• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Merawat Demokrasi lewat Pemilu

MAHASISWA BERSUARA: Merawat Demokrasi lewat Pemilu

Munculnya nama-nama selebritas pada kontestasi politik di Indonesia semakin menegaskan bahwa partai politik telah menihilkan fungsi kaderisasi.

Ignatius Kevin Arthur Leksono

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

5 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Kurang dari sebulan pendaftaran calon kepala daerah akan segera di mulai, partai politik telah disibukkan untuk menyusun strategi demi memenangkan kontestasi politik di penghujung tahun ini. Pengumuman nama yang akan diusung oleh partai merupakan hal yang ditunggu-tunggu,  karena masyarakat ingin mengetahui siapa pemimpin yang akan memimpin daerah tempat tinggalnya untuk lima tahun ke depan.

Beberapa waktu terakhir masing-masing partai politik telah mengumumkan nama-nama yang akan bertarung di ajang Pilkada 2024. Dari keseluruhan nama itu, mata publik tertuju kepada beberapa nama seperti, Marshel Widianto yang diusung oleh Partai Gerindra sebagai Calon Wakil Walikota Tangerang Selatan dan Jeje Govinda yang diusung oleh Partai Amanat Nasional sebagai Calon Bupati Bandung Barat (Tempo, diakses 23 Juli 2024).

Deretan nama-nama itu tentunya menimbulkan spekulasi di dalam masyarakat apakah partai politik hanya mementingkan popularitas ketimbang representasi yang berkualitas? Demi menjawab persoalan itu mari kita kembali ke rumah sejarah untuk melihat bagaimana perubahan paradigma politik di Indonesia.  

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Sistem Pendidikan Menjadi Arena Kecurangan di Perguruan Tinggi?
MAHASISWA BERSUARA: Pentingnya Rumah Nyaman untuk Kesehatan Mental
MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Industri Rumah Tangga Mengurus Perizinan

Popularitas sebagai Komoditas Politik  

Dalam jurnal yang berjudul “From Celebrity To Politician: The Indonesia Women Celebrity in House of Representative (DPR RI) 2004-2007” dinyatakan bahwa peran seniman di panggung politik Indonesia mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Menurut Jennifer Linsay (2005) tahun 1955 merupakan awal peran seniman di ranah politik. Pada tahun tersebut partai politik menggunakan para seniman tradisional untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kampanye dan pertemuan politik. Melalui seniman tradisional ini pula partai politik berusaha menerjemahkan ideologi yang dimilikinya. Pada titik ini Organisasi Kebudayaan seperti LEKRA dan MANIKEBU memiliki peranan penting dalam penyebaran ideologi melalui kerja-kerja kultural.

Setelah kebangkitan Orde Baru, peran seniman tradisional mulai tergantikan oleh seniman modern yang diadopsi oleh industri media massa seperti televisi. Popularitas yang mereka dapatkan dijadikan sebagai akomodasi oleh partai politik sebagai vote getter. Kehadiran mereka menjadi kekuatan baru dalam kampanye politik maupun kontestasi politik. Pasca Orde Baru budaya popular dan budaya politik di Indonesia saling berkontestasi di kancah politik. Perkembangan industri media massa memberi dampak yang besar dalam menentukan gaya demokrasi di Indonesia. Menurut Aep Saifulloh Fatah perekrutan selebritas oleh aktor politik hanya sebatas sebagai vote getter dan bukan bagian dari agenda pendidikan politik.

Peran selebritas sebagai vote getter semakin dipertajam melalui risert yang berjudul “Celebrity Politicians, Digital Campaigns, and Performances of Political Legitimacy in Indonesia’s 2019 Elections”. Dalam riset itu dinyatakan bahwa politisi dan selebriti memiliki peran yang sama untuk mewakili publik, akan tetapi tantangan selebriti tidaklah sama dengan para politisi karena mereka harus memiliki legitimasi di panggung politik. Tantangan itu dapat diantisipasi oleh selebritas karena pada dasarnya mereka memiliki kekuatan afektif. Kekuatan afektif didefinisikan sebagai keterikatan emosional yang dimiliki oleh publik atau audiens terhadap selebritas. Media sosial menjadi medium yang sangat penting bagi selebritas untuk menyebarkan kekuatan afektifnya kepada Masyarakat. Maka dari itu, penting bagi politisi dan selebritas untuk membentuk citra yang luhur di depan mata Masyarakat.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa ada hubungan mutualisme yang terjalin antara partai dengan selebritas. Partai politik yang haus akan kemenangan memerlukan sosok yang dapat mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Sosok ini haruslah dikenal oleh masyarakat luas dan memiliki daya tariknya tersendiri, karena selebritas memiliki itu semua partai politik menunjuk mereka sebagai perwakilan dalam kontestasi pemilu.

Disfungsi Partai Politik

Munculnya nama-nama selebritas pada kontestasi politik di Indonesia semakin menegaskan bahwa partai politik telah menihilkan fungsi kaderisasi. Fungsi ini bertujuan untuk menghadirkan kader-kader yang berkualitas melalui pendidikan politik yang diselenggarakan oleh partai itu sendiri, akan tetapi tujuan itu harus pupus karena cara-cara partai politik yang pragmatis.

Pragmatisme politik merupakan jalan cepat bagi partai politik untuk memperoleh kekuasaan. Pendidikan politik di dalam masyarakat adalah hal yang menyia-nyiakan waktu bagi partai politik. Pengusungan nama-nama beken seperti Marshel Widianto ataupun Jeje Govinda mempertunjukkan bahwa penanaman ideologis kepada individu bukanlah hal yang penting, karena bagian terpenting dari pemilu adalah manfaat, kemenangan dan kekuasaan.

Sikap pragmatis pada ranah politik juga diperkuat oleh pola karakteristik pemilih di Indonesia yang tergolong pemilih praktis, pilihan hanya didasarkan kepada tokoh atau figur yang memiliki keinginan atau tujuan yang sama dalam waktu yang singkat, Sehingga dalam proses penentuan calon partai politik tidak jarang untuk memilih calon di luar kader partai dengan elektabilitas yang tinggi ataupun figur popular yang memiliki massa yang banyak (Endah, 2019).

Apabila langkah-langkah ini diteruskan, budaya politik di Indonesia tidak akan pernah dewasa. Proses pengaderan yang seharusnya dapat membentuk kader yang berkualitas dan berkompeten hanya dijadikan sebagai ajang formalitas belaka. Apabila proses ini terus dilanggengkan masyarakat akan hanya menjadi sapi perah bagi mereka yang ingin berkuasa.

Titik Terang

Demi terhindarnya sikap pragmatisme politik perlu adanya beberapa langkah untuk mengantisipasinya salah satunya adalah pengembalian Uji Publik dalam proses pemilihan kepada daerah. Konsep uji publik ini nyatanya pernah diatur oleh dalam UU No. 1 Tahun 2015 Uji publik ini difungsikan untuk mendapatkan kepala daerah yang berkualitas dengan memenuhi unsur kompetensi, integritas, kapabilitas serta akseptabilitas (Hutapea, 2015).

Dalam UU tersebut dinyatakan pula bahwa Uji Publik ini diselenggarakan oleh panitia Uji Publik yang beranggotakan 2 (dua) orang dari unsur akademisi, 2 (dua) orang dari tokoh masyarakat dan 1 (satu) orang anggota KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota. Sistem ini memberikan partisipasi masyarakat secara luas. Masyarakat tidak hanya diajak untuk ikut terlibat dalam memilih di bilik TPS akan tetapi juga berpartisipasi dalam mengkritisi ide, gagasan maupun ideologi calon pemimpinnya.

Seperti yang dinyatakan oleh Titi Aggraini (Direktur Perludem) bahwa uji publik memberi ruang komunikasi antara pemilih dan bakal calon (Marliana, 2020). Proses seperti inilah yang bisa mendewasakan masyarakat dalam hal politik dan masyarakat tidak lagi dianggap  sebagai statistika belaka di mata partai politik.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//