• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Sistem Pendidikan Menjadi Arena Kecurangan di Perguruan Tinggi?

MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Sistem Pendidikan Menjadi Arena Kecurangan di Perguruan Tinggi?

Ketika norma-norma korupsi dibiarkan tanpa penegakan hukum atau tindakan korektif akan menciptakan siklus perilaku yang sulit dipecahkan.

Alif Safikri

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ilustrasi komersialisasi pendidikan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

28 Juli 2024


BandungBergerak.id – Korupsi di dunia perguruan tinggi sering kali menjadi isu yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup, padahal dampaknya sangat merusak integritas dan kualitas pendidikan. Sebagai institusi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keilmuan, perguruan tinggi sering kali menjadi arena bagi berbagai praktik korupsi yang sistematis. Praktik-praktik ini bukan hanya mencerminkan penyimpangan etika, tetapi juga menunjukkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Untuk memahami kedalaman masalah ini, kita perlu menggali berbagai aspek dari korupsi di perguruan tinggi, menilai bagaimana praktik ini dinormalisasi di kalangan mahasiswa, dan mengidentifikasi solusi yang tepat untuk menanggulanginya.

Korupsi dalam lingkungan akademik sering kali tidak tampak jelas pada pandangan pertama, tetapi dampaknya sangat signifikan. Penyuapan dalam penerimaan mahasiswa adalah salah satu bentuk korupsi yang paling sering terjadi. Dalam sistem yang seharusnya adil dan meritokratis, penyuapan merusak prinsip dasar penerimaan yang berlandaskan pada kemampuan akademik dan potensi. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang mendalam, di mana mahasiswa dengan sumber daya finansial mendapatkan akses ke pendidikan yang seharusnya berdasarkan pencapaian dan bakat. Selain itu, kecurangan dalam penilaian juga merusak integritas akademik. Mahasiswa yang membayar untuk nilai yang lebih tinggi atau menggunakan koneksi untuk mendapatkan penilaian yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka tidak hanya merugikan dirinya sendiri tetapi juga mengancam kualitas pendidikan dan keadilan di lingkungan akademik.

Plagiarisme merupakan fenomena lain yang mengancam integritas akademik. Mahasiswa yang menyadur karya orang lain tanpa atribusi yang tepat menciptakan budaya di mana kejujuran intelektual tidak dihargai. Tindakan ini mengurangi nilai dari proses pembelajaran dan merusak kredibilitas institusi. Sementara itu, kecurangan dalam penelitian juga menunjukkan bagaimana korupsi bisa merusak bidang ilmiah. Peneliti yang memanipulasi data atau memberikan informasi yang menyesatkan dalam proposal penelitian tidak hanya merusak reputasi mereka sendiri tetapi juga berpotensi membahayakan kemajuan ilmiah secara keseluruhan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mencari Kepala Daerah yang Berkualitas
MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Kiprah Organisasi Mahasiswa Daerah dalam Pembangunan Lokal
MAHASISWA BERSUARA: Memahami Pendidikan Kaum Tertindas Paulo Freire

Fenomena Normalisasi Korupsi

Fenomena normalisasi korupsi di kalangan mahasiswa menggambarkan masalah sistemik yang lebih besar. Dalam banyak kasus, mahasiswa yang terlibat dalam praktik korupsi tidak merasa bahwa mereka melakukan sesuatu yang salah. Normalisasi korupsi sering kali terjadi karena ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan yang dianggap tidak adil atau tidak memadai. Ketika mahasiswa merasa bahwa kesempatan mereka untuk berhasil bergantung pada koneksi atau pengaruh eksternal, mereka cenderung mencari jalan pintas untuk mencapai tujuan akademik. Kurangnya pemahaman yang mendalam tentang etika akademik memperburuk masalah ini, di mana banyak mahasiswa tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tentang pentingnya integritas akademik dan dampak negatif dari perilaku korup.

Tekanan untuk berprestasi juga merupakan faktor pendorong utama. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif, mahasiswa sering kali merasa terpaksa untuk menggunakan metode tidak etis demi memenuhi ekspektasi yang tinggi dari orang tua, mendapatkan beasiswa, atau bersaing di pasar kerja yang ketat. Dalam konteks ini, korupsi menjadi pilihan pragmatis yang dianggap sebagai solusi untuk mencapai hasil yang diinginkan. Budaya kampus yang toleran atau bahkan mendukung perilaku tidak etis memperburuk situasi ini. Ketika norma-norma korupsi dibiarkan tanpa penegakan hukum yang ketat atau tindakan korektif, mereka menjadi bagian dari budaya kampus, menciptakan siklus perilaku yang sulit dipecahkan.

Dampak dari korupsi di perguruan tinggi sangat luas dan merusak. Pertama-tama, korupsi menurunkan kualitas pendidikan. Ketika kejujuran akademik tidak dihargai, lulusan yang dihasilkan tidak hanya kurang siap menghadapi tantangan profesional tetapi juga mengurangi daya saing institusi di tingkat global. Kehilangan kepercayaan publik juga merupakan dampak serius. Institusi pendidikan tinggi yang terlibat dalam praktik korupsi kehilangan kredibilitas dan daya tariknya, yang berdampak negatif pada pendaftaran mahasiswa dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Korupsi juga memperlebar kesenjangan sosial. Mahasiswa yang memiliki akses ke sumber daya finansial sering kali mendapatkan keuntungan yang tidak adil dibandingkan dengan mereka yang kurang mampu, memperburuk ketidaksetaraan sosial yang sudah ada.

Untuk menanggulangi masalah korupsi di perguruan tinggi, pendekatan yang menyeluruh dan strategis diperlukan. Pertama, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi fokus utama. Proses penerimaan mahasiswa, penilaian, dan pengelolaan anggaran perlu dilakukan dengan sistem yang jelas dan terbuka, dengan pengawasan yang ketat terhadap pengadaan barang dan jasa. Selanjutnya, pendidikan tentang etika dan integritas akademik harus diintegrasikan secara mendalam dalam kurikulum perguruan tinggi. Mahasiswa perlu diberikan pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai kejujuran akademik dan dampak negatif dari korupsi, serta bagaimana hal tersebut memengaruhi reputasi dan kualitas institusi pendidikan.

Penegakan hukum dan kebijakan anti-korupsi harus diterapkan dengan konsisten dan tegas. Setiap bentuk korupsi harus mendapatkan sanksi yang sesuai untuk mencegah terulangnya perilaku serupa di masa depan. Terakhir, membangun budaya kampus yang mendukung integritas dan kejujuran sangat penting. Perguruan tinggi harus menciptakan lingkungan yang tidak mentolerir perilaku korupsi dan mendorong perilaku etis di semua tingkatan, dari mahasiswa hingga dosen dan manajer.

Dengan pendekatan yang menyeluruh dan strategis, kita dapat memerangi korupsi di perguruan tinggi dan memastikan bahwa institusi pendidikan tinggi tetap menjadi tempat di mana kejujuran dan keunggulan akademik dihargai. Hanya melalui upaya bersama yang konsisten dan berkelanjutan, kita dapat mengembalikan integritas dalam pendidikan tinggi dan memastikan bahwa masa depan akademik yang lebih baik dan lebih adil dapat dicapai.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//