Kasus Perundungan di Bandung Menunjukkan Wajah Buruk Pendidikan
Kasus perundungan terjadi di berbagai sekolah di Indonesia. Terbaru, kasus perundungan dan kekerasan anak sekolah terjadi di Bandung.
Penulis Iman Herdiana5 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Sejumlah video perundungan di ranah pendidikan beredar luas di media sosial. Salah satu kasus perundungan yang diwarnai kekerasan terjadi di Kota Bandung. Fenomena ini mencerminan bahwa persoalan di dunia pendidikan sungguh memprihatinkan.
Untuk mengatasi kasus perundungan yang melibatkan murid SMP di Bandung, Dinas Pendidikan Kota Bandung telah menugaskan tim Rooters untuk berkoordinasi dan mendampingi korban dan remaja yang terlibat. Diketahui aksi kekerasan yang viral di media sosial ini terjadi Sabtu, 30 September 2023 lalu.
Koordinator Tim Rooters Sabarina Nur Sarah mengatakan kasus kekerasan ini sudah ditindaklanjuti melalui jalur hukum dan musyawarah. Ia menuturkan, video tersebut menunjukkan aksi kekerasan terhadap satu remaja oleh tiga teman sebayan. Kejadian ini berlangsung di luar lingkungan sekolah.
"Informasi yang didapat dari aparatur yang berwenang, sekolah dan korban, kesimpulan sementara bahwa kasus ini tidak termasuk dalam kategori perundungan. Hal ini karena kekerasan tersebut merupakan yang pertama kali dilakukan dan sebelumnya berteman baik," ujar Sabarina, dikutip dari siaran pers Pemkot Bandung, Selasa, 3 Oktober 2023.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Hikmat Ginanjar mengaku sangat prihatin atas kejadian tersebut. Pihaknya langsung berkoordinasi dengan tim Rooters.
Perihal pendampingan korban, lanjut Hikmat, Disdik telah berkoordinasi dengan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) dan selanjutnya Dinas Sosial Kota Bandung akan mendampingi pelaku pemukulan. Saat ini, Dinas Pendidikan pun terus berkoordinasi agar siswa tersebut bisa kembali melanjutkan pendidikannya.
Tradisi Perundungan di Indonesia
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2018 pernah melakukan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR). Survei ini menyatakan dua dari anak perempuan atau laki-laki berusia 13-17 tahun pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan selama hidupnya.
Tiga dari empat anak-anak dan remaja yang pernah mengalami salah satu jenis kekerasan atau lebih melaporkan bahwa pelaku kekerasan adalah teman atau sebayanya.
Survei ini merinci jenis-jenis kekerasan atau perundungan yang anak-anak alami, yaitu dipukul atau disuruh-suruh oleh murid lainnya, murid lain mengambil atau menghancurkan barang kepunyaannya, diancam, diejek, dikucilkan, diromorkan atau digosipkan.
Survei ini mencatat angka perkiraan atau prevalensi perundungan di Indonesia sebesari 41 persen pada pelajar berusia 15 tahun.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis sejak tahun 2011-2019 terdapat 574 anak laki-laki yang menjadi korban bullying, 425 anak perempuan jadi korban bullying di sekolah. Disebutkan, terdapat 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan sebagai pelaku bullying di sekolah.
Perundungan sendiri merupakan persoalan serius yang jika tidak disetop, maka dampaknya akan mempengaruhi kehidupan anak-anak ketika dewasa. Bahkan perundungan mampu merenggut masa depan anak.
Salah satu hak anak yang penting untuk dipenuhi adalah hak anak untuk mendapatkan pendidikan dasar. Namun, ada beberapa perma salahan anak dalam pendidikan yang mempengaruhi kehidupan mereka ketika dewasa, bahkan mampu merenggut masa depan anak misalnya perundungan atau bullying.
Ironisnya, perundungan tidak hanya dilakukan di antara murid sekolah. Perilaku yang merusak fisik dan mental ini juga dilakukan oleh pendidik atau guru.
“Banyaknya kasus bullying yang terjadi di satuan pendidikan, bukan hanya terjadi sesama siswa, tapi dapat juga terjadi pada para pendidik dan tenaga kependidikan. Tidak sedikit guru yang melakukan kekerasan dengan tujuan pendisiplinan. Ada oknum guru berdalih mendisiplinkan anak-anak yang menggunakan cara-cara kekerasan termasuk melakukan bullying,” ujar Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan KemenPPPA Anggin Nuzula Rahma, dikutip dari laman resmi.
Anggin menjelaskan, perundungan dapat menyebabkan trauma fisik maupun psikologis bagi anak. Di samping itu, hadirnya media sosial dan internet yang dekat dengan anak ternyata menjadi ruang baru bagi tumbuhnya cyberbullying atau perundungan di ranah digital.
“Cyberbullying ini yang juga marak terjadi saat ini. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan melalui satuan pendidikan bukan hanya dilakukan melalui slogan-slogan yang ada, tapi harus dilakukan secara menyeluruh melalui proses peneladanan yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari,” jelas Anggin.
KemenPPPA memandang kasus bullying di Indonesia sangat memprihatinkan dan perlu upaya yang holistik dan integratif dalam pencegahan bullying. Upaya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, bukan hanya tanggung jawab guru semata sebagai pendidik, namun seluruh sektor seperti orang tua sebagai pendidik utama, pemerintah, dunia usaha, lembaga masyarakat, media, dan masyarakat pada umumnya.
Baca Juga: Masyarakat Wajib Mengetahui Ciri-ciri Anak Korban Perundungan
Tiga Kolaborator Melawan Perundungan
Anak Keluarga Artis Rentan Jadi Korban Perundungan
Pengawasan yang Kurang
Putri Marlenny, praktisi dari Rumah Duta Revolusi Mental Dinas Pendidikan Kota Semarang memaparkan ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan bullying. Di antaranya, kurangnya sarana dan sumber daya dalam pengawasan kegiatan peserta didik atau santri; lingkungan pertemanan yang negatif; budaya bullying turun temurun; kebijakan atau regulasi sekolah yang belum jelas tentang pencegahan dan penanganan tindak kekerasan; faktor tndividu seperti balas dendam, karakter reaktif, agresif, ingin berkuasa, dan lainnya; serta anggapan tidak sopan berdasarkan norma kelompok tertentu.
Menurut Putri, intervensi dapat dilakukan dengan melakukan prinsip 7K dalam pencegahan dan penanganan kekerasan (bullying) yaitu kesadaran, kesediaan, komitmen, konsistensi, kerja sama, dan keterbukaan.
Ia menegaskan, segala hal tindak kekerasan bullying di sekolah merupakan masalah yang harus segera ditangani secara tuntas. Seluruh warga di satuan pendidikan harus sadar bahwa tindak kekerasan adalah suatu hal yang sangat serius dan harus ditangani dengan mengedepankan perspektif anak sebagai korban.
Kasus perundungan di Indonesia menjadi perhatian United Nations Children's Fund (Unicef). Badan yang mengurusi anak-anak di PBB ini merekomendasikan beberapa hal, yaitu:
Anak-anak belajar lebih efektif dan menunjukkan tingkat kehadiran yang lebih tinggi ketika guru menggunakan disiplin positif alih-alih hukuman berbasis kekerasan.
Banyak sekolah telah mengembangkan sistem disiplin mereka sendiri, beberapa diantaranya menggunakan “sistem poin”, dimana murid akan mendapatkan poin jika mereka berperilaku buruk/melanggar peraturan, dan jika poinnya mencapai jumlah tertentu maka siswa/i tersebut dikeluarkan.
Sekolah mempromosikan nilai-nilai kerja sama, toleransi, dan kebaikan sebagai bagian dari pembangunan karakter. Hal ini bisa mengurangi perundungan dan jenis kekerasan lain di sekolah, yang kemudian menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih baik bagi siswa.
* Simak tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, atau artikel tentang Kasus Perundungan