanya saja, itu tidak mungkin terjadi dan jika itu terjadi, maka itu dapat terhitung oleh jari. Efek jangka panjangnya adalah mereka yang dulu adalah korban dapat berubah menjadi pelaku. Apa yang para korban butuh kan? Ya, mereka hanya membutuhkan kekuatan dan kekuasaan. Dengan demikian, lingkaran setan ini akan tetap menciptakan neraka bagi anak-anak yang tidak dapat melawan dan selalu diabaikan ketika mereka minta tolong.
Saya yakin dan percaya bahwa kita dapat menjadi orang-orang yang peduli dengan sesama. Dengarkan mereka yang berusaha untuk mendapatkan pertolongan. Kedua telinga yang kita miliki dapat menyelamatkan nyawa seorang anak di masa depannya; kedua tangan yang kita miliki dapat menghentikan tindakan perundungan itu; dan satu mulut ini dapat melindungi orang-orang dari luka yang tidak seharusnya mereka dapatkan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang perundungan, dan tulisan-tulisan lain Mahasiswa Bersuara