MAHASISWA BERSUARA: Energi Hijau, Solusi Ramah Lingkungan yang Belum Ramah Sosial
Skema subsidi dan insentif pemerintah terhadap energi belum sepenuhnya menjangkau kelompok yang paling membutuhkan.

Dedes Sugiharti
Mahasiswa Program Studi Fisika Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
21 Juni 2025
BandungBergerak.id – Meskipun energi hijau terbukti efisien secara ilmiah, penerapannya di Indonesia masih bersifat eksklusif karena ketimpangan akses, biaya tinggi, dan belum menyentuh akar kebutuhan masyarakat bawah yang tinggal di wilayah-wilayah tertinggal atau terpencil. Ketika kampanye global mendorong transisi menuju energi ramah lingkungan, kenyataan lapangan menunjukkan bahwa banyak komunitas lokal, terutama kelompok akar rumput seperti petani, nelayan, dan buruh harian, masih menghadapi kesulitan mendapatkan pasokan listrik yang layak. Data BPS dan PLN misalnya mencatat bahwa pada 2022 terdapat 3.264 desa yang belum terkoneksi listrik, sedangkan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, 10 persen rumah tangga belum memiliki sambungan listrik formal.
Pemerintah memang telah menggagas berbagai program seperti PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) komunal atau bantuan pemasangan panel surya untuk desa, namun distribusi program ini belum merata dan lebih banyak terserap oleh wilayah perkotaan atau komunitas tertentu yang memiliki kemampuan ekonomi lebih. Sementara itu, masyarakat marginal yang justru membutuhkan energi untuk menggerakkan produktivitas ekonomi mereka malah tetap hidup dalam keterbatasan listrik atau bahkan tanpa akses sama sekali, sehingga mendorong ketimpangan dalam keberlanjutan energi nasional. Oleh karena itu, penting untuk menyoroti bahwa tingginya biaya pemasangan energi terbarukan seperti panel surya membuat teknologi ini hanya tersedia bagi masyarakat menengah ke atas yang memiliki modal finansial.
Tingginya biaya awal untuk instalasi panel surya, inverter, dan sistem penyimpanan energi membuat energi hijau tidak terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, meskipun biaya operasionalnya jauh lebih murah dalam jangka panjang. Dalam praktiknya, hanya kalangan ekonomi mapan atau institusi yang mampu menyerap pembiayaan awal tersebut, padahal ada banyak komunitas miskin energi yang lebih mendesak untuk dibantu. Ketimpangan ini menimbulkan apa yang disebut sebagai "ketidakadilan energi", di mana akses terhadap sumber daya energi bersih tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan, tetapi juga oleh kemampuan membeli.
Ketimpangan ini diperburuk oleh fakta bahwa skema subsidi dan insentif pemerintah terhadap energi belum sepenuhnya menjangkau kelompok paling membutuhkan, melainkan lebih banyak dinikmati oleh kawasan urban dan industri. Menurut penelitian Suparta, Marselina & Wijayanti (2025), dalam jangka panjang subsidi energi memiliki efek negatif dan menghambat konsumsi energi terbarukan, sementara populasi urban tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam penggunaan energi bersih. Padahal, jika dilihat dari pendekatan keilmuan fisika, energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin sesungguhnya menawarkan sistem desentralisasi yang justru ideal untuk daerah terpencil dan belum terjangkau jaringan listrik nasional.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Narasi, Negosiasi Kuasa, dan Politik dalam Bingkai Kamera
MAHASISWA BERSUARA: Membayangkan Warga Desa Mengepung Kota
MAHASISWA BERSUARA: Regulasi Impor Longgar, Industri Pakaian Lokal Kian Terjepit oleh Produk Asing Murah
Ketimpangan Energi
Secara keilmuan fisika, energi terbarukan seperti matahari dan angin memiliki karakteristik efisiensi tinggi karena proses konversinya tidak memerlukan pembakaran, sehingga menurunkan kehilangan energi termal dan menghasilkan emisi karbon yang sangat rendah dibandingkan pembangkit fosil. Teknologi panel surya menggunakan efek fotovoltaik untuk langsung mengubah cahaya menjadi listrik, sedangkan turbin angin memanfaatkan momentum aliran udara untuk menggerakkan generator secara mekanik. Selain itu, pembangunan sistem desentralisasi –seperti instalasi panel surya atap atau pembangkit mini-grid di desa– menunjukkan bahwa energi bisa diproduksi dan dikonsumsi secara lokal tanpa tergantung pada infrastruktur pusat, suatu solusi ideal untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia yang memiliki 207,8 GW potensi tenaga surya tetapi hanya memanfaatkan sekitar 0,08 persen dari potensi tersebut (150 MWp di pertengahan 2021). Sistem desentralisasi ini sebenarnya sangat sesuai untuk daerah terluar, terpencil, dan tertinggal, tetapi tanpa dukungan teknis dan kebijakan nyata, potensi ini hanya menjadi angka statistik belaka. Padahal, jika teknologi fisika-teknis ini dioperasikan dan dibangun dengan pendekatan partisipatif, energi hijau bisa memberikan dampak positif langsung ke masyarakat –sebuah realitas yang belum terealisasi sepenuhnya.
Meskipun energi fosil seperti bensin, minyak tanah, dan batu bara kerap dikritik karena efek negatifnya terhadap lingkungan dan kesehatan, sekitar 40 persen rumah tangga di Indonesia atau sekitar 24,5 juta unit masih bergantung pada biomassa tradisional seperti kayu bakar untuk memasak. Kebutuhan bahan bakar fosil lainnya tetap tinggi di kawasan marginal seperti perkampungan nelayan, pedalaman pegunungan, serta pulau-pulau terpencil. Kondisi ini terjadi karena harga energi terbarukan seperti LPG, panel surya, atau turbin angin jauh lebih mahal serta distribusinya masih terbatas di daerah urban, sehingga warga miskin tidak punya alternatif selain menggunakan energi fosil yang tersedia dan murah, meskipun jangka panjang berdampak buruk pada kesehatan dan degradasi lingkungan.
Kebijakan subsidi untuk LPG atau listrik yang memang memberikan dampak langsung, hanya telah menjangkau sebagian masyarakat, sementara masyarakat miskin di daerah tidak terlayani masih menghadapi kesulitan akses dan kendala infrastruktur. Ironisnya, kelompok ini justru menjadi pihak yang paling rentan terdampak oleh krisis lingkungan, seperti polusi dan bencana alam akibat perubahan iklim, meskipun kontribusi mereka terhadap kerusakan lingkungan tergolong kecil. Oleh karena itu, pengembangan energi berkelanjutan di Indonesia harus memperhatikan asas keadilan sosial agar tidak memperdalam jurang ketimpangan energi antara kelompok mampu dan tidak mampu.
Untuk memastikan bahwa transisi energi menuju sumber daya terbarukan berjalan secara merata, adil, dan tidak memperlebar jurang ketimpangan, pemerintah dan pemangku kebijakan harus menciptakan pendekatan yang lebih inklusif dan berpihak pada masyarakat akar rumput. Strategi ini mencakup alokasi subsidi secara tepat sasaran, pelibatan komunitas lokal dalam perencanaan energi, serta penyediaan pelatihan teknis agar masyarakat mampu mengoperasikan dan merawat instalasi energi terbarukan secara mandiri.
Kolaborasi antara lembaga riset, universitas, dan organisasi masyarakat sipil juga penting untuk menjembatani pengetahuan teknis dan kebutuhan lapangan secara praktis. Dengan begitu, energi hijau tidak hanya menjadi simbol kemajuan teknologi dan komitmen lingkungan, tetapi juga menjadi alat pemberdayaan sosial dan peningkatan kualitas hidup bagi semua warga negara, termasuk yang selama ini terpinggirkan. Jika kebijakan ini diterapkan dengan konsisten dan berbasis data kebutuhan nyata, maka Indonesia tidak hanya akan berhasil mencapai target net zero emission, tetapi juga memastikan bahwa setiap warga punya kesempatan yang sama dalam menikmati manfaat energi bersih dan berkelanjutan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara