• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Gengsi Selangit tapi Dompet Sempit

MAHASISWA BERSUARA: Gengsi Selangit tapi Dompet Sempit

Budaya konsumtif ini bukan tumbuh tanpa akar. Lingkungan kampus, media sosial, hingga algoritma digital turut memupuknya.

Theresia Sanvia Santoso

Mahasiswa Program Studi Administrasi Bisnis Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi kemudahan transaksi daring memicu budaya konsumerisme yang menjerat masyarakat. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

23 Juni 2025


BandungBergerak.id"Ya harus nongkrong dong, biar nggak kelihatan miskin di story."

Kalimat itu terdengar sepele, bahkan lucu. Tapi ketika saya mendengarnya langsung dari teman saya, mengeluh karena kiriman bulanan habis sebelum tengah bulan, saya tahu ini bukan sekadar lelucon. Ini potret nyata dari dinamika hidup mahasiswa hari ini: hidup dalam tekanan sosial, membungkus kekosongan finansial dengan kemasan citra.

Istilah "kuliah adalah empat tahun pengangguran dengan gaya" sempat viral di media sosial. Satir yang menyentil, namun menyimpan ironi. Sebab di balik tawa Gen-Z saat mengutipnya, banyak dari mereka justru sedang hidup di dalamnya. Demi gengsi, mahasiswa rela berutang lewat paylater, membeli barang branded, nongkrong di kafe estetik, dan bergaya hidup tinggi yang tak sebanding dengan kemampuan finansialnya.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Regulasi Impor Longgar, Industri Pakaian Lokal Kian Terjepit oleh Produk Asing Murah
MAHASISWA BERSUARA: Energi Hijau, Solusi Ramah Lingkungan yang Belum Ramah Sosial
MAHASISWA BERSUARA: Urgensi Vaksinasi HPV sebagai Upaya Pencegahan Kanker Serviks di Indonesia

Budaya Konsumtif

Budaya konsumtif ini bukan tumbuh tanpa akar. Lingkungan kampus, media sosial, hingga algoritma digital turut memupuknya. Status sosial hari ini bukan lagi ditentukan oleh capaian akademik, tetapi oleh seberapa estetik feed Instagram dan seberapa update gaya hidup.

Survei Katadata Insight Center (2023) mencatat 48 persen mahasiswa pernah menggunakan layanan paylater untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Bukan kebutuhan pokok. Ini berarti hampir separuh mahasiswa Indonesia secara sadar memprioritaskan citra daripada kestabilan keuangan. Mahasiswa yang hemat dianggap tidak gaul. Membawa bekal dari rumah, naik angkutan umum, atau membeli pakaian thrift bisa memunculkan rasa minder.

Tekanan sosial ini menyumbat proses pembelajaran finansial yang penting. Masa kuliah sejatinya adalah waktu strategis untuk membangun literasi keuangan: menyusun anggaran, menabung, belajar investasi. Tapi bagaimana mungkin hal ini bisa tumbuh jika gengsi menjadi mata uang utama?

Rasa gengsi menjadi penghalang utama yang membuat mahasiswa sulit meraih kemerdekaan finansial.

Menurut BPS (2023), 56 persen anak muda usia 18–25 tahun tidak memiliki tabungan sama sekali. Ini angka yang tidak bisa dianggap remeh. Di tengah ketidakpastian ekonomi, perubahan teknologi, dan ancaman krisis global, generasi muda berisiko jadi bagian dari sandwich generation, generasi yang harus menanggung orang tua dan anak-anaknya sekaligus. Tanpa fondasi finansial yang kuat sejak dini, mereka akan semakin terpuruk.

Self Destruct?

Lantas, ke mana arah hidup mahasiswa jika hari ini hanya diisi dengan konsumsi impulsif dan pencitraan kosong? Di sinilah pentingnya refleksi. Apakah "self-reward" yang sering kita banggakan benar-benar membentuk kita? Atau justru, itu adalah bentuk halus dari self-destruct yang pelan-pelan merusak masa depan kita?

Alternatifnya bukan hidup pas-pasan, tapi hidup dengan kesadaran. Gaya hidup minimalis bisa menjadi salah satu jawaban. Bukan tentang pelit atau menolak kesenangan, tetapi soal menunda kesenangan demi tujuan jangka panjang. Misalnya, uang yang biasa dihabiskan untuk nongkrong bisa dialihkan untuk dana darurat, investasi kecil-kecilan, atau bahkan modal usaha. Ini soal mengambil alih kendali hidup, mulai dari dompet sendiri.

Bandung, kota yang kita tinggali hari ini, bukan cuma kota kafe dan gaya. Ia juga kota dengan komunitas intelektual, gerakan sosial, dan potensi kewirausahaan yang tinggi. Mahasiswa Bandung punya peluang besar menjadi pelopor perubahan: menyuarakan gaya hidup sadar, membangun narasi baru tentang finansial yang sehat dan mandiri.

Di tengah gempuran tren dan standar sosial semu, keberanian untuk hidup sederhana adalah tindakan radikal. Karena sejatinya, bukan soal seberapa keren kita terlihat di story. Tapi seberapa siap kita bertahan di dunia nyata. Dan dari situlah, kemerdekaan sejati dimulai.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//