MAHASISWA BERSUARA: Kata yang Bersuara dan Kebijakan yang Bisu
Komunikasi publik pemerintah harus berubah dari teater one-man show menjadi dialog beradab, bukan dialog sinis, tetapi dialog produktif.

Herlin Septiani
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pasundan (Unpas) Bandung
30 Juni 2025
BandungBergerak.id – Dalam berbagai kesempatan, para pejabat pemerintah tampil seperti musisi orkes tanpa konduktor, yaitu satu kementerian bersuara satu nada dan yang lain berada di nada lain. Narasi yang tidak selaras ini membuat rakyat bingung, bukan tercerahkan.
Pengamat politik, Agung Baskoro menyatakan bahwa Kabinet Merah Putih saat ini terlalu gemuk, sehingga komunikasi antarmenteri dan jajaran humas menjadi sulit diorkestrasikan, akibatnya yaitu narasi pemerintah kerap tidak konsisten dan justru membingungkan publik. Menurutnya, jika masalahnya hanya jumlah, itu urusan matematika. Masalah yang lebih parah adalah kualitas koordinasi, seperti satu pejabat bicara A, besoknya pejabat lain meralat dengan B, dan esoknya dihapus semua menjadi C yang absurd.
Survei Litbang Kompas pada bulan Februari 2025 menemukan bahwa 7 dari 10 responden menyatakan kebijakan pemerintah “tidak jelas” karena lemahnya sosialisasi dan kurangnya koordinasi antarlembaga. Ini bukan hanya soal miskom di balik layar, tetapi ini soal strategi komunikasi yang nyaris kosong. Jika pejabat saja tidak rapat sebelum tampil, bagaimana masyarakat bisa memahami seluk-beluk kebijakan? Maka bukan kepercayaan yang tumbuh, melainkan timbulnya kelelahan mental karena berhadapan dengan ombak kebijakan dua kali sehari.
Saya kira kita tengah menyaksikan apa yang dalam kajian politik disebut sebagai kegagalan orkestrasi birokrasi, yaitu ketika instrumen-instrumen negara seharusnya memainkan satu komposisi, tapi malah sibuk menampilkan solo masing-masing. Dalam hal ini, kebijakan bukan lagi hasil deliberasi matang, melainkan semacam pertunjukan adu cepat berbicara tanpa sempat menyamakan makna. Hasilnya? Rakyat dijadikan medan uji coba dari komunikasi negara yang gagap dan centang-perenang.
Ini bukan saja merusak kredibilitas institusi, tapi juga mengikis public trust yang selama ini jadi modal sosial pemerintahan. Survei Litbang Kompas menunjukkan mayoritas masyarakat merasa arah kebijakan pemerintah “tidak jelas”. Jika kepercayaan adalah fondasi kepemimpinan, maka pemerintah saat ini tengah memalu tiang-tiangnya sendiri dengan palu bernama inkonsistensi.
Yang lebih menyedihkan adalah, rakyat bukan hanya dibiarkan bingung, tapi diminta maklum. Ketika suara rakyat bertanya, suara pejabat menjawab dengan candaan. Saat masyarakat resah, mereka malah disuruh “lihat sisi positifnya” dan ketika kritik datang dari bawah, mereka sibuk menyusun narasi “ini hanya miskomunikasi”.
Saya kira, ini bukan sekadar miskomunikasi. Ini malpraktik komunikasi politik yang terlalu lama dibungkus dengan strategi pencitraan. Kita tidak sedang kekurangan informasi, kita sedang kelebihan noise. Noise ini yang berasal dari pejabat satu ke pejabat lainnya tak kunjung menjadi sinyal yang jelas.
Jika pemerintahan terus bersikap seperti ini, rakyat tidak hanya lelah secara sosial, tapi juga secara kognitif. Mereka tidak tahu lagi mana aturan yang sahih, mana ucapan yang bisa digenggam, dan mana kebijakan yang bisa dipercaya. Kita sedang hidup dalam zaman di mana keputusan berubah secepat berita trending, tapi dampaknya harus ditanggung seumur hidup oleh rakyat kecil.
Karena itu, jika pemerintah ingin memulihkan legitimasi, langkah pertamanya bukan rebranding kementerian atau menciptakan jargon baru. Tapi mengembalikan esensi komunikasi publik, satu suara, satu sikap, satu akal sehat. Jika itu tidak bisa, maka jangan heran jika rakyat mulai percaya bahwa negara ini bukan sedang berjalan bersama, tapi berjalan tersesat—dengan banyak suara, tapi tanpa arah.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Antara Sekolah Negeri dan Swasta, Potret Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan
MAHASISWA BERSUARA: Belajar dari Kegagalan Program Tempat Parkir Elektronik di Kota Bandung
MAHASISWA BERSUARA: Danau Ketidakpedulian Itu Bernama Bandung
Gagap Komunikasi Pejabat Indonesia
Ketika krisis pandemi Covid-19 mengganas pada 2020 silam, komunikasi pemerintah malah makin membingungkan, seperti halnya wakil presiden pada saat itu, yaitu Ma’aruf Amin sempat menyarankan “susu kuda liar” untuk menangkal virus dan beberapa pejabat meremehkan virus melalui candaan yang menyebut “karena doyan nasi kucing” atau “karena izin ribet,” serta sempat juga mengatakan mobil Corona sudah pergi dari Indonesia. Pada fase awal, ada inkonsistensi signifikan, seperti halnya pada Fadjroel Rachman menyebut boleh mudik dengan isolasi mandiri, lalu diralat oleh Mensesneg Pratikno. Menteri Perhubungan dan Presiden pun saling berbeda nada soal mudik.
Laporan dari Kumparan dan The Conversation menggarisbawahi, pesan yang simpang-siur dan kurangnya sense of crisis membuat masyarakat meremehkan wabah terlihat dari survei BPS bahwa 17 persen merasa diri mereka tak mungkin tertular.
Akibat inkonsistensi ini, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak efektif, angka mudik tetap tinggi, dan rakyat mengemis penjelasan yang sering kali tidak diberikan jawaban.
Saya melihatnya seperti penonton teater yang diberi banyak naskah, tapi tak satu pun aktor tahu cerita mana yang sedang dimainkan. Tidak pelik, hanya gegabah. Akhirnya, masyarakat tidak sembuh dari pandemi, tetapi justru bertahan dalam kebingungan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Kegagapan ini juga tampak saat Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, merespons ancaman terhadap jurnalis Tempo yang dikirimi kepala babi dengan kalimat, “Masak saja kepala babinya.”
Koalisi masyarakat sipil mengecam itu sebagai minim empati, Deputi Balitbang Demokrat, Syahrial Nasution menilai jawaban tersebut mencerminkan miskin etika. Saya pun meradang saat mendengarnya, bahwa ancaman nyata terhadap jurnalis, dilecehkan hanya dengan candaan?
Komentar menyepelekan ini bukan hanya hambar, tetapi menghapus kekayaan makna kritis dalam demokrasi. Nyawa bukan bahan masakan dadakan dan kritik bukan guyonan kosong.
Keinkonsistenan pejabat pemerintah dalam mengkomunikasikan kebijakan kepada masyarakat sudah terlihat sejak periode kepresidenan sebelum Presiden Prabowo. Hal ini mencerminkan ketidakmampuan pejabat dalam merumuskan dan membenahi kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan rakyat. Seharusnya, kegagalan ini menjadi pembelajaran penting bagi kabinet kepresidenan saat ini, agar orang-orang yang tidak kompeten tidak lagi diberikan kuasa atas hajat hidup orang banyak.
Panggung Kekuasaan, Dialog Tanpa Lawan Bicara
Komunikasi publik pemerintah harus berubah dari teater one-man show menjadi dialog beradab, bukan dialog sinis, tetapi dialog produktif.
Deputi Pelayanan Publik Kementerian PANRB, Diah Natalisa, mengemukakan bahwa pelibatan masyarakat sejak tahap perumusan hingga evaluasi kebijakan adalah keharusan bagi efektivitas pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Meski begitu, e‑participation di Indonesia masih bersifat tokenistik, yaitu portal digital seperti SIMAS PUU dan Kemenkumham tersedia, tapi tidak mendukung interaksi atau umpan balik nyata dari masyarakat.
Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2017 mengatur kewajiban pembuatan regulasi melibatkan masyarakat, tapi dalam praktiknya sering diabaikan oleh birokrasi yang masih resisten dan minim dukungan anggaran serta SDM.
Data menunjukkan, pelibatan publik bukan bagian dari skenario dan penyampaian sering dianggap dialog monolog. Jika komunikasi hanya dipakai sebagai alat pencitraan atau guyonan, rakyat hanya menjadi figuran dalam drama kekuasaan. Sudah saatnya pejabat dilatih mengedepankan sensitivitas, bukan hanya basa basi demi akun medsos.
Mari dorong reformasi komunikasi, berikan pelatihan komunikasi etis untuk semua pejabat publik, setiap kebijakan besar harus didahului dialog dan sosialisasi publik, serta pernyataan berdampak harus disaring lewat uji sensitivitas –apakah menghormati hak, martabat, dan keamanan rakyat?
Data dan fakta mengungkap bahwa pemerintah saat ini terlalu sering kecolongan dalam komunikasi. Televisi diselingi narasi bernyanyi manja, padahal kita butuh narasi tegas bermartabat.
Negara bukan stage drama. Rakyat bukan audience. Demokrasi menuntut komunikasi yang bermakna dan dua arah, bertanggung jawab, serta menghormati kehidupan.
Untuk itu, kita tidak menuntut kata-kata indah, tapi tindakan yang konsisten. Demokrasi tidak dirawat di teater elite, melainkan dibangun bersama dalam dialog nyata yang dimulai dari kata yang tepat, bijak, dan manusiawi.
Tanpa pelibatan publik nyata, komunikasi pemerintah hanya menjadi topeng diskusi demokratis tanpa adanya substansi perwakilan rakyat. Komunikasi pemerintah harus menjawab bukan sekadar “apa kata saya”, tapi menjadi “apa yang rakyat pahami dan rasakan”, agar demokrasi tidak dihabisi oleh kekosongan informasi.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara