• Berita
  • Potret Perundungan di Sekolah-sekolah di Jawa Barat

Potret Perundungan di Sekolah-sekolah di Jawa Barat

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di sekolah-sekolah di Jawa Barat sudah dimulai. Jangan sampai terjadi perundungan.

Penampilan pantomim dari Suharmoko dan Andini Mardiani yang menggambarkan perundungan yang kerap terjadi di lingkungan sekolah. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana13 Juli 2024


BandungBergerak.idTahun ajaran baru 2024/2025 segera dimulai. Setiap sekolah menggelar Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau MPLS. Jika tidak diantisipasi, MPLS atau dikenal juga masa orientasi sekolah memiliki kerentanan tersendiri bagi siswa baru, yaitu perundungan perundungan (bullying). Sebuah penelitian menunjukkan hampir setiap anak atau murid sekolah pernah mengalami perundungan. Pengalaman negatif ini juga dialami anak-anak sekolah di Jawa Barat.

Ihsana Sabriani Borualogo dan Erlang Gumilang dalam jurnal penelitian “Kasus Perundungan Anak di Jawa Barat: Temuan Awal Children’s Worlds Survey di Indonesia” (Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung (Unisba)) menjelaskan, bullying atau perundungan didefinisikan sebagai tindakan agresif yang dimaksudkan untuk menyakiti korban, baik secara fisik (misalkan, dengan memukul atau menendang), secara psikologis (misalkan, melalui ancaman ataupun memanggil dengan julukan yang buruk), maupun secara sosial (misalkan dengan mengucilkan atau mengabaikan korban), yang dilakukan secara sengaja, berulang, dan menunjukkan adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban.

Kedua peneliti melaporkan, UNESCO pada bulan Oktober 2018 berdasarkan Global school-based Student Health Survey (GSHS) merilis data dari 144 negara tentang 16,1 persen anak-anak pernah menjadi korban perundungan secara fisik. Bahkan Indonesia menempati tingkat perundungan tertinggi di antara negara-negara Asia lainnya.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Unicef (2017) memaparkan hasil survei yang dilakukan pada tahun 2015 oleh The Global School-Based Health Survey yang menunjukkan bahwa 32 persen siswa-siswi usia 13 sampai 17 tahun di Indonesia telah mengalami kekerasan fisik dan 20 persen siswa-siswi menjadi korban perundungan di sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada periode 2011-2017 menerima 26.000 kasus perlindungan anak, di mana 34 persen dari kasus tersebut adalah kasus perundungan. Pada tahun 2018, KPAI menerima 161 laporan kasus perlindungan anak, di mana 36 kasus (22.4 persen) adalah kasus korban perundungan dan 41 kasus (25.5 persen) adalah kasus pelaku perundungan.

“Informasi mengenai jumlah korban perundungan di Indonesia masih bersifat terbatas, karena pada umumnya informasi diperoleh berdasarkan laporan dari korban, sementara tidak semua korban perundungan bersedia melaporkan kejadian yang mereka alami. Keterbatasan informasi mengenai jumlah korban perundungan juga terjadi karena masih sangat terbatasnya studi yang mengkaji jumlah kasus perundungan di Indonesia, sehingga pada umumnya data diperoleh berdasarkan laporan di media massa atas kasus perundungan,” papar Ihsana Sabriani Borualogo dan Erlang Gumilang, dikutip dari PSYMPATHIC: Jurnal Ilmiah Psikologi Volume 6, Nomor 1, 2019, diakses Sabtu, 13 Juli 2024.

Baca Juga: Masyarakat Wajib Mengetahui Ciri-ciri Anak Korban Perundungan
Peluncuran Buku Saku Menolak Perundungan, Bullying Berbahaya bagi Masa Depan Anak
Kasus Perundungan di Bandung Menunjukkan Wajah Buruk Pendidikan

Perundungan di Jawa Barat

Ihsana Sabriani Borualogo dan Erlang Gumilang memaparkan temuan frekuensi terjadinya perundungan pada anak usia 8, 10, dan 12 tahun di 27 kota/kabupaten di Jawa Barat yang diperoleh langsung dari laporan anak atas frekuensi terjadinya perundungan pada dirinya. Data ini merupakan temuan awal dari hasil survei internasional Children’s Worlds di Indonesia.

Berdasarkan hasil Survei Kebahagiaan Anak yang dilakukan di Jawa Barat pada Oktober 2017 yang merupakan kerja sama penelitian internasional antara Unisba, Unicef Indonesia, dan Children’s Worlds (www.isciweb.org), ditemukan bahwa terdapat perundungan (fisik, verbal, dan psikologis) pada tiap kota/kabupaten yang dialami oleh anak di rumah dan di sekolah.

Data ini menunjukkan bahwa 1 anak yang melaporkan kejadian perundungan adalah mewakili 26 anak di Jawa Barat, sehingga 1 persen angka kejadian adalah mewakili 5.900 anak di Jawa Barat. “Perlu disadari bahwa sekecil apapun nilai persentase perundungan yang muncul, namun hal itu tetaplah merupakan nilai yang perlu mendapatkan perhatian serius,” kata kedua peneliti.

Diketahui, dari seluruh anak di 27 kota/kabupaten yang menjadi responden penelitian, lebih banyak anak-anak yang melaporkan pernah mengalami perundungan daripada yang tidak pernah mengalami perundungan.

“Pemaparan data frekuensi perundungan ini tidak dalam tujuan untuk menunjukkan kota/kabupaten yang lebih baik atau lebih buruk dalam hal angka kejadian perundungan. Pemaparan ini ditujukan agar menjadi perhatian serius bahwa di setiap kota/kabupaten, terjadi perundungan baik di rumah maupun di sekolah, berdasarkan data yang dilaporkan oleh anak-anak yang menjadi korban,” papar kedua peneliti.

Melalui paparan deskripsi data perundungan, diketahui bahwa angka kejadian perundungan pada anak-anak di 27 kota/kabupaten di Jawa Barat tergolong tinggi. Pada semua perilaku perundungan, anak melaporkan bahwa mereka menjadi korban, baik di rumah maupun di sekolah. Semua kasus perundungan yang terjadi di wilayah Jawa Barat tersebut termasuk ke dalam kasus yang mengkhawatirkan, bahkan untuk beberapa daerah bisa mencapai berkali lipat angka kejadian terutama perundungan yang terjadi lebih dari tiga kali.

Data perundungan yang terjadi di 27 kota/kabupaten di Jawa Barat selayaknya dicermati sebagai kondisi yang memprihatinkan. Tidak ada satupun kota/kabupaten yang terlepas dari kasus perundungan, karena semua tipe perundungan (fisik, verbal, dan psikologis) terjadi di semua kota/ kabupaten. Hal ini menjelaskan bahwa perundungan seolah telah menjadi bagian dari kehidupan seharihari anak-anak.

“Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi orang tua, guru, dan institusi terkait dalam upaya membantu mencegah semakin meningkatnya kejadian perundungan pada anak-anak di Indonesia,” kata peneliti.

Peneliti khwatir, jumlah kasus perundungan ini mungkin akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat belum ada intervensi atau kebijakan secara makro yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengantisipasinya.

Perundungan Bisa Dilaporkan Melalui Sapawarga

Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin mengimbau kepada pengelola sekolah agar tidak ada kekerasan saat melaksanakan kegiatan orientasi (pengenalan) siswa baru. Menurutnya, MPLS merupakan pengenalan dan semangat pada murid baru.

Bey mempersilakan masyarakat melaporkan jika menemukan sekolah yang melakukan orientasi dengan kekerasan, melalui aplikasi Sapawarga.

"Kami tidak menoleransi sama sekali adanya kekerasan di sekolah. Saya minta (Kadisdik) untuk memantau langsung ke lapangan. Silakan bila ada yang merasa terdapat perundungan laporkan kepada kami lewat Sapawarga. Kami akan tindak tegas," ujar Bey, dikutip dari keterangan resmi, Jumat, 12 Juli 2024.

Bey menyebut sudah menginstruksikan Dinas Pendidikan Jabar memantau kegiatan orientasi di setiap sekolah. "Itu dimulai di tahap awal kegiatan sekolah, jangan ada perundungan. Saya minta Plh Kadisdik memantau orientasi ini," ujarnya.

*Kawan-kawan yang baik, silakan simak tulisan-tulisan lain tentang Kasus Perundungan dalam tautan berikut ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//