• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Danau Ketidakpedulian Itu Bernama Bandung

MAHASISWA BERSUARA: Danau Ketidakpedulian Itu Bernama Bandung

Bandung yang sekarang berbentuk cekungan raksasa, dulunya adalah danau purba besar. Bandung kini menampung masalah klasik kota besar yang memburuk.

Zhaafir Kautsar Yuristiawan

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Lanskap dasar Cekungan Bandung di Gedebage dengan latar pegunungan Bandung Selatan dari dataran tinggi Cimenyan, Kabupaten Bandung, 21 Maret 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

29 Juni 2025


BandungBergerak.id – Bandung sebagai sebuah metropolitan melahirkan masalah klasik kota besar yang kian memburuk. Seperti kemacetan, keamanan, dan yang tidak kalah penting adalah perihal lingkungan. Masalah ini tak jarang hanya menjadi semacam gajah di pelupuk mata, yang menolak untuk dilihat oleh warga Bandung. Mereka tetap berlalu-lalang tanpa memedulikan kotanya yang mati perlahan-lahan. Tulisan ini menjadi semacam ungkapan keresahan pada tiap-tiap insan yang masih belum peduli, dan menjadi goresan pena yang berusaha menyadarkan bahwa Bandung adalah kota kita bersama yang harus dirawat, baik oleh warganya ataupun pemerintahnya.

Menilik Bandung Secara Historis

Seperti yang kita ketahui semua, bahwa Bandung yang sekarang berbentuk cekungan raksasa, dulunya adalah danau purba besar. Danau ini dipisahkan oleh perbukitan Selacau dan Lagadar yang terletak di Cimahi, yang membuat danau ini terlihat seperti dua danau berbeda yang berhadap-hadapan (Suganda, 2007). Dengan cekungan gunung-gunung yang juga mengelilingi, bentukan alam inilah yang menjadi penanda bahwa dahulu Bandung merupakan sebuah danau purba besar

Pada sejarah awal pembentukannya, Kota Bandung merupakan kota kecil bernama Krapyak, yang posisinya terletak di Dayeuh Kolot sekarang. Kemudian terjadi pemindahan pusat kota ke sekitaran Pendopo dan Asia Afrika. Dayeuh Kolot sendiri berarti “kota tua” dalam bahasa Sunda. Pembangunan Bandung menjadi kota kolonial ini dikehendaki oleh Daendels, yang berambisi mendirikan sebuah kota untuk kepentingan kolonial. Pusat kota pun dibangun di bawah kepemimpinan Bupati Wiranatakusumah II.

Penamaan Kota Bandung juga menuai beragam versi. Ada yang menyebutkan bahwa Bandung mengacu pada Situ Hyang yang terlihat seperti dua danau besar, sehingga disebut babandungan yang berarti berpasangan (Suganda, 2007). Ada pula yang menyebutkan bahwa penamaan Bandung mengacu pada adanya sumur yang berpasangan di tengah kota, sehingga disebut pula babandungan (Brahmantyo & Bachtiar, 2009). Sumur ini juga yang menjadi acuan penamaan jalan Sumur Bandung. Terlepas dari versi mana, penamaan Bandung sama-sama mengacu pada kata babandungan yang berarti berpasangan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Gengsi Selangit tapi Dompet Sempit
MAHASISWA BERSUARA: Antara Sekolah Negeri dan Swasta, Potret Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan
MAHASISWA BERSUARA: Belajar dari Kegagalan Program Tempat Parkir Elektronik di Kota Bandung

Paris Van Java Dengan Segala Keasriannya

Paris Van Java bukan hanya sekedar julukan, melainkan cerminan atas realitas alam dan suasana Bandung dahulu. Selain pembangunan Bandung yang berarsitektur ala Eropa, terdapat perkebunan yang terhampar luas di berbagai daerah Bandung membuat suasana Bandung sangat asri, mirip Paris. Termasuk menempatkan pusat perbelanjaan di Jalan Braga yang dulunya hanya jalur pedati. Sehingga Paris Van Java bukan merupakan julukan yang datang dari ruang hampa.

Selain itu, kemasyhuran asrinya Bandung juga tercium sampai tanah Thailand. Bahkan pada tahun 1905, Raja Rama V tercatat pernah berkunjung ke Curug Dago (Brahmantyo & Bachtiar, 2009). Tidak ada yang tahu pasti kenapa Raja Rama V sempat mengunjungi Curug Dago yang saat itu masih hutan belantara. Petilasan kunjungan Raja Rama V itu dapat kita jumpai sekarang di Curug Dago, yang tepat di sebelahnya terdapat sebuah prasasti berbahasa Thailand.

Jika berbicara tentang keasrian Bandung, rasanya belum lengkap jika kita tidak membahas terkait Ci, Kapundung. Sungai ini membentang dari Gunung Palasari sampai bertemu dengan Ci Tarum di daerah selatan. Sungai ini juga sering dijadikan sumber penghidupan warga Bandung tempo dulu, sebelum sungai ini menjadi ladang penyakit dan manifestasi dari ketidakpeduliannya warga Bandung.

Bagaimana Bandung Perlahan Mati

Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Ci Kapundung, geus balik deui. Ini adalah sebuah uga atau pepatah yang diturunkan dari lisan ke lisan. Jika diterjemahkan, artinya Sunda akan tinggi derajatnya ketika yang merajuk dari Bandung ke Ci Kapundung sudah kembali. Hal ini dapat merujuk pada pemindahan Kota Bandung dari Krapyak Dayeuh Kolot ke Pusat Bandung sekarang. Pemindahan ini bukan tanpa harga, yang berakibat pada dipekerjakannya warga Bandung dalam pembangunan pusat kota yang baru. Namun, jika kita kontekstualisasi uga tersebut, dapat dipahami bagaimana kita dapat mengembalikan kondisi Sungai Ci Kapundung yang sudah sangat memprihatinkan ke bentuk aslinya yang asri. Tingkat pencemaran air di Ci Kapundung sudah berada pada tingkat sangat buruk dan sangat tercemar, dengan angka -181 sampai -205 dengan metode storet (Saeful & Artiningrum, 2023). Di sisi lain, daerah aliran sungai (DAS) Ci Kapundung ini sudah dipenuhi pemukiman, sehingga sangat memungkinkan jika pembuangan sampah domestik dapat langsung dilempar ke bantaran Sungai Ci Kapundung. Hal ini dapat terjadi karena kurang memadainya tempat pembuangan limbah domestik, dan juga mental yang acuh tak acuh dari warga sekitar. Mungkin di kemudian hari, Sunda akan kembali tinggi derajatnya ketika yang merajuk kembali lagi menjadi asri semula. Ketika sungai Ci Kapundung kembali asri dan dipenuhi oleh Pohon Kapundung atau Pohon Menteng sesuai penamaan sungai tersebut. Pencemaran sungai Ci Kapundung seharusnya dapat dicegah sejak awal, jika pemerintah melakukan relokasi ataupun penindakan tegas pada warga yang mendiami DAS Ci Kapundung.

Selain terkait pencemaran Sungai Ci Kapundung, pencemaran udara pun menjadi masalah tersendiri di Kota Bandung. Berdasarkan pantauan real time IQair pada tanggal 9 Juni 2025 pukul 21.30 malam, Kota Bandung menempati posisi kedua dengan status kualitas udara tidak sehat. Indeks kualitas udara Kota Bandung menunjukkan hingga 172 AQI US dengan polutan utama yang menyelimuti yakni pm2.5 sebanyak 86 mikrogram. California Air Resources Board menjelaskan bahwa pm2.5 merupakan polutan yang dihasilkan dari proses pembakaran bensin, minyak, bahan bakar diesel, dan kayu. Melansir dari WHO atau World Health Organization (2021), pm2.5 dapat menyebabkan penyakit pada sistem kardiovaskuler dan pernapasan. Selain itu, pm2.5 juga dapat memicu penyakit stroke dan kanker. Pencemaran udara ini, sebagian besar disebabkan oleh banyaknya emisi karbon yang berasal dari kendaraan. Dengan ancaman seperti ini, rasanya belum ada urgensi dari pemerintah Kota Bandung untuk menyelesaikan permasalahan. Terlihat dari minimnya transportasi umum yang seharusnya dapat menopang mobilitas masyarakat.

Jika kita bermain ke daerah barat Bandung, tepatnya di daerah Padalarang, terdapat pegunungan karst yang semakin hari kian dikeruk oleh pertambangan. Sebutlah di Desa Citatah, yang mana kualitas air, tanah, dan udara kian menurun karena pertambangan yang terjadi. Kita dapat melihat bagaimana Gunung Masigit kian hari kian habis dikeruk oleh ketamakan dan ketidakpedulian. Sangat disayangkan jika kita melihat indahnya bentang alam Citatah, yang digadang-gadang oleh Brahmantyo dan Bachtiar (2009) sebagai Taman Nasional Yosemite Bandung, sedang dikeruk habis. Sangat disayangkan pula, bekas-bekas peninggalan danau purba cekungan Bandung ini dirusak. Selain itu, di sekitaran Gunung Masigit pernah ditemukan fosil manusia sunda purba berumur 9.500 tahun, tepatnya di Gua Pawon (Brahmantyo & Bachtiar, 2009). Berdasarkan penemuan dan keadaan alam, gunung tersebut adalah saksi dari sejarah peradaban awal di Bandung. Tidak ada yang tahu mengapa pemerintah memberi izin penuh kepada perusahaan tambang untuk mengeruk habis jejak historis dan alam Bandung.

Terakhir, jika berbicara tentang lingkungan kita tidak dapat mengabaikan permasalahan sampah. Kota Bandung adalah salah satu kota dengan penyumbang sampah terbesar di Indonesia. Dilansir dari Bebassampah.id (2024), Bandung dapat menghasilkan sekitar 1,5 ton sampah per harinya. Namun melonjaknya sampah ini tidak diiringi oleh fasilitas yang memadai. Karena sampai hari ini, Bandung tidak memiliki tempat pembuangan sendiri, melainkan berpusat di TPA Sarimukti, yang kapasitasnya sudah melebihi batas hingga 700%.

Rentetan perusakan lingkungan tersebut tidak datang dari ruang hampa. Mereka datang dari ketamakan dan ketidakpedulian, baik yang dilakukan oleh warga Bandung dan juga pemerintahnya. Seluruh problematika ini seharusnya menyadarkan kita, bahwa Bandung telah kembali menjadi danau yang besar, tetapi danau ini telah berubah bentuk, dan menjelma pada setiap insannya. Danau ini adalah danau ketidakpedulian!

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//